tirto.id - Sekalipun gerimis sempat turun pada Senin sore di Jl. Pancoran, 16 Januari lalu, keadaan tetap terlihat cukup padat. Kepadatan ini lantaran ada belasan pedagang dadakan yang menggelar lapak jualan. Semacam pasar kaget, pedagang ini memenuhi trotoar meski tak sampai bikin macet jalan raya.
Kepadatan semakin kentara usai salat Isya berjemaah. Para jemaah Majelis Rasulullah yang rutin hadir pada pengajian setiap Senin malam mulai menyemut di satu titik: Masjid Jami Al Munawar.
“Udah dari SMP saya rutin ikut pengajian ini,” kata Andre, seorang jemaah yang rela menembus kemacetan di sore hari dari Kampung Pisangan, Jakarta Timur, menuju Jakarta Selatan. Malam itu ia datang bersama Yogi, teman satu kampungnya.
Majelis Rasulullah merupakan majelis yang diinisiasi Habib Munzir Al-Musawa sejak 1998. Malam itu, alunan ayat demi ayat Surat Yasin menggema dari pengeras suara masjid, menyambut kehadiran para jemaah. Di jembatan gerbang masjid, tiga panitia membentuk barisan, menyodorkan karung sumbangan, yang akan diisi oleh para jemaah. Para jemaah dengan takzim menyimak bacaan Surat Yasin.
Andre dan Yogi memilih duduk di tangga teras masjid. Andre tampak asyik merekam aktivitas jemaah dan sesekali swafoto. Malam itu Majelis Rasulullah kedatangan tamu Al Habib Muhammad bin Abdulqodir bin Ahmad Assegaf dari Jeddah, Arab Saudi, yang akan membahas hadis Quthuful Falihin min Riyadhus Shalihin dan kitab Safinatun Najah.
“Kadang bersambung juga kalau pembahasan enggak bisa selesai hari ini. Misalnya bahas fikih, belum selesai, dilanjut besok (Senin pekan depan),” kata Andre
Sudah enam tahun pria 20 tahun ini selalu mengikuti pengajian Majelis Rasulullah. Dan, selam enam tahun itu pula, pria yang bekerja sebagai sales di Kelapa Gading ini mengaku hampir tak pernah absen.
“Setiap hari Senin, saya selalu ambil shift pagi biar malamnya bisa datang ke sini,” katanya.
Di Kampung Pisangan, ustaz di masjid tempat tinggal Andre memang mengajak warga untuk datang ke Majelis Rasulullah. Artinya, sejak Andre berusia 13-14 tahun, ia sudah diajak. “Dulu sering datang ramai-ramai, rombongan. Kalau sekarang mah udah susah, udah pada kerja semua.”
Beda lagi dengan Yoga, yang bekerja sebagai sopir Gojek. Ia datang masih mengenakan jaket hijau mencolok, seragam Gojek. Tidak seperti kebanyakan jemaah yang memburu tempat ke halaman dalam masjid, Yoga datang dengan santai dan langsung mengambil posisi duduk di halaman depan masjid. Posisi terbaik untuk melihat situasi di dalam masjid dari layar proyektor raksasa yang disediakan panitia.
Mengenakan peci kecil warna hitam, Yoga dengan khidmat mendengarkan alunan pembacaan Salawat Al-Barjanji, laku spiritual setelah pembacaan Surat Yasin dan pengiring sebelum memulai acara puncak pengajian.
“Dulu sih waktu yang ngisi masih Habib Munziz, masih sering datang. Tapi sejak beliau wafat (tahun 2013), enggak tahu nih, jadi males-malesan. Kalau lagi sempat ya ke sini,” katanya.
Syafaat dari Nabi Muhammad sekaligus berkah dari Habib Munzir adalah harapan Yoga menghadiri pengajian. “Rasanya adem aja kalau habis dari sini,” katanya.
Ada kepuasan tersendiri bagi jemaah yang datang ke pengajian seorang habib. Hasrat mereka mendengarkan ceramah atau sekadar menatap langsung wajah ulama yang mereka cintai bisa tersalurkan.
Seperti Wahid Ihsani, misalnya, pengusaha sapi dari Boyolali. Ia merogoh kocek sampai Rp300.000 untuk pulang-pergi dari Boyolali ke Pekalongan sejak 2010. Setiap pengajian thariqoh pada Jumat Kliwon pagi, di Gedung Sholawat Jalan Wahidin, akses kendaraan akan ditutup dengan karpet hijau sepanjang 400-an meter. Di sana ribuan jemaah Habib Luthfi bin Yahya dari pelbagai kota menyemut sekalipun harus berdesak-desakan.
“Bagi saya, mencari guru itu harus muttashil (nyambung ke Rasulullah). Hal semacam itu ada banyak dari para kiai, tapi kalau berguru pada habib bisa dapat dua-duanya. Secara sanad (keilmuan) juga secara nasab (keturunan).”
Ubaidillah, yang berdomisili di Ciputat, tidak masalah jika harus bolak-balik Jakarta-Pekalongan setiap pengajian thariqoh Habib Luthfi. Salah satu ketertarikannya pada ajaran Habib Luthfi ialah cinta kasih dan keikhlasan, dan Habib Luthfi rela menemui tamu jemaah yang luar biasa banyak.
“Abah (Habib Luthfi) itu mau menemui semua golongan. Baik yang non-muslim, tatoan, rambut gimbal, celana robek-robek. Semua dilayani dan diperlakukan sama istimewanya,” jelas mahasiswa semester akhir UIN Syarif Hidayatullah ini.
Menyulap Berkah jadi Rupiah
Selain para jemaah, pengajian rutin juga menjadi berkah bagi para pedagang kaki lima. Seperti di Tablig Akbar Majelis Nurul Musthofa di Tanah Abang, misalnya. Pengajian setiap Sabtu malam pimpinan Habib Hasan bin Ja'far Assegaf itu dimanfaatkan dengan baik oleh Rian. “Kalau laku dapat untung dan pahala juga, kalau enggak laku dapat pahala juga karena zikir,” kata pria yang membuka lapak jualan sejak 2008.
Rian mengaku, awalnya sering hadir hanya sebagai jemaah. Namun, melihat animo yang begitu luar biasa, Rian memutuskan untuk membuka dagangan. Sekali datang untuk sewa tempat, biaya listrik, dan uang kebersihan, Rian mesti membayar Rp72.000 kepada panitia acara.
Tidak hanya pedagang dari luar, pihak panitia pun ikut menjajakan dagangan. Tidak sulit membedakan mana lapak dari panitia dan mana yang bukan. Selain bertuliskan 'Assegaf' pada tenda lapak, beberapa produk yang dijual oleh Majelis Nurul Musthofa ini hampir selalu ada tulisan yang sama.
“Kalau untuk biaya operasional, kita juga ada usaha majelis yang menjual baju dan jaket termasuk toko pulsa dengan sistem bagi hasil,” ujar Zaenal, pengurus sekretariat Majelis Nurul Musthofa.
Sedikit berbeda dengan panitia di Majelis Rasulullah, Pancoran. Bukan hanya membuka lapak, Majelis Rasulullah malah punya toko Kios Nabawi. Selain itu, panitia pengajian Majelis Rasulullah menjual air kemasan siap minum dengan merek sendiri. Sebagian keuntungannya dipakai untuk mendanai pengajian.
“Alhamdulillah ada dananya, jadi kita tidak mengandalkan sumber dana dari jemaah. Kalau hanya mengandalkan dari jemaah, kecil,” kata Habib Muhammad bin Al Khaf, juru bicara Majelis Rasulullah.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Fahri Salam