Menuju konten utama
Seluk Beluk Para Habib

Dari Pekojan ke Condet: Orang Hadrami di Jakarta

Kampung Arab di Batavia semula di Pekojan, sebuah kawasan dekat Pelabuhan Sunda Kelapa. Belakangan banyak orang Arab menetap di Condet. Sebagian lain tersebar merata di seluruh Jakarta.

Dari Pekojan ke Condet: Orang Hadrami di Jakarta
Warga kampung arab di Pekojan, Jakarta Barat. TirtoID/Andrey Gromico

tirto.id - Museum Fatahillah merupakan bangunan kolonial Hindia Belanda yang dulunya dipakai sebagai Stadhuis atawa Balai Kota Batavia, dan menjadi kantor Gubernur Jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda. Lokasinya berjarak 1,6 kilometer dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Tak jauh dari Museum, terdapat kawasan Pekojan.

Kawasan ini ditetapkan sebagai Kampung Arab pada abad ke-18 oleh pemerintah Hindia-Belanda. Ia jadi tempat mukim orang-orang Yaman dari Hadramaut dan keturunan Gujarat dari India. Namun, belakangan kampung ini tidak ramai lagi dihuni warga keturunan Arab, terutama sejak 1970.

Di kampung Arab ini terdiri dari pelbagai golongan Arab, mulai habib, masaikh, dan qabail. Habib ialah gelar untuk para sayid dari keturunan Nabi Muhammad, masaikh adalah seorang ulama dari keturunan para sahabat Rasul seperti Abu Bakar. Sementara qabail adalah golongan Arab biasa. Sekarang ini di Pekojan jumlah orang Arab menurun.

“Enggak banyak, sekitar 50 kepala keluarga orang Arab,” kata Muhammad Amin bin Sholeh Al Habsyi, tokoh Pekojan, saat ditemui di Makam Habib Cikini, Jakarta, 12 Januari lalu.

Tak hanya itu, jumlah fam atau marga Alawiyin alias keturunan Nabi yang tersisa di Pekojan tinggal segelintir, di antaranya al-Attas, Al Jufri, Assegaf, Al Bin Jidan, Al Habsyi, Al Basurah, dan Al Bayti. Sementara orang Arab yang bukan keturunan Alawiyin yang masih menetap di Pekojan di antaranya Al Amri, Zubaidi, dan Basendit.

Meski orang Arab kini tinggal sedikit, kita masih menjumpai bekas peninggalan mereka seperti Masjid Jami An-Nawier yang dibangun pada 1760. Bangunan masjid bercorak Eropa klasik ini merupakan tempat ibadah terbesar di Pekojan. Ada pula Masjid Langgar Tinggi (1829), Mushala Ar-Raudhah (1887), dan Masjid al-Anshor (1648). Letak rumah ibadah ini saling berdekatan.

Orang-orang Arab ini menyebar ke wilayah lain di Jakarta. Dari kampung lama Arab di Pekojan, mereka tersebar di beberapa lokasi. Di Jakarta Timur, misalnya, orang-orang Arab terkonsentrasi di kawasan Kampung Melayu dan Condet. Di Jakarta Barat, terkonsentrasi di kawasan Krukut dan Rawa Belong, yang semula tinggal di Tanah Abang dan Jati Petamburan. Jakarta Selatan ada di Pancoran, Pasar Minggu, dan Jagakarsa. Jakarta Pusat ada di Kwitang, dan Jakarta Utara ada di Luar Batang.

“Orang Arab sukanya berdagang, dari pinggir pantai sekarang menuju tengah kota,” kata Muhammad Amin.

Ada juga alasan lain seperti banjir yang kerap rutin merendam kawasan Pekojan. Sebagaimana terjadi di keluarga-keluarga lain, konflik perpecahan warisan mendorong generasi berikutnya menjual rumah warisan peninggalan orangtuanya di Pekojan.

“Selain itu, kepindahan mereka murni karena pengin mencari sumber kebaikan lewat berdakwah,” ujar Dikky Basendit, ketua pengurus Masjid Jami An-Nawier.

Meski tak memiliki rumah di Pekojan, tradisi silahturahmi warga lama Pekojan, dari orang Arab dan Tionghoa, terus berjalan hingga kini. Muhammad Amin mengatakan, setiap tahun para orang tua di Pekojan berkumpul di Azzawiyah, tempat kumpul para ulama di Pekojan.

“Khusus orang Pekojan lama, biasanya mereka habis salat Id di Pekojan, langsung ngumpul di Azzawiyah,” katanya. “Pekojan itu rumah besar orang Hadramaut, Betawi, India, dan Tionghoa.”

Kini sebagian rumah orang Arab di Pekojan dibeli oleh orang keturunan Tionghoa, yang menilai kawasan ini sebagai Kepala Naga, yang membawa peruntungan bagi bisnis mereka. Orang Tionghoa mengubah perumahan di Kampung Arab menjadi gudang-gudang perusahaan.

Kita juga tak bisa menemukan lagi rumah atau gedung tempat berdiri Perguruan Jamiat Kheir, yang dibentuk pada 1901, sebagai upaya orang Hadrami berperan dalam bidang ekonomi dan sosial di komunitasnya. Kantor salah satu organisasi Islam perdana di Jawa ini sekarang bertempat di Tanah Abang, dan berfokus pada pendidikan dan dakwah Islam.

Infografik HL Habib Kampung Arab

Terkonsentrasi ke Condet

Banyak orang Arab di Jakarta kini bermukim di Condet. Mereka tak hanya dari Pekojan, melainkan juga datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, Aceh, Palembang, Kalimantan, Sulawesi dan Lampung.

“Tahun 1996 ke atas, terjadi pertumbuhan pesat dari keturunan Hadramaut dan menetap di sini,” kata Ahmad bin Muhammad Alkhaf, pendatang keturunan Alawiyin dari Tegal, yang tinggal di Condet. Pada akhirnya ia membentuk perkampungan Arab tanpa direncanakan.

Dari Keramat Jati, setelah Masjid Al-Hawi hingga Rindam Jaya sepanjang 4,8 kilometer, kita disuguhi suasana perkampungan Arab. Ada deretan toko minyak wangi, busana muslim, sekolah Islam, majelis taklim, bahkan nama jalan seperti Gg. Al Magfiroh dan Gg. Al Khaerot. Ada juga rumah makan yang menyediakan masakan Timur Tengah, salah satunya Restoran Mandy Kambing Tasty Arabian Rice. Makanan khas lain adalah nasi kebuli. Ada rumah sakit bernama Zam-Zam Medical Center.

“Awal Anda masuk ke Condet, pasti melihat toko minyak wangi, kebanyakan keturunan dari Arab. Kalau dari golongan kita (Hadramaut), jarang yang tidak punya usaha. Kebanyakan dari keturunan punya usaha, buka toko, buka perusahaan, umrah dan haji, warung makan Arab, toko butik, dan jual-beli motor,” kata Ahmad.

Berdasarkan data Rabithah Alawiyah, organisasi pencatat keturunan Nabi, ada 4.787 orang Arab-Hadrami keturunan Alawiyin di Condet dan kawasan Jakarta Timur lain. Sebaliknya, di Jakarta Barat yang juga termasuk Pekojan hanya dihuni 1.193 orang Alawiyin. Jumlah terbesar kedua di Jakarta Selatan, 2.465 orang. Di Jakarta Pusat 901 orang dan Jakarta Utara 348 orang. Total kaum Alawiyin di seluruh Jakarta ada 9.694 orang.

Ahmad berkisah, kakeknya dari Hadramaut kali pertama datang ke Nusantara dan menetap di Tegal, Jawa Tengah. Setelah itu sang ayah dan paman memutuskan pindah ke Condet pada 1996. Kepindahan ini didorong niat berdakwah seraya mencari mata pencaharian.

“Setiap musala dan masjid memiliki majelis taklim masing-masing,” kata Ahmad. Akan tetapi, yang terbesar di Masjid Al-Hawi, tempat berkumpul dan silaturahmi antara keturunan Hadrami dan Alawiyin saban Minggu pagi.

Meski banyak orang Arab keturunan Alawiyin tinggal di Condet, bukan berarti majelis taklim di beberapa wilayah Jakarta berkurang. Di Pekojan, majelis taklim di Masjid Jami An-Nawier sempat meredup karena ditinggal penduduk lamanya, tetapi sudah mulai ramai lagi.

“Alhamdulillah,” kata Dikky Basendit, ketua pengurus Masjid Jami An-Nawier. “Ada berbagai macam majelis taklim yang masih eksis saat ini di Pekojan. Sekarang, setiap malam ada majelis taklim, kecuali malam Rabu.”

Baca juga artikel terkait KETURUNAN NABI atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Humaniora
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam