tirto.id - Dalam bukunya yang termasyhur, Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature (1982), Robert Nieuwenhuys menyatakan betapa koloni Hindia Belanda telah memberikan kemakmuran luar biasa kepada orang-orang Belanda yang tinggal di dalamnya. Mereka yang berstatus kelas menengah bawah dan terkesan biasa saja di Eropa akan dijamin kemakmurannya begitu menginjakkan kaki di negeri rempah ini (hlm. 154).
Setelah 1860-an, orang-orang Belanda, termasuk para perempuan, semakin banyak berdatangan di negeri koloni itu. Kondisi yang demikian, menurut Nieuwenhuys, meningkatkan intensitas komunikasi dan kerja sama antara orang kulit putih dengan para elite pribumi.
Lama kelamaan, orang-orang kulit putih mulai menyadari bahwa kondisi ekonomi Hindia Belanda sangat menyedihkan. Tanggung jawab atas negara koloni kemudian muncul tatkala surat kabar berbahasa Belanda De Locomotief menerbitkan tulisan berjudul “Gerakan Politik Etis di Negara Koloni” yang ditulis jurnalis Pieter Brooshoof.
“Saya adalah orang Belanda yang setiap hari menerima penghasilan dari negara koloni. Saya seharusnya memihak kepentingan Belanda daripada orang-orang Hindia Belanda, tetapi saya tidak ragu untuk sesaat pun bahwa Belanda telah melakukan ketidakadilan bagi orang-orang Hindia,” tulis Brooshooft seperti dikutip Nieuwenhuys.
Di pengujung abad 19, Pemerintah Kolonial mulai didesak untuk membayar utang budi kepada negara jajahan. Desakan ini asalnya dari artikel bertajuk “Utang Budi” yang ditulis seorang ahli hukum bernama Conrad Theodore van Deventer dan terbit di jurnal De Gids pada 1899.
Deventer berargumen bahwa Belanda berutang kewajiban moral yang sangat besar kepada penduduk Hindia Belanda atas kekayaan yang selama ini diambil dari mereka. Salah satu cara untuk menebusnya ialah dengan cara menyediakan pendidikan yang layak.
Kartini dan Perempuan Belanda
Di antara elite pribumi perempuan zaman kolonial yang dekat dengan pergaulan lintas rasial, Kartini merupakan salah satunya. Sejak kecil, putri Bupati Jepara itu berkawan dengan banyak orang Belanda, baik laki-laki maupun perempuan yang dikenalnya berkat status ningratnya.
Tak hanya kawan sekolah, Kartini juga memiliki sahabat pena dari Belanda bernama Estelle H. Zeehandelaar. Sebagian besar teman perempuan Belanda yang ditemuinya berpesan kepada Kartini agar jangan mau dipingit. Kepada teman-teman perempuan Belandanya pulalah Kartini merasa bebas berbicara tentang emansipasi.
Berdasarkan catatan Sitisoemandari dalam Kartini Sebuah Biografi (1979), Kartini juga memiliki teman seorang istri asisten residen Jepara yang bernama Nyonya Ovink-Soer. Selama tujuh tahun masa tugas Ovink di Jepara, Kartini dan adik-adiknya rajin menyambangi sang nyonya. Kepada nyonya Ovink-Soer, Kartini kerap mengutarakan rasa hausnya terhadap pemikiran-pemikiran modern.
Setelah Ovink-Soer tak bertugas lagi di Jepara, Kartini bertemu keluarga Abendanon di tahun 1900. Menurut Sitisoemandari, kala itu suami-istri pejabat Dinas Pendidikan Belanda tersebut tengah berkeliling Jawa menemui para Bupati untuk mencari kemungkinan pembukaan sekolah percobaan bagi pribumi (hlm. 217-218). Usia Kartini saat itu 21 tahun.
Sementara Tuan Abendanon bercakap-cakap dengan Bupati Jepara, sang istri Rosa Manuela memilih berbincang bersama Kartini dan kedua saudarinya. Ketika mendengar ide Kartini agar pemerintah membuka sekolah kejuruan perempuan, kedua alis mata Rosa langsung naik. Rosa menjadi amat tertarik pada sosok Kartini.
Kartini dan Rosa Manuela pun menjadi sangat akrab. Surat menyurat di antara keduanya tak pernah terputus. Mereka kerap membicarakan masalah perempuan dan tentang ide-ide emansipasi yang sudah direnungkan Kartini semenjak pertama kali berkirim surat dengan Estelle.
Perkawanan Kartini dengan nyonya Belanda lainnya juga sempat terjalin di Istana Gubernur Jenderal di Bogor. Kala itu Kartini datang dengan maksud memperjuangkan rencana studinya ke Belanda. Sayangnya, Istana Bogor tengah mengadakan pesta sehingga niatnya ini harus urung untuk sementara.
Tak berkecil hati, Kartini malah asyik mengobrol bersama Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jenderal Rooseboom. Mereka pun langsung karib. Hilda merasa pemikiran Kartini sangat luar biasa untuk ukuran perempuan Jawa yang tradisional.
Sepeninggal Kartini pada 1904, Rosa Manuela dan kawan-kawan perempuannya merasa sangat kehilangan. Penyesalan pun membayangi Rosa Manuela karena dua tahun sebelumnya Rosa sempat berusaha menghalangi rencana studi Kartini ke Belanda lantaran takut ke-Jawa-an Kartini menghilang. Di tahun yang sama, Rosa dan suaminya pulang ke Belanda dengan menyunggi perasaan bersalah.
Untuk menebusnya, Rosa menyusun rencana menerbitkan surat-surat Kartini. Ia mulai menyurati kawan-kawan Kartini seperti Estelle, Hilda de Booy-Boissevain, Nyonya Ovink-Soer, dan lain-lain. Berkat mereka, buku Door Duisternist Tot Licht (Dari Gelap Timbulah Terang) berhasil diselesaikan dan terbit pada April 1911.
Atas Nama Kartini
Sitisoemandari menuturkan, kumpulan surat Kartini laku keras dan langsung ludes pada minggu pertama penjualan di Negeri Kincir Angin. Salah satu pembeli dan pembacanya yang paling setia ternyata adalah Deventer beserta istrinya, Elizabeth Maas.
Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas: Colonial Practice in the Netherlands Indies, 1900-1942 (2008) memaparkan kehebatan Kartini memantik imajinasi orang-orang Belanda yang berhaluan politik etis. Predikat gadis Jawa terkekang yang berpikiran bebas dan modern membuat Kartini dianggap sebagai sebuah fenomena ajaib di negeri koloni oleh orang-orang Belanda (hlm. 84).
Menurut Retnaningtyas Dwi Hapsari dalam makalah “Sekolah Kartini dan Van Deventer: Pelopor Sekolah Perempuan di Semarang Pada Masa Kolonial”, belum genap satu tahun setelah kumpulan surat kartini diterbitkan, perhatian untuk mempersembahkan pendidikan formal bagi perempuan Jawa sudah mulai meningkat. Pada saat itu Ratu Belanda menunjuk Abendanon untuk mengurusi masalah pendidikan perempuan pribumi di Hindia Belanda.
Sekitar awal 1912, terbentuklah sebuah komite yang bertugas merumuskan model pendidikan perempuan Jawa. Komite ini secara penuh digerakkan oleh mereka yang sejak lama bergelut dengan urusan negeri jajahan sekaligus orang-orang yang dekat dengan pemikiran Kartini, seperti di antaranya pasangan suami-istri Abendadon dan Deventer.
Anggota komite pertama kali mengadakan rapat pada 1 Februari 1912 di Den Haag dan menghasilkan pembentukan Yayasan Kartini. Secara resmi, yayasan yang sumber dananya berasal dari penjualan kumpulan surat Kartini itu diresmikan pada 22 Februari 1912 dengan Conrad Theodore van Deventer sebagai pimpinan pertama.
Sitisoemandari juga mencatat keterlibatan Hilda de Booy-Boissevain dalam kampanye pengumpulan dana sekolah melalui Komite Dana Kartini antara 1913-1914. Sekembalinya ke Belanda, Hilda rajin berkeliling memberikan ceramah tentang kisah gadis Jawa berkemauan keras bernama Kartini.
Sekolah Khusus Putri Priayi
Menurut catatan perjalanan sejarah keluarga Deventer, segera setelah diserahi posisi ketua Yayasan Kartini, Deventer mengajak istrinya kembali ke Hindia Belanda untuk mendirikan sekolah. Persinggahan kedua mereka kala itu berhasil mendirikan Sekolah Kartini di Semarang pada 1913.
Kembali mengutip peneliteian Hapsari, sekolah perempuan pertama yang didirikan di Jomblang, Semarang itu merupakan sekolah swasta perempuan pertama yang menerima subsidi pemerintah Belanda. Sebelum resmi berdiri, Sekolah Kartini menerima tidak kurang dari f23.000 untuk membangun sarana dan prasarana sekolah.
Di tahun pertamanya, Sekolah Kartini mampu menampung sekitar 112 orang siswi usia 7 sampai 13 tahun dengan lama pendidikan dua tahun. Jumlah ini terus meningkat seiring tahun. Sampai 1920-an, anak-anak perempuan yang menuntut ilmu di sekolah ini sudah mencapai lebih dari 200 orang dengan lama pendidikan tujuh tahun.
Berkat status ningrat Kartini, pada mulanya Sekolah Kartini juga hanya ditujukan untuk anak-anak priayi. Seluruh posisi staf pengurus hingga tenaga pengajar ditempati perempuan-perempuan Belanda yang didatangkan langsung dari negeri induk.
Kebijakan ini perlahan berubah tatkala jaringan sekolah yang kian menyebar. Selain itu, bertambahnya jumlah kalangan menengah yang juga ingin agar anak gadisnya bersekolah menjadi salah satu alasan Sekolah Kartini tak lagi didominasi anak-anak perempuan berdarah biru.
Sekolah Kartini yang didirikan di Jakarta di bawah Vereeniging Bataviasche Kartinischool (Perhimpunan Sekolah Kartini Batavia) menjadi jaringan sekolah pertama yang mau menampung anak-anak yang tidak mampu masuk Sekolah Kartini. Oleh perhimpunan ini, anak-anak putri dari kalangan menengah dikumpulkan di sekolah Kemadjoean Istri School yang dikategorikan sebagai sekolah pribumi kelas dua.
Menurut penelusuran Hanna Rambe dalam artikel “Sekolah Kartini” yang dimuat pada Satu Abad Kartini (1990), keadaan di Sekolah Kartini perlahan berubah setelah 1928. Partisipasi perempuan dalam Kebangkitan Nasional kala itu berperan memasukan guru-guru perempuan pribumi ke dalam jajaran pengurus sekaligus tenaga pengajar di Sekolah Kartini (hlm. 150).
Editor: Ivan Aulia Ahsan