tirto.id - Hingga permulaan 1920-an, gagasan persatuan kebangsaan Indonesia adalah sesuatu yang masih asing bagi penduduk pribumi di Hindia Belanda. Meskipun seluruh tanah yang kini disebut Indonesia akhirnya memasuki pengalaman kolonialisme bersama dengan berakhirnya Perang Aceh (1873–1904), tapi ide-ide tentang kebebasan masih berfokus pada daerah atau kelompok identitas.
Budi Utomo yang berdiri pada 1908 mengangkat solidaritas Jawa Raya, sedangkan Sarekat Islam yang menyusulnya pada 1911 mengangkat persatuan kaum muslim. Di sisi pemuda, berbagai organisasi yang mula-mula muncul juga berasaskan identitas daerah atau kelompok, seperti Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Islamieten Bond (1925), dan sebagainya.
Ide tentang perlunya identitas kebangsaan yang mencakup seluruh suku bangsa di Hindia Belanda justru muncul di Negeri Belanda melalui wadah Indische Vereniging atau Perhimpunan Hindia yang berdiri pada 1908--yang kemudian secara bertahap berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (1925).
Kemunculan kesadaran ini disebabkan oleh keperluan solidaritas yang mampu mengikat pelajar-pelajar yang berasal dari Hindia Belanda. Mereka sama-sama menjadi orang "asing" di negeri asing yang perlu berkolaborasi.
Selain itu, pencerahan melalui aneka ragam wawasan di Eropa yang akhirnya menyadarkan bahwa persoalan kolonialisme adalah konflik kepentingan antara pihak yang berkuasa dan yang dikuasai--seperti yang dicantumkan Perhimpunan Indonesia dalam jurnal Indonesia Merdeka (Februari 1925:3).
Perhimpunan Indonesia besutan Sutan Kasayangan Soripada dan R. M. Noto Suroto, seperti diungkapkan John Ingleson dalam Perhimpunan Indonesia and the Indonesian Nationalist Movement, 1923–1928 (1975), mendapat roh perjuangan setelah bergabungnya Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Cipto Mangunkusumo. Mereka mulai aktif membagikan gagasan persatuan dan kedaulatan lewat jurnal Hindia Poetra (1916–1924) dan Indonesia Merdeka (sejak 1924).
Di jurnal-jurnal inilah kritik terhadap praktik eksploitasi kapitalis-kolonial dimuat, dan ide mengenai “Indonesia bersatu yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan” diangkat. Namun, haluan jurnal yang sarat perjuangan politik itu akhirnya bermuara pada larangan beredar di Hindia Belanda. Di titik inilah peran Sugondo Djojopuspito menjadi penting.
Menurut Keith Foulcher dalam Sumpah Pemuda: The Making and Meaning of a Symbol of Indonesian Nationhood(2000:378–79), gagasan persatuan yang dihidupkan oleh Perhimpunan Indonesia menjadi populer dan mendapat dukungan yang signifikan dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Berdasarkan tulisan Daradjadi dalam Mr. Sartono: Pejuang Demokrasi dan Bapak Parlemen Indonesia (2014), perlintasan ide kedua organisasi terjadi di antara Mohammad Hatta dan Sukarno melalui perantaraan Sartono.
Namun, sebelum ide persatuan itu menjadi populer pada tahun 1927, Sugondo secara tidak langsung telah mulai membangun fondasi penerimaan publik dengan "menyelundupkan" gagasan ini. Bagaimana dia melakukannya?
Estafet Indonesia Merdeka
Sugondo Djojopuspito adalah putra penghulu dari Tuban. Pada 1924, dia sedang dalam masa transisi dari Algemene Middelbare School (AMS) Yogyakarta ke Recht Hoogeschool (RHS) atau Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Batavia. Sugondo mendapat beasiswa dari pemerintah kolonial dalam studi lanjutnya itu.
Semasa kuliah di RHS, dia menumpang di rumah seorang pegawai Kantor Pos Pasar Baru yang terletak di sekitar Jalan Rijswijk (kini Jalan Veteran dan Jalan Juanda), dan bersua dengan kawan-kawan satu pondokan yang merupakan para pegawai kantor pos. Melalui persentuhan itu, Sugondo mendapatkan akses untuk membaca jurnal terlarang Indonesia Merdeka.
Menurut Sutjiatiningsih dalam Soegondo Djojopoespito: Karya dan Pengabdiannya (1999:21–22), salah seorang kawan sepondokannya adalah petugas pos yang bertugas menyortir surat-surat yang masuk. Jurnal Indonesia Merdeka yang seharusnya dibakar, justru ia berikan kepada Sugondo.
Setelah membaca gagasan persatuan kebangsaan Indonesia yang dimuat di jurnal ini, Sugondo--dalam artikel "Ke Arah Kongres Pemuda II" yang dimuat dalam majalah Media Muda (1973:9)--"menyetujui pola pikiran Perhimpunan Indonesia" dan "merasa tidak bahagia melihat kehidupan organisasi pemuda waktu itu yang masih berpola kedaerahan/kesukuan". Pandangan ini mengawali estafet seri Indonesia Merdeka ke lingkaran para pelajar di Batavia.
Sugondo mula-mula meneruskan Indonesia Merdeka kepada Suwiryo, kawannya semasa AMS di Yogyakarta dan sama-sama belajar di RHS Batavia. Sugondo juga meneruskan jurnal itu kepada Usman Sastroamidjojo, adik politikus terkemuka Ali Sastroamidjojo. Usman kemudian meneruskan lagi kepada kawannya, Muksinun. Empat orang ini kemudian mengadakan pertemuan mingguan di pondokan Sugondo di Gang Rijksman (kini wilayah utara dari Jalan Juanda). Sugondo menyebut pertemuan rutin itu sebagai “hari ngobrol politik”.
Elizabeth Buettner dalam Europe After Empire: Decolonization, Society, and Culture (2014:82) menerangkan bahwa tulisan-tulisan yang dimuat secara anonim dalam Indonesia Merdeka, membeberkan bagaimana kolonialisme yang dipandang baik dan dirayakan di Eropa menunjukkan wajah bobroknya di tanah jajahan. Inilah yang menjadi bahasan acara “ngobrol politik” grup Sugondo.
Pertemuan rutin mereka akhirnya ditinggalkan oleh Usman pada tahun 1926 karena ia keluar dari RHS dan menjadi pengajar di Taman Siswa Yogyakarta. Sedangkan Muksinun menjadi tidak aktif akibat kesibukannya. Namun, pada tahun yang sama, hadir anggota baru “ngobrol politik”: Sigit (mahasiswa RHS), dan dua orang mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Dokter Hindia yaitu Gularso dan Darwis.
PPPI dan Jalan Menuju Kongres Pemuda Kedua
Mereka akhirnya mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dengan Sigit sebagai ketuanya. PPPI merupakan wadah penyampai gagasan fusi di antara organisasi-organisasi pemuda.
Sugondo ingin menyampaikan gagasan fusi dan persatuan Indonesia ini ke kalangan yang lebih senior seperti Agus Salim dan Ketua Budi Utomo saat itu, Kusumo Utoyo. Namun, di hadapan para senior, Sugondo "tidak bisa bicara apa-apa, hanya menjawab pertanyaan tentang profesor-profesor di sekolah […] dan tetek bengek lainnya.”
Pada tahun 1927, Sigit ditunjuk menjadi ketua Indonesische Clubgebouw (Gedung Klub Indonesia). Posisinya sebagai ketua PPPI diganti oleh Sugondo. Pertalian organisasi yang dipimpin oleh mereka akhirnya menguatkan sinyal fusi antarorganisasi. Sugondo mengumpulkan para pimpinan organisasi pemuda dan menyampaikan kepada mereka tentang pentingnya persatuan.
Namun, gagasan fusi itu banyak terpengaruh oleh latar kultural Jawa yang sentralistik. Banyak organisasi khawatir bahwa Jong Java sebagai organisasi besar akan menghegemoni organisasi baru yang lahir dari fusi antarorganisasi. Untuk membahas masalah ini, akhirnya disepakati akan dibentuk panitia yang mempersiapkan sebuah kongres pemuda. Panitia ini diketuai oleh Sugondo yang nantinya melahirkan Kongres Pemuda Kedua (27–28 Oktober 1928)--belakangan dijuluki sebagai “Sumpah Pemuda”.
Rapat tersebut diadakan dalam tiga sesi di tiga tempat berbeda. Rapat pertama digelar pada 27 Oktober 1928 di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (Persatuan Pemuda Katolik), dekat Waterlooplein (kini Lapangan Banteng). Rapat kedua dan ketiga diadakan pada 28 Oktober 1928, masing-masing di Gedung Bioskop Oost-Java (kini di Jalan Veteran III), dan Gedung IC di Kramat (kini Museum Sumpah Pemuda). Resolusi rapat disusun oleh Sugondo, Amir Syarifudin, dan Muhammad Yamin yang akhirnya—setelah bahasanya dipoles oleh Yamin—berpokok pemikiran: bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan, Indonesia.
Sugondo: Terus Terang dan Dialektis
Perannya pada hari itu sebenarnya tidak dapat disebut sebagai penanda puncak kontribusi Sugondo pada perjuangan kebangsaan Indonesia. Setelah Kongres Pemuda Kedua, Sugondo masih aktif sebagai anggota PNI, namun fokus utama hidupnya adalah bidang pendidikan dan pers.
Setelah menikah dengan Suwarsih pada 1932, orientasinya pada ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan menjadi semakin terang. Sugondo sempat mendirikan sekolah Loka Siswa yang berumur pendek di Bogor, serta mengajar di Bandung, Semarang, dan Batavia. Sekalipun perannya dalam "menyelundupkan" gagasan persatuan Indonesia sangat vital, tapi Sugondo tidak bombastis. Dia bahkan tidak segan mengkritik orang-orang yang mengakui peran mereka bila itu tak senyata fakta.
Dalam tulisannya di buku 45 Tahun Sumpah Pemuda (1974:212–14), Sugondo mempertanyakan tulisan Mardanus Safwan yang menyebut bahwa terdapat orang-orang yang menjadi tenaga pemikir (braintrust) dan pendorong terciptanya Kongres Pemuda Kedua—yang disebutnya terdiri dari sembilan orang. Sugondo mengungkapkan bahwa tidak ada serangkaian tenaga pemikir seperti itu dan Kongres Pemuda Kedua memiliki tujuan sederhana, yaitu fusi antarorganisasi—dan tidak perlu "dewan pemikir" untuk merumuskannya.
Sifatnya yang kritis dan terus terang dibawa ke dalam hubungan rumah tangganya dengan Suwarsih. Melalui cuplikan singkat yang ditunjukkan oleh Sutjiatiningsih dalam Soegondo Djojopoespito: Karya dan Pengabdiannya (1999:6), kita dapat melihat bahwa sepasang pemikir yang sama-sama mencintai buku itu: “suka sekali membanding-bandingkan pendapat, […] mendiskusikannya, [dan] karena tak jarang menimbulkan perdebatan [tampak] bagi orang lain yang kurang memahami pribadi mereka […] seperti sebuah pertengkaran.”
Hubungan Sugondo dan istrinya yang terbuka dan penuh dialog, menjadi model yang menantang pengetahuan mapan kita di masa kini, yang memfantasikan masa lalu sebagai realitas yang kolot dan konservatif.
==========
Artikel ini sebelumnya terbit pada 23 April 2021. Redaktur melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali dalam rangkaian Liputan Khusus Sumpah Pemuda 2022.
Editor: Irfan Teguh Pribadi & Fadrik Aziz Firdausi