tirto.id - Dalam bagian penutup Kartini Sebuah Biografi (1979), Sitisoemandari Soeroto mengungkapkan: “Kartini menduduki tempat khusus dalam Sejarah Indonesia Modern sebagai Ibu Nasionalisme.”
Ungkapan itu agaknya kurang populer. Boedi Oetomo yang dibentuk pada 1908 sebagai perkumpulan pemuda pribumi pertama, masih lebih kerap disebut sebagai pencetus nasionalisme ketimbang Kartini.
Bahkan tidak sedikit yang mempertanyakan kepeloporan Kartini karena dianggap tidak pernah menunjukkan perlawanan terhadap Belanda. Dalam wawancaranya dengan Tempo (12/12/1987), sejarawan Harsja Bachtiar bahkan sempat menyanggah pemilihan Kartini sebagai simbol perjuangan.
“Mbok kita cari tokoh-tokoh pejuang yang tanpa menyerah dan menang,” katanya.
Perjuangan Kartini dikerdilkan karena banyak yang mengira ia hanya memperjuangkan hak kaum perempuan. Selain itu, nasionalisme yang digagasnya pun masih sangat konseptual dan tercerai berai dalam tiap pucuk surat sehingga sulit diterjemahkan ke dalam dunia pergerakan.
Kartini sejatinya tidak pandang bulu dalam emansipasi.
“Usaha kami mempunyai dua tujuan, yaitu turut berusaha memajukan bangsa kami dan merintis jalan bagi saudara-saudara perempuan kami menuju keadaan yang lebih baik, yang lebih sepadan dengan martabat manusia,” tulis Kartini kepada Nellie van Kol pada tahun 1901 yang terdapat dalam Emansipasi: Surat-Surat Kepada Bangsanya, 1899-1904 (2017: hlm. 165).
Sitisoemandari menunjukkan bahwa konsep tentang bangsa yang tersirat dalam surat-surat Kartini berperan mendorong kemunculan kelompok diskusi tentang nasionalisme. Bukan sebuah kebetulan jika kelompok seperti ini bermunculan di Belanda dan Indonesia, beberapa saat setelah kumpulan surat Kartini yang berjudul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) diterbitkan pada tahun 1911.
Merayakan Nasionalisme Kartini
Tiga tahun sebelum surat-surat Kartini diterbitkan, perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda mendirikan Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Belakangan, organisasi ini berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) yang berfungsi sebagai wahana politik para pelajar Indonesia di Belanda.
Pada Oktober 1911, saat Notosoeroto memimpin PI, gagasan-gagasan Kartini mulai santer dibicarakan. Notosoeroto bahkan mengadakan rapat yang khusus membicarakan konsep nasionalisme Kartini pada 24 Desember 1911. Dalam rapat itu, ia menyampaikan pidato berjudul “Buah Pikiran Raden Ajeng Kartini sebagai Pedoman Perhimpunan Hindia.”
Seperti dikutip Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (2008: 78), Notosoeroto menyebut nasionalisme Kartini sebagai “bukan nasionalisme yang sempit, bukan peniruan unsur asing dengan sikap memandang rendah diri sendiri, melainkan membangun terus di atas dasar sendiri yang baik, menuju cita-cita manusia yang lazim.”
Berdasarkan paparan Poeze, rapat PI tersebut dihadiri pula oleh tokoh-tokoh Politik Etis sekaligus pejabat urusan pribumi, seperti Conrad Theodore van Deventer dan Jacques Henri Abendanon. Mereka tampil sebagai anggota kehormatan PI sambil menaruh harapan agar pengaruh Kartini dapat segera menegakkan emansipasi di tanah jajahan.
“Dalam perspektif mereka (penasihat urusan pribumi), para intelektual Jawa mengekspresikan keinginannya untuk bekerjasama dengan pejabat-pejabat kolonial yang tercerahkan untuk mendorong melakukan regenerasi masyarakatnya, sebagaimana ditunjukan dengan jelas dalam surat menyurat pribadi Raden Ajeng Kartini,” tulis Ulbe Bosma dalam kumpulan tulisan Recalling the Indies: Kebudayaan Kolonial dan Identitas Postkolonial (2004: hlm. 84).
Tjipto dan Kartini Club
Gagasan nasionalisme Kartini tidak hanya dirayakan kaum pergerakan di Belanda, tapi juga di tanah air. Di Jawa, ide pembentukan kelompok diskusi Kartini tercetus selang setahun setelah surat-surat Kartini diterbitkan di Belanda. Tjipto Mangoenkoesoemo adalah tokoh di balik pembentukan kelompok ini.
Tjipto merupakan tokoh menarik pada babak awal periode Kebangkitan Nasional. Ia dikenal sebagai sosok pembangkang yang tidak segan mengkritik adat kolot bangsawan Jawa, seperti halnya yang kerap dilakukan Kartini. Di tengah gelombang pasang nasionalisme Jawa berkat kemunculan Boedi Oetomo pada 1908, Tjipto malah menjauhi organisasi tersebut.
Menurut Slamet Muljana dalam Nasionalisme sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia (1963: hlm. 51), alasan Tjipto hengkang dari Boedi Oetomo karena tidak puas terhadap anggaran dasar organisasi yang hanya berkenan membahas masalah orang-orang Jawa. Pada September 1909, Tjipto sempat mengajukan usul agar Boedi Oetomo memperluas keanggotaan perkumpulan dengan menerima seluruh penduduk Hindia tanpa pandang etnik. Namun usulannya ditolak dalam rapat pengurus.
Posisi Tjipto sebagai komisaris besar Boedi Oetomo tidak mampu meluluskan cita-citanya. Ia malah sempat bersitegang dengan Radjiman Wedyodiningrat yang menganggap pemikiran Tjipto terlalu progresif sehingga sulit diterima masyarakat Jawa. Akibatnya, Tjipto merasa tidak sejalan lagi dengan ideologi organisasi itu dan memilih mundur dari keanggotaan.
Pada 1910, ia melanjutkan pekerjaannya sebagai dokter Jawa dengan membantu korban wabah pes di Malang. Sejak itu, Tjipto semakin menjauhi pergaulan orang-orang Jawa yang cenderung tertutup, dan memilih berkumpul bersama orang-orang Indo dan orang Jawa yang berpikiran terbuka.
Tjipto lantas mendekatkan diri ke arah lingkaran pergerakan orang-orang Indo yang dikerahkan Douwes Dekker dari Bandung. Melalui mereka, ia menjadi lebih banyak berkenalan dengan pemikiran Kartini. Secara konsisten Tjipto mengirimkan tulisannya ke surat kabar De Expres milik Douwes Dekker dan menunjukkan bahwa emansipasi Kartini bukan hanya untuk kaum perempuan.
“Tiap-tiap halaman [surat-surat] Kartini selalu menyatakan kerinduannya untuk melihat rakyatnya bangun, bangkit dari keadaan tidur pulas yang telah beratus-ratus tahun mencekam mereka,” tulis Tjipto seperti dikutip Sitisoemandari dalam Kartini Sebuah Biografi (hlm. 430).
Sambil mengacu pada konsep nasionalisme Kartini, Tjipto mendirikan kelompok diskusi yang diberi nama Raden Ajeng Kartini Club pada 3 September 1912 di Surabaya. Pradipto Niwandhono dalam Yang Ter(di)lupakan: Kaum Indo dan Benih Nasionalisme Indonesia (2011: hlm. 141), sedikit merinci kegiatan Kartini Club yang diisi dengan banyak mengikuti kampanye keliling dan serangkaian rapat umum yang diadakan Douwes Dekker.
Namun, seperti halnya Kartini yang mati muda, Kartini Club pun tidak berusia lama. Setelah Tjipto menjadi pengurus redaksi De Expres, nasib kelompok diskusi Kartini menjadi tidak jelas. Selain Tjipto, tokoh terkemuka lain yang “lulus” dari Kartini Club adalah pemuda lulusan STOVIA bernama Soetomo.
Bertepatan dengan hari Natal 1912, Douwes Dekker untuk pertama kalinya membuka rapat umum Indische Partij. Rapat yang diadakan di Bandung itu menetapkan Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai wakil ketua mendampingi Douwes Dekker.
Dalam sambutannya, Douwes Dekker mencampurkan ideologi sosialis Indische Partij dengan judul kumpulan surat Kartini. Ia menyebut Indische Partij sebagai “sinar terang yang melawan kegelapan, peradaban yang melawan tirani, dan budak koloni yang membayar belasting (pajak) melawan kerajaan penjajah pemungut pajak.”
Sikap Douwes Dekker yang dianggap terlalu radikal membuat Indische Partij kesulitan mendapat pengakuan dari Pemerintah Kolonial. Setelah ditetapkan sebagai partai terlarang, para pemimpinnya, termasuk Tjipto, dijerat pasal tentang delik pers sehingga terpaksa mengasingkan diri ke Belanda.
Setelah pulang dari pengasingan, Tjipto kembali mendirikan kelompok diskusi pada tahun 1925 yang bernama Algemene Studie Club. Kelompok diskusi ini ia bentuk di Bandung bersama Sukarno, Abdoel Moeis, Ishaq Tjokrohadisoerjo, dan Anwari.
Melalui kelompok diskusi inilah Tjipto meramu kembali nasionalisme yang semula didiskusikan dalam Kartini Club, dan dijadikan sebagai tesis gerakan anti-kolonialisme.
Puluhan tahun kemudian, pada 2 Mei 1964, Presiden Sukarno menetapkan Kartini sebagai pahlawan nasional. Dan setahun setelah itu, yakni tanggal 21 April 1965, tepat hari ini 55 tahun lalu, Hari Kartini pertama kali dirayakan.
Editor: Irfan Teguh