Menuju konten utama
Mozaik

Para Pemuda yang Berumah di Kramat 106

Rumah yang menjadi Museum Sumpah Pemuda mula-mula adalah milik pedagang Tionghoa yang disewakan kepada para pemuda Jawa yang sedang belajar di STOVIA.

Para Pemuda yang Berumah di Kramat 106
Header Mozaik Museum Sumpah Pemuda. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Di tepi hiruk Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, terdapat Museum Sumpah Pemuda dengan atap berbentuk trapesium dengan lisplang kayu yang menghias serambi depan. Pilar-pilar besi kokoh menopang atap tambahan: bila hujan turun tidak bertempias, mengenai tegel-tegel, atau pengunjung yang baru datang.

Bangunan No. 106 ini mulanya adalah rumah kos milik orang Tionghoa bernama Sie Kong Lian. Ia membuka toko pelengkapan tempat tidur di daerah Senen. Menurut penuturan cucunya, Yanti Silman, kakeknya memang memiliki beberapa rumah yang disewakan.

Sejauh ini, tidak diketahui siapa penyewa pertama rumah Kramat 106. Menurut Mardanas Sofwan dalam buku Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda (2019, hlm. 28), rumah ini disewakan kepada sekumpulan pemuda Jawa yang sedang menempuh pendidikan dokter di STOVIA pada 1925. Mereka terhimpun dalam perkumpulan Langen Siswo.

Perkumpulan pelajar STOVIA yang didirikan pada 1 Februari 1912 ini meminati kesenian Jawa, seperti tarian, gamelan, dan wayang. Mereka semuanya adalah anggota Jong Java.

Mulanya mereka tinggal dan berlatih kesenian di sebuah rumah yang terletak di Kwitang No. 13. Karena memerlukan tempat yang lebih luas, maka mereka mencari lokasi baru. Pilihan jatuh kepada Kramat 106 yang lokasinya tak begitu jauh dari Kwitang dan STOVIA.

"Inventaris Langen Siswo berupa perangkat gamelan dan wayang ikut dipindahkan. Gedung pertemuan baru tersebut dilengkapi dengan meja bilyard," ungkap Marsidi Judono, anggota Langen Siswo dalam Kenang-Kenangan Tiga Zaman (1990. hlm 44).

Selama tinggal di Kramat 106, para pemuda dikenai biaya sewa senilai f 7.50 per bulan, sudah termasuk makan tiga kali dalam sehari. Mereka biasa makan di serambi belakang rumah. Ada pelayan yang senantiasa memasak untuk para penghuni.

Setiap malam Minggu, perkumpulan Langen Siswo menggunakan ruang makan untuk latihan tari Jawa dan latihan menabuh gamelan di bawah bimbingan Raden Kodrat dan Raden Wiradat. Keduanya adalah adik Poerbatjaraka yang masyhur dalam kebudayaan Jawa.

Di ruang makan juga pernah digelar pergelaran wayang kulit, tetapi hanya sekali karena Langen Siswo sulit mencari dalang yang bersedia bermain semalam suntuk.

Kongres Pemuda II

Kendati dihuni oleh para pemuda Jawa, Kramat 106 memiliki lingkungan yang inklusif. Mereka menyelenggarakan diskusi, antara lain dengan mengundang Mohammad Yamin (Jong Sumatranen Bond), Amir Syarifuddin (Jong Bataks Bond), dan Abu Hanifah (Jong Sumatranen Bond). Belakangan ketiganya ikut tinggal di rumah tersebut.

Penggagas diskusi ini adalah anggota Jong Java, di antaranya Sugondo Joyopuspito, Abdullah Sigit, dan Gularso. Ketiganya pengurus organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang didirikan pada 1926.

Menurut Hans Van Miert dalam Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930 (1995. hlm. 496), PPPI merupakan pendukung nasionalisme Indonesia yang selaras dengan Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda. Organisasi ini didirikan oleh para siswa sekolah tinggi kedokteran (STOVIA) dan sekolah tinggi hukum (RHS).

Para anggota PPPI membaca dan mendiskusikan isi majalah PI, yakni Indonesia Merdeka. Mereka menggandrungi cita-cita persatuan Indonesia. Sugondo dkk menyinggung keberadaan perkumpulan pemuda kedaerahan.

Menurut Sugondo dalam kutipan wawancara dengan majalah Pusara (1972: 367), munculnya perkumpulan-perkumpulan kedaerahan/kesukuan adalah akibat dari politik devide et impera pemerintah kolonial. Kondisi ini harus dilalui dengan persatuan yang kompak sama halnya perjuangan PI.

Pemikiran Sugondo menulari penghuni lain di Kramat 106. Mereka lalu membentuk klub diskusi bernama Indonesische Club pada 1927. Sugondo dalam majalah Media Muda (1973) mengungkapkan bahwa Indonesische Club adalah nasionalisasi dari perkumpulan Langen Siswo.

Indonesische Club beranggotakan sekitar 30 orang, antara lain Gularso, Sigit, Abu Hanifah, Mohammad Yamin, Abas, Suryadi, dan Amir Syarifuddin. Ketuanya Sugondo Joyopuspito. Mereka rutin menyelenggarakan diskusi, memperdebatkan soal-soal politik, kebudayaan, masyarakat, dan kolonialisme Belanda. Di waktu senggang, mereka biasanya bermain biliar, ping pong, dan bridge.

Rangkaian diskusi yang kontinu membuahkan kulminasi ide untuk menyelenggarakan Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928. Rapat persiapan dilakukan pada 3 Agustus dan 12 Agustus 1928. Rapat ini meneguhkan semangat kebangsaan dan rasa persatuan yang telah dibicarakan sejak Kongres Pemuda I pada 1926.

Perkumpulan pemuda yang menghadiri rapat di Kramat 106 itu antara lain PPPI, Jong Java, Jong Bataks Bond, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, dan Pemuda Indonesia.

Pertemuan menyepakati bahwa Kongres Pemuda II akan diselenggarakan di tiga lokasi, yakni gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Oost Java Bioscoop, dan Indonesische Clubgebouw (Kramat 106) yang terpilih sebagai lokasi rapat penutupan kongres. Seluruh biaya akan ditanggung oleh organisasi-organisasi yang menghadiri kongres serta sumbangan secara sukarela.

Hasil rapat disebarkan melalui media cetak dengan judul "Maklumat Pengurus Kerapatan Pemuda". Mereka membubuhkan sebuah slogan dalam maklumat tersebut: ”Bersama Kita Teguh, Bercerai Kita Jatuh”.

Dalam rapat penutupan kongres yang mulai berlangsung pada pukul 19.30, Sugondo yang memimpin. Acara itu dilakukan ruang serambi belakang Kramat 106. Menurut Darmo Kondo--surat kabar yang terbit di Surakarta--yang menghadiri rapat tersebut kurang lebih berjumlah 750 orang.

Mereka menduduki kursi-kursi kayu yang berbanjar dari serambi belakang hingga halaman. Van Der Plas dan dan Dr. Pijper hadir mewakili pemerintah kolonial beserta aparat kepolisian. Para peserta yang mengemukakan gagasannya malam itu, antara lain Dolly Salim, Ramelan, dan Theo Pangemanan.

Setelah semua selesai menyampaikan gagasan, W.R. Supratman yang cukup sering menghadiri rapat kaum pergerakan di Kramat 106 tampil memperdengarkan lagu Indonesia Raya menggunakan biola.

Penampilannya memukau para peserta yang hadir. Mereka memberikan aplaus, bahkan segelintir memintanya untuk mengulangi. Namun W.R. Supratman sungkan karena mata-mata polisi mengawasi.

Di ambang penutupan kongres, Mohammad Yamin menyerahkan secarik kertas berisi rumusan putusan rapat kepada Sugondo yang membacanya setelah membubuhkan paraf terlebih dahulu. Putusan rapat itu hari ini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.

Menjelang pukul 11 malam, rapat di Kramat 106 resmi ditutup dengan sebuah penceritaan mengenai Perang Baratayuda oleh Mohammad Yamin.

Infografik Mozaik Museum Sumpah Pemuda

Infografik Mozaik Museum Sumpah Pemuda. tirto.id/Parkodi

Sukarno Bertandang ke Kramat 106

Peristiwa Sumpah Pemuda tak memutus rentang kisah Kramat 106 begitu saja. Rumah ini menjadi ruang publik bagi para pemuda perkumpulan saat itu.

Arnold Mononutu bersama Jong Celebes pernah memakainya untuk rapat (1928), lokasi perayaan kelulusan pertama mahasiswa Indonesia dari Sekolah Tinggi Hukum Batavia bernama R. Imanwiredjo (1928), dan alamat redaksi beberapa media, yaitu Jong Java (1928), Jong Bataks (1928), dan Indonesia Raja (1929).

Organisasi pemuda lainnya juga pernah memakai rumah ini untuk menyelenggarakan pertemuan, seperti Pemuda Indonesia yang dibentuk di Bandung pada 27 Februari 1927. Sebagaimana PPPI, organisasi ini mengusung cita-cita persatuan Indonesia.

Sebagai salah satu organisasi yang hadir pada Kongres Pemuda II, Pemoeda berupaya merespons dengan mengadakan kongres keduanya di Jakarta pada 24-28 Desember 1928. Berdasarkan laporan surat kabar Darmo Kondo pada 29 Desember 1928, pembukaan dilaksanakan di Kramat 106.

Mereka menghiasi rumah itu dengan warna merah-putih, dari kembang hingga bendera. Mereka juga memajang gambar Pangeran Diponegoro yang digilai para pemuda pergerakan kala itu.

Kongres bermaksud menyikapi hasil putusan Kongres Pemuda II, yakni keinginan fusi di antara organisasi-organisasi pemuda. Mereka mengundang Sukarno untuk hadir di Kramat 106 pada 25 Desember 1928.

Dalam pidatonya pada pagi hari, Sukarno mengemukakan tentang pentingnya perjuangan kaum perempuan. Ia mendorong kaum perempuan agar memperjuangkan hak kesetaraan dan tanah airnya. Sukarno juga menganjurkan supaya kaum perempuan ikut terjun ke arena pergerakan.

Dalam Boekoe Peringatan PPPI 1926-1931 yang terbit pada 1932, Sukarno berkunjung untuk kali kedua dalam peringatan hari ulang tahun PPPI pada 26 Maret 1932. Ia berfoto bersama dengan para anggota PPPI di depan serambi Kramat 106. Gambar tersebut kini dipajang di salah satu ruangan di Museum Sumpah Pemuda.

Baca juga artikel terkait MUSEUM SUMPAH PEMUDA atau tulisan lainnya dari Eko Septian Saputra

tirto.id - Politik
Kontributor: Eko Septian Saputra
Penulis: Eko Septian Saputra
Editor: Irfan Teguh Pribadi

Artikel Terkait