tirto.id - “Dengan tegas, saya menyatakan diri sebagai musuh dari siapapun yang akan membikin kita menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang!”
Ucapan lantang yang seperti mengajak ribut kaum kolonial ini keluar dari mulut Raden Mas Panji Sosrokartono. Ia lelaki Jawa tulen, seorang ningrat sejati, putra Bupati Jepara Raden Mas Ario Sosrodiningrat.
Tapi, jangan salah. Sosrokartono bukan jagoan kampung macam katak dalam tempurung. Selama nyaris tiga dasawarsa, ia telah berkelana di Eropa.
Sosrokartono adalah lulusan Universitas Leiden. Kakak kandung R.A. Kartini ini pernah bertugas sebagai wartawan untuk meliput Perang Dunia I. Ia juga sempat menjadi kepala juru bahasa di Liga Bangsa-Bangsa serta atase kebudayaan untuk Kedubes Perancis di Den Haag.
Pemikiran Sosrokartono sangat maju, bervisi jauh ke depan. Ia menguasai lebih dari 35 bahasa. Saking cerdasnya, orang-orang Eropa menjulukinya Si Jenius dari Timur.
Namun, saat pulang ke tanah air, segala kelebihan Sosrokartono yang diakui dunia seolah tak terpakai. Pemerintah kolonial Hindia Belanda amat mencurigainya, cap komunis pun dituduhkan terhadap sang pangeran.
Sosrokartono terlunta-lunta di tanah airnya sendiri. Utangnya menumpuk lantaran susah mendapat pekerjaan. Hingga kemudian ia terserang lumpuh dan akhirnya mengembuskan napas penghabisan.
Pangeran Jenius dari Timur
Lahir di Jepara tanggal 10 April 1877, Raden Mas Panji Sosrokartono pergi ke Eropa sejak berusia 21. Pada 1898, ia sudah merantau ke Belanda untuk meneruskan studinya setelah lulus dari sekolah menengah atas di Semarang.
Dikutip dari R.M.P. Sosrokartono: Sebuah Biografi (1987) karya Solichin Salam, seorang insinyur berkebangsaan Belanda bernama Ir. Heyning menyarankan kepada Sosrokartono agar melanjutkan pendidikan ke Polytechnische School te Delft.
Jika kelak lulus sebagai insinyur dari sekolah tinggi teknik di Belanda itu, Sosrokartono diharapkan bisa mengatasi ancaman krisis air yang diprediksi bakal melanda Jepara, juga meningkatkan tata kelola penggunaan air untuk pertanian di kawasan itu.
Atas dukungan ayahnya, Sosrokartono mematuhi anjuran tersebut meskipun hati kecilnya berkata lain. Benar saja, ia merasa tidak cocok menjadi siswa di sekolah teknik. Maka, Sosrokartono kemudian memutuskan pindah haluan, ia memilih Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden.
Sejak bersekolah di Semarang, Sosrokartono memang menonjol dalam bidang bahasa dan sastra. Ia sudah sangat mahir berbahasa Belanda dan beberapa bahasa asing lainnya. Bahkan, Sosrokartono menuntaskan ujian akhirnya dengan menulis karangan dalam bahasa Jerman.
Sosrokartono lulus dari Leiden pada 1908, meraih gelar Sarjana Bahasa dan Sastra Timur. Kemampuannya meningkat pesat, ia menguasai puluhan bahasa dari banyak bangsa di dunia. Ia juga mulai aktif menulis di surat kabar. Namanya tercantum dalam daftar dewan redaksi Bintang Timoer yang terbit di Belanda pada 1903 pimpinan Abdul Rivai.
Setelah lulus, Sosrokartono tak langsung pulang. Ia ingin menimba ilmu dan mencari pengalaman lebih banyak lagi di Eropa meskipun di tanah airnya saat itu sedang tumbuh rasa nasionalisme yang kuat. Ya, tanggal 20 Mei 1908, lahir Boedi Oetomo (BO) yang disebut-sebut sebagai tonggak kebangkitan nasional.
Mengenai hal ini, dalam Drs. RMP Sosrokartono: Menumbuhkan Sikap Patriotisme, Membangun Karakter Bangsa (2003), Aksan mengungkapkan nama Sosrokartono terdapat dalam keredaksian penyusun buku yang dikirim Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia (Indonesia) kepada Boedi Oetomo.
Indische Vereeniging adalah organisasi pelajar dan mahasiswa asal Indonesia di Belanda yang juga didirikan pada 1908. Dengan demikian, ada kemungkinan Sosrokartono turut pula memprakarsai berdirinya perhimpunan itu, atau setidaknya ikut membantu penyusunan buku untuk Boedi Oetomo.
Sosrokartono masih berada di Eropa ketika Perang Dunia I meletus pada 1914. Ia kemudian mendaftarkan diri menjadi jurnalis atau koresponden perang di Eropa untuk surat kabar ternama terbitan Amerika Serikat, The New York Herald Tribune.
Sumidi Adisasmita dalam Surat-surat Wasiat Peninggalan Jiwa Besar Kaliber Internasional Drs. Sosrokartono 1877-1952 (1972) menuliskan, Sosrokartono menjadi satu-satunya mahasiswa yang lulus tes koran itu. Ia dites menerjemahkan artikel panjang dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Rusia.
Resmi menjadi wartawan perang, Sosrokartono disusupkan ke dalam pasukan Sekutu agar lebih leluasa bergerak. Ia diberi pangkat mayor. Akan tetapi, Sosrokartono tidak mau membawa senjata. “Saya tidak akan menyerang orang, karena itu saya pun tak akan diserang. Jadi, apa perlunya membawa senjata?” kilahnya.
Sosrokartono terbilang sukses menjalankan pekerjaannya. Salah satu hasil liputannya adalah perundingan antara Jerman dengan Perancis. Pertemuan ini dilakukan rahasia di dalam gerbong kereta yang ditempatkan di hutan pedalaman Perancis dan dijaga sangat ketat.
Mohammad Hatta dalam Memoir (1979) meyakini, gaji Sosrokartono sebagai jurnalis The New York Herald Tribune sangat besar untuk ukuran zaman itu, yakni 1.250 dolar AS per bulan (setara 31.093 dolar AS saat ini). Hatta menyebut, pangeran Jawa berparas menarik itu hidup dengan pergaulan mewah di Wina, Austria.
Tersia-sia di Negeri Sendiri
Setelah perang berakhir, Sosrokartono dipercaya menjadi juru bahasa Blok Sekutu pada 1918. Setahun berselang, ia diminta Volken Bond atau Liga Bangsa-Bangsa (cikal-bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB) untuk menjadi kepala juru bahasa.
Sosrokartono saat itu sudah menguasai lebih dari 35 bahasa, baik bahasa-bahasa dari bangsa-bangsa besar di dunia, maupun bahasa dari bangsa-bangsa yang relatif kurang familiar, termasuk beberapa bahasa daerah.
Pada 1921, ia sempat menjadi pejabat tinggi Kedutaan Besar Perancis untuk Belanda di Den Haag, yakni sebagai atase kebudayaan. Empat tahun kemudian, Sosrokartono memutuskan pulang ke Indonesia.
Namun, kehidupan Sosrokartono di negerinya sendiri justru bertolak belakang dengan saat hidup di Eropa. Banyak petinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda yang membencinya, atau mewaspadainya, karena jelas, pria ini bukan orang sembarangan.
Beberapa kali Sosrokartono ditawari pekerjaan di pemerintahan, namun selalu ditolaknya. Sosrokartono ingin bekerja untuk memajukan rakyat tanpa harus meminta belas kasihan pejabat kolonial.
Penolakan demi penolakan tersebut membuat pemerintah Hindia Belanda heran dan curiga. Sebagai tindakan antisipasi, Sosrokartono dituduh sebagai komunis agar geraknya terbatas. Akibatnya, Sosrokartono kian sulit memperoleh pekerjaan.
“Itu merupakan bentuk fitnah yang sangat keji yang saya rasakan, namun tidak berdaya terhadapnya,” tulis Sosrokartono dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon.
Nyonya yang dimaksud adalah istri Jacques Henrij Abendanon, mantan Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Keluarga Abendanon ini memang berhubungan baik dengan keluarga Sosrokartono, termasuk dengan adik perempuannya yang telah wafat pada 1904, R.A. Kartini.
Dikutip dari tulisan Tunggul Tauladan yang terhimpun dalam buku Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007), Sosrokartono melanjutkan keluhannya:
“Tapi kepada Anda, nyonya yang mulia, saya bersumpah atas kubur ayah saya dan Kartini, bahwa saya sama sekali tak pernah menganut paham komunis, dulu tidak, sekarang pun tidak.”
“Tidak ada yang lebih saya inginkan daripada bekerja untuk pendidikan mental sesama bangsa saya, dalam artian yang telah dimaksudkan oleh Kartini,” imbuh Sosrokartono.
Ki Hajar Dewantara kemudian menawari Sosrokartono untuk mengajar di Taman Siswa. Namun, hanya beberapa tahun saja ia menjalankan pengabdiannya itu. Hidupnya semakin dipersulit oleh jejaring kolonial dan ia tidak ingin orang-orang yang tidak bersalah ikut terkena getahnya.
Hidup Sosrokartono kian runyam karena berurusan dengan Snouck Hurgronje. Ia disebut-sebut terlibat utang besar kepada petinggi pemerintah kolonial yang menjadi otak penaklukan Aceh itu. Pengaruh Hurgronje amat kuat yang membuat Sosrokartono nyaris tidak mampu berbuat apa-apa.
Tekanan batin yang datang bertubi-tubi membuat Sosrokartono jatuh sakit hingga mengalami kelumpuhan sejak 1942, tepat ketika penjajahan Belanda berakhir dan digantikan oleh Jepang.
Dalam kondisi tak berdaya, sang pangeran melewatkan peristiwa demi peristiwa penting yang terjadi di tanah airnya. Namun, dikutip dari buku Wajah Bandung Tempo Doeloe (1984) karya Haryoto Kunto, Sosrokartono pernah dikunjungi utusan Sukarno untuk menanyakan tentang peluang Indonesia merdeka.
Kepada utusan Sukarno itu, Sosrokartono mengatakan bahwa Indonesia pasti merdeka, dan itulah yang kemudian terjadi. Sosrokartono kemudian dipercaya sebagai ahli ilmu kebatinan dan spiritual, orang yang mampu mengetahui sesuatu sebelum diberitahu.
Namun, kondisi kesehatan Sosrokartono tidak berangsur membaik. Pada 8 Februari 1952, tepat hari ini 67 tahun silam, sang jenius Raden Mas Panji Sosrokartono wafat pada usia 74 setelah berjuang sekuat tenaga dalam kelumpuhan dan kepayahan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan