Menuju konten utama

Intrik Politik Orang-Orang Belanda di Belakang Perjuangan Kartini

Perjuangan Kartini menempuh ilmu di Belanda dikhawatirkan dapat mendorong kelahiran kaum proletariat kerah putih pribumi yang suka menunjuk keburukan sosial di Hindia Belanda.

Intrik Politik Orang-Orang Belanda di Belakang Perjuangan Kartini
RA Kartini. FOTO/commons.wikimedia.org

tirto.id - Seorang gadis yang baru beranjak remaja berjalan tertatih-tatih di atas jalanan tanah. Matanya berkaca-kaca, sementara dadanya kembang kempis berusaha menahan agar air matanya tidak tumpah. Gadis itu bernama Kartini.

Gerbang Kabupaten Jepara yang megah telah menanti kepulangan Kartini. Hari ini merupakan hari terakhirnya menempuh pendidikan sekolah dasar di Europese Lagere School (ELS) Jepara. Kartini hampir-hampir tidak percaya beberapa saat lagi dirinya bukan orang bebas lagi.

Sambil memasuki serambi rumah, ingatan Kartini kembali ke beberapa waktu lalu saat seluruh teman-teman sekolahnya memeluk dan menyalami kepergiannya. Tuan Detmar, Kepala Sekolah sekaligus ayah dari Letsy, sahabat Kartini di sekolah, turut mengawal perpisahan itu. Dengan lembut ia bertanya apakah Kartini mau ikut Letsy meneruskan sekolah ke Belanda.

Kartini hanya mendengarkan. Bola matanya berbinar. Ia sadar betul: sejak kecil cita-citanya adalah menuntut ilmu ke negeri tersebut. Bukan sekali dua kali saja ia merasa cemburu pada Letsy dan teman-teman Eropanya yang dengan bangga menceritakan rencana mereka sekolah ke Belanda setamat dari ELS.

Akan tetapi, pada akhirnya ia tetap harus mengubur keinginan tersebut. Penyebabnya, sang ayahanda, Bupati Jepara R.M. Adiapti Ario Sosroningrat, sudah memutuskan bahwa Kartini harus dipingit di usianya yang ke-12.

Itulah isi surat pertama Kartini kepada Rosa Manuela Abendanon pada bulan Agustus 1900. Kumpulan surat tersebut kemudian disunting dan diterbitkan oleh Rosa ke dalam antologi Door Duisternis Tot Licht tujuh tahun setelah Kartini tutup usia.

Berawal dari buku ini, gelombang pertentangan internal di kalangan orang-orang Belanda perlahan-lahan mulai terlihat.

Mendamba Negeri Belanda

Setelah menjalani masa pingitan kurang lebih selama enam tahun, Kartini akhirnya dapat menghirup udara kebebasan pada 1898. Selama itu pula, Kartini tidak pernah lupa akan cita-citanya. Semuanya ia curahkan kepada sahabat-sahabat penanya yang sebagian besar merupakan orang-orang Eropa.

Pada 1902, Kartini kedatangan tamu seorang penting dari Parlemen Kerjaan Belanda bernama Henri Hubertus van Kol. Perjalanan van Kol ke Jawa pada saat itu sebenarnya merupakan perjalanan dinas, meski demikian ia tetap meluangkan waktu pergi ke Jepara untuk menemui Kartini.

Dari mulut Kartini sendiri, van Kol mendapati bahwa gadis itu berhasrat melanjutkan sekolah, tetapi kekurangan biaya dan restu dari orang-orang sekitarnya.

Perjalanan van Kol ke Jepara pada 20-21 April 1902 sempat diliput oleh wartawan De Locomotief bernama Stoll. Melalui laporan berjudul “Met van Kol op reis” (Mengikuti Perjalanan van Kol), Stoll menceritakan panjang lebar mengenai janji van Kol memperjuangkan cita-cita seorang putri Bupati Jepara yang sedang gigih merintis jalan bersekolah ke negeri Belanda.

Van Kol nyatanya memang benar-benar menepati janjinya. Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini Sebuah Biografi (1979: hlm. 269) mencatat kemenangan van Kol meraup suara bulat atas permintaan Kartini di hadapan rapat Parlemen Belanda pada 26 November 1902. Persetujuan itu diikui oleh putusan berupa pemberian subsidi sekolah kepada Kartini dan adiknya Roekmini.

Menurut Sitisoemandari, pemberian subsidi kepada pribumi pada masa itu masih menjadi hal yang asing, terlebih untuk seorang perempuan. Menteri Seberang Lautan, Alexander Willem Frederik Idenburg, menuturkan bahwa umumnya anggota Parlemen Kerajaan Belanda tidak menyetujui pemberian bantuan. Namun, secara luar biasa van Kol berhasil mendulang dukungan atas proposal Kartini (hlm. 270).

Keberhasilan van Kol di hadapan Parlemen Belanda lantas menimbulkan kecemburuan dan fitnah di kalangan publik di Hindia Belanda, khususnya kalangan ningrat Jawa. Sebagian besar dari mereka menganggap rencana pemerintah Belanda membiayai perjalanan Kartini dan Roekmini ke Belanda adalah suatu hal yang tidak masuk akal.

Hal ini dituturkan sendiri oleh Kartini dalam suratnya kepada van Kol tertanggal 3 Januari 1903. Ia menulis: “Sekarang orang sedang menghasut keluarga kami untuk menghalang-halangi maksud kami. Tidak pantas, kami pergi ke negeri Belanda. Dan betapa memalukan hendak pergi dengan ongkos orang lain.”

Demikian surat Kartini yang disunting ulang ke dalam Emansipasi: Surat-Surat Kepada Bangsanya, 1899-1904 (2017: hlm. 414).

Mereka yang Menghambat Jalan ke Belanda

Rencana Kartini sekolah ke Belanda nyatanya juga tidak mendapat sambutan baik dari sebagian kawan-kawan Eropanya. Keluarga Abendanon, yang awalnya sangat mendukung semangat belajar Kartini, tiba-tiba menunjukan perubahan sikap dengan berusaha menghalangi kepergian Kartini.

Jacques Henri Abendanon dan istrinya Rosa Manuela Abendanon merupakan penganut paham Politik Etis yang paling tekun. Berdasarkan catatan Sitisoemandari, menjelang peralihan ke abad 20, pasangan yang bekerja untuk Dinas Pendidikan Hindia Belanda itu diberi tugas berkeliling Jawa dan Madura. Mereka harus menemui para Bupati untuk memetakan rencana belajar dan sekolah untuk pribumi sebagai bagian kebijakan Politik Etis (hlm. 217-218).

Danilyn Rutherford, melalui makalah “Unpacking National Heroine: Two Kartinis and Their People” yang dikumpulkan dalam jurnal Indonesia, Vol. 55 (April 1993), memberi petunjuk bahwa kepentingan Abendanon menghalangi rencana sekolah Kartini datang dari keinginan menjaga ketertiban moral masyarakat Hindia Belanda.

Abendanon kahwatir sekembalinya Kartini dan Roekmini dari Belanda, mereka bakal disambut oleh sikap antipati pembesar-pembesar pribumi lantaran belajar atas subsidi Kerajaan Belanda. Selain itu, Kartini juga kemungkinan akan kehilangan nilai-nilai kejawaannya sehingga cita-citanya membuka sekolah perempuan Jawa akan menemui banyak kesulitan.

Manuver Abendanon tersebut seolah dibenarkan melalui surat yang ditulis Dokter langganan Kartini di Rembang yang bernama Bouman. Menurut Bouman, terdapat ketakutan di kalangan orang-orang Belanda yang bertugas melindungi kepentingan negara Koloni.

Kepergian Kartini ke Belanda justru dikhawatirkan dapat mendorong kelahiran kaum proletariat kerah putih pribumi yang suka menunjuk keburukan sosial di Hindia Belanda.

Sebagian orang-orang yang berseberangan dengan Abendanon seperti Stella Zeehandelaar dan Nellie van Kol, istri Henri Hubertus van Kol, percaya bahwa Abendanon bergerak di bawah bayang-bayang kepentingan politik. Dalam korespondensi yang terjalin di antara keduanya tersurat anggapan bahwa pemerintah kolonial telah mengorbankan Kartini demi kepentingan tanah jajahan.

“Amat kejam jika kita pikirkan bagaimana anak itu dengan kehidupannya yang indah dan memberi banyak harapan telah dikorbankan kepada gagasan-gagasan yang egoistik. Ia [Kartini] telah dikorbankan untuk kepentingan Pemerintah Hindia Belanda,” tulis Stella kepada Nellie van Kol dalam surat tertanggal 26 Oktober 1904, sebagaimana dikutip Sitisoemandari dari kumpulan tulisan Bouman tentang Kartini (hlm. 330).

Pertentangan Dua Kubu

Sikap menentang yang ditunjukan Stella Zeehandelaar dan Nellie van Kol sebenarnya dapat dipahami.

Selain pernah menjalin korespondensi dengan Kartini, keduanya juga sama-sama tinggal di Belanda dan merupakan aktivis perempuan yang giat di Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda. Henri Hubertus van Kol, suami Nellie, merupakan salah satu dari 12 pendiri partai oposisi ini.

Berdasarkan tulisan Fritjof Tichelman yang dimuat dalam Internationalism in the Labour Movement: 1830-1940 (1988: hlm. 104), diketahui bahwa SDAP memang kerap mengkritik kebijakan pemerintah Belanda terkait wilayah Hindia Belanda. Kelompok ini juga berulangkali melayangkan keberatan atas kebijakan kerja paksa serta keputusan Belanda untuk berperang dengan rakyat Aceh di pengujung abad 19.

Tichelman mengimbukan, Henri Hubertus van Kol pun dikenal sebagai sosok yang paling vokal mengkritik kebijakan kolonial di antara anggota parlemen. Barangkali kedatangannya ke Jepara menemui Kartini pada 1902 bukanlah sebuah kebetulan.

Pasalnya, sejak semula SDAP dikenal sangat mendukung segala bentuk gerakan reformasi yang terjadi di Hindia Belanda, termasuk modernisasi pemikiran di lingkungan orang Jawa.

Andi Achdian dalam The Angle of Vision Mereka yang Tidak Menyerah Pada Sejarah (2015: hlm. 10-11) mendeskripsikan Stella Zeehandelaar sebagai feminis radikal yang juga seorang sosialis SDAP.

Di antara sahabat-sahabat pena Kartini yang lain, Stella merupakan orang yang paling awal bertukar surat dengan Kartini. Stella mengenal Kartini pada 1899 dari sebuah rubrik majalah perempuan De Holandsche Lelie yang diampu oleh Nellie van Kol.

Infografik Orang Belanda di Belakang Perjuangan Kartini

Infografik Orang Belanda di Belakang Perjuangan Kartini. tirto.id/Sabit

Setelah Kartini tutup usia, Rosa Abendanon merngirimkan surat kepada Stella yang menunjukan keinginan untuk meminjam surat-surat Kartini untuk disunting menjadi buku. Rosa mengaku merasa bersalah telah menghalangi cita-cita Kartini bersekolah ke Belanda. Menerbitkan buku berisi pemikiran-pemikiran Karini merupakan caranya menebus kesalahan.

Lantaran keduanya berdiri di jalur politik yang berlawanan, Stella hanya mau meminjamkan 14 pucuk surat. Sementara sisanya yang diperkirakan berjumlah sekitar 20-25 surat tidak pernah diberikan.

Sitisoemandari berpendapat surat-surat itu dibakar agar tidak jatuh ke tangan orang-orang pemerintahan (hlm. 325). Selain Stella, sahabat pena lainnya yang bernama Annie Gleser malah menolak untuk memberikan barang sehelai surat saja.

Keputusan Rosa Abendanon untuk menjadikan kumpulan surat Kartini sebagai sumber pemasukan dana pembangunan sekolah pun secara tidak langsung mengusik hati Stella dan kawan-kawan sosialisnya.

Mereka semakin resah lantaran Abendanon secara sepihak melakukan sensor dengan memotong pemikiran Kartini yang menunjukkan kritik terhadap pemerintah kolonial. Semua itu diduga dilakukan Abendanon agar tidak mengusik calon donatur yang seluruhnya orang Belanda.

Namun, toh, hasil suntingan kumpulan surat Kartini tetap laku keras di negeri Belanda. Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas: Praktik Koolnial di Hindia Belanda, 1900-1942 (1995: hlm. 151) menyebut hasil yang dituai dari penerbitan Door Duisternis Tot Licht sesuai dengan apa yang diharapkan.

Setelah tahun 1911, tidak sedikit orang-orang Belanda mulai mengenal Kartini dan menganggapnya sebagai sebuah fenomena ajaib buah keberhasilan Politik Etis.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Politik
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Eddward S Kennedy