tirto.id - Gedung berlantai lima itu mencolok di antara gedung lain. Di sebelah kiri gedung terdapat bengkel sepeda motor, dan sebelah kanan ada kios tambal ban. Gedung beralamat di Jalan TB Simatupang No 7A itu diresmikan pada 2 Januari 2010 dengan nama Rabithah Alawiyah.
Rabithah Alawiyah ialah organisasi yang menghimpun kaum Alawiyin di Nusantara. Organisasi ini resmi berdiri pada 27 Desember 1928, dengan akta notaris Mr. A.H. Van Ophuijsen No. 66 tanggal 16 Januari 1928, ditandatangi oleh GR. Erdbrink, Sekretaris Pemerintahan Belanda.
“Rabithah Alawiyah dibentuk untuk merawat keturunan kita. Masuk ke Indonesia itu asal-usulnya tidak tercerai-berai. Kita berkiprah bukan hanya untuk keluarga (keturunan Alawiyin) saja tetapi untuk negara,” kata Habib Zein bin Umar bin Smith, ketua umum Rabhitah Alawiyah, Sabtu, 7 Januari lalu. Alawiyin ialah sebutan untuk keturunan Ahmad al Muhajir dari Hadramaut, sebuah lembah di Yaman Selatan, generasi ke-8 dari Sayyidina Ali dan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah. Keturunan Ahmad al-Muhajir yang kelak pergi dan kawin-mawin ke Asia Tenggara.
Pendataan perdana keturunan Alawiyin berlangsung pada 1932. Kini diperkirakan jumlah keturuan Hadramaut antara 500 ribu – 1,5 juta di Indonesia. Jumlah ini, berdasarkan pendataan tahun 1932-1940, termasuk 68 marga atau kabilah (kaum dari satu ayah) yang ada di Indonesia. Sementara ada 239 marga di Indonesia yang tidak termasuk keturunan Alawiyin. Artinya, jumlah marga keturunan Nabi lebih kecil dibanding marga Arab lain.
Untuk mengetahui seseorang keturunan Alawiyin, kita harus mendatangi Rabithah. Setiap orang berhak memohon kartu identitas atau buku silsilah nasab Alawiyin setelah diuji kebenarannya. Metodenya, ia harus bisa menyebutkan tiga fam atau marga di atasnya, mengisi formulir, dan membawa saksi. Jika terbukti validitasnya maka Rabithah akan mengeluarkan buku tersebut.
“Kalau sudah dirunut (silsilah keluarga di atasnya) sampai tiga, itu biasanya yang keempat ketemu. Tetapi kalau tidak ketemu, kami tidak bisa bilang apa-apa, karena data kita terbatas," kata Habib Zein. "Kadang ada orang meminta pengajuan nasab, kita tidak bisa kasih karena silsilahnya terputus dan tidak ketemu."
Pihaknya mengklaim tak berani membuat seseorang menjadi sayid (keturunan Rasulullah) atau menolak mengeluarkan buku nasab dari orang yang bukan sayid. Hasil penelusuran reporter Tirto, dalam beberapa kasus, Rabithah Alawiyah langsung mengeluarkan surat kepada kantor cabang di daerah bila kedapatan ada orang yang mengaku sayid, terlebih habib.
Memberantas Habib Palsu
Pencekalan habib palsu sudah dilakukan jauh-jauh hari. Ini untuk menjauhkan citra buruk dari keturunan Alawiyin. Pada 12 September 2009, Rabithah Pusat mengirim surat kepada Rabithah cabang Makassar. Dalam surat itu dijelaskan bahwa Habib Abdurrahman Assegaf (alias) Habib Abdurrahman bin Syech Abu Bakar (Ketua Front Umat Islam Parung/ Pimpinan Majelis Zikir dan Ratib) bukan termasuk dalam fam Assegaf ataupun fam bin Syech Abu Bakar dan bukan termasuk golongan Alawiyin.
Laporan surat yang sama menyebutkan bahwa nama asli Habib Abdurrahman itu adalah Anshori (Ris) bin Ismail bin Abdullah Hamid Umar Rella yang berasal dari Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Pulau Ambon.
Informasi ini diperoleh Rabithah Pusat dari Rabithah cabang Ambon yang didukung delapan sesepuh habib di Ambon. Surat itu ditandatangani oleh Ketua Maktab Daimi, Rabithah Alawiyah, Ahmad Muhammad al-Attas.
Tak hanya itu, pada 2012, di Kalimantan Tengah ada laporan salah satu tokoh di sana yang mengklaim fam Al Balghaits dan menyebut dirinya habib. Tokoh itu Habib Said Ismail Al Balghaits. Keputusan rapat Rabithah Pusat pada 3 Maret 2012 menyatakan bahwa orang ini bukan keturunan Alawiyin dan seketika bukan habib.
Menariknya, meski telah ada organisasi macam Rabithah yang menguji validasi apakah seseorang sayid dan habib, dalam perkembangannya sejak 2001, ada lembaga baru yang juga berperan memelihara keturunan Alawiyin. Namanya Naqobatul Asyrof Al-Kubro. Ia diketuai oleh Al-Habib Zainal Abidin bin Sagaf Assegaf, yang pernah bekerja di Rabithah sebagai tim nasab dari 1991 sampai 1998.
Assegaf mendirikan lembaga ini untuk "mengantisipasi serta memperluas jangkauan ilmu nasab." Peran lembaga ini semula pada "pemeliharaan, penelitian sejarah, dan silsilah Alawiyin," tetapi kemudian mulai mengeluarkan buku nasab sendiri.
Dua lembaga yang mengurus Alawiyin ini bukannya tanpa konsekuensi. Abdurrahman Al Habsyi, 64 tahun, pengurus Yayasan Makam Habib Cikini, khawatir bila dua lembaga mengeluarkan nasab "lama-lama bikin orang enggak percaya sama buku pemeliharaan silsilah Alawiyah." Ia bilang, harusnya cukup Rabithah saja, dan jangan ganti kendaraan.
Niat lembaga ini baik untuk membersihkan habib palsu, tetapi secara tidak sadar justru akan membuat orang tidak percaya buku nasab Rabithah, ujarnya.
"Buat kontrol awalnya, lalu dianggap dia paling bersih sehingga bikin lagi. Jadi buat nasab bayangan. Akhirnya yang benar mana?" kata Abdurrahman saat saya temui di Makam Habib Cikini, Jakarta, 10 Januari lalu
Saat dikonfirmasi, Ketua Naqobatul Asyrof Al-Kubro, Al-Habib Zainal Abidin bin Segaf Assegaf, membenarkan pernah bekerja di Rabithah Alawiyah bagian nasab dan keluar dari lembaga tersebut. Namun, ia enggan bercerita lebih lanjut.
Munculnya Naqobatul mendorong Rabithah menerbitkan maklumat Maktab Daimi Rabithah Alawiyah pada 2009. Maklumat ini dikirim kepada seluruh Habaib/Alawiyin bahwa "lembaga satu-satunya yang sah mengurus dan mengesahkan serta menerbitkan buku silsilah nasab Alawiyin adalah Maktab Daimi, Rabithah Alawiyah Jakarta Pusat."
Ia ditegaskan lewat anggaran dasar Rabithah Alawiyah pasal 17 ayat 1. Isinya: "Maktab Daimi adalah badan otonom di bawah Rabithah Alawiyah sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menangani masalah nasab Alawiyin." Maklumat tersebut diteken oleh Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Rabithah Alawiyah Habib Zein bin Umar bin Smith pada 8 Oktober 2009.
Maklumat sudah diterbitkan, tetapi buku nasab dari lembaga lain tetap keluar. Khalid bin Hamid Al Haddad, staf pengurus Naqobatul, mengatakan sejak 2002 hingga kini sudah 1.800 buku nasab yang diterbitkan, baik nasional maupun luar negeri.
Lembaga yang berdiri pada 2001 itu awalnya hanya mendukung pengawasan keturunan habib. Sebab, kata Khalid, gelar habib "banyak disalahgunakan oleh pihak tak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi." Contohnya mencari massa majelis taklim, ada juga mengadu domba antara Alawiyin satu dan yang lain, ujarnya.
"Tujuan dibentuknya untuk menjaga nasab Alawiyin," kata Khalid ditemui di kantornya, Jakarta, 13 Januari lalu. Perbedaannya antara kedua lembaga ini: Naqobatul hanya fokus dengan nasab, verifikasi hingga mengeluarkan buku. Sementara Rabithah Alawiyin lebih luas: selain mengurus soal nasab, ia juga fokus pada program sosial, kesejahteraan, dan pendidikan.
Ia menjelaskan, pada awalnya Naqobatul hanya mengawasi keturunan Alawiyin, tapi lambat-laun kaum Alawiyin Jakarta meminta Naqobatul mengeluarkan buku Nasab. "Akhirnya kita keluarin pada 2002," ujarnya.
Tak hanya itu, pengurus Naqobatul juga telah mengeluarkan sepuluh surat pemberitahuan terhadap orang yang bukan habib sejak 2001 hingga 2016. Penerbitan surat itu atas permintaan atau pelaporan seorang habib, yang lantas dilanjutkan dengan mengecek asal-usulnya. Ini untuk menghindari citra buruk bagi keturunan Alawiyin.
"Dulu sempat ada tim berantas habib palsu di media sosial," kata Khalid. "Mereka membuat rapat di tempat kita. Tetapi, karena ada isu yang berkembang bahwa kita merusak citra (Alawiyin), akhirnya kita tidak memberikan lagi tempat rapat di kantor. Setelah itu, kita tidak mengetahui lagi kegiatan ini masih aktif atau enggak."
Memberantas habib palsu ini terkadang sulit, sebab batasannya lebih dari sekadar marga Alawiyin. Seorang habib harus punya ilmu yang baik, punya akhlak mulia. Ini ukuran yang menjelaskan sifat dan keteladanan. Ia sesuatu yang tersembunyi, tidak kasat mata.
Khalid mencontohkan, "Ada yang sekadar nama. Misalnya Arumi Baasyir, Anisa Bahar. Fam Baasyir dan Bahar itu keturunan Alawiyin, tetapi mereka berdua bukan keturunan Alawiyin. Selain itu ada juga yang keturunan Arab dari Hadramaut tetapi bukan keturunan Alawiyin." (Ralat 21 Januari 2017 pukul 13.15: Terdapat salah pengutipan pada nama "Arumi Baasyir", harusnya ditulis "Arumi Bachsin". Marga Bahar dan Bachsin memang keturunan Alawiyin, namun baik artis Arumi atau penyanyi Anisa bukan Alawiyin. Kesalahan akurasi pengutipan ada pada redaksi.)
"Habib Bamukmin—ini Arab dari Hadramaut, tapi bukan dari Alawiyin. Dia Arab saja sama kayak Bafadal atau Al Khatib. Kalau dari kabilah, kita sudah tahu semua, mana yang Alawiyin, masaikh, dan qabail," kata Khalid.
Dua lembaga ini sebenarnya telah mengeluarkan surat teguran kepada "para oknum" yang berusaha ingin merusak keturunan Alawiyin. Tetapi, usaha ini belum cukup ampuh; ia tidak seketika menghapus habib-habib palsu.
Dalam pernyataan Habib Zein bin Umar bin Smith, ketua umum Rabithah Alawiyah, tidak setiap keturunan Hadramaut ialah keturunan Nabi, dan tidak setiap Alawiyah—dengan validasi oleh Rabithah maupun Naqobatul—adalah seorang habib. Namun, sebaliknya, seorang habib sudah pasti seorang sayid.
“Sekarang titel habib itu mengalami degradasi, menjadi sapaan kepada orang lain biar akrab,” ujar Habib Zein.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam