tirto.id - Raden Hadiprawiro, yang berumah di sebelah kiri (barat) Kadipaten Rembang, punya putri bernama Mas Ajeng Sudjirah. Keluarga ini adalah keluarga pengusaha batik kaya asal Lasem. Mas Ajeng Sudjirah lalu menikah Raden Ario Singgih Djojoadhiningrat. Perkawinan itu membuahkan 4 anak.
Ketika anak yang ketiga masih di dalam kandungan, pada 12 November 1903, Raden Ario Singgih melangsungkan pernikahan agungnya dengan putri Bupati Jepara, Raden Ajeng Kartini. Begitu yang tertulis dalam buku Kartini:Sebuah Biografi (1979) karya Sitisoemandari Soeroto.
Perempuan dalam hidup Singgih tak hanya Kartini dan Sudjirah saja. Ada Mas Ayu Moedji, Mas Ayu Meodjilah, Mas Ayu Sih, RAA Sukarmilah, dan GBAA Moerjati. Dua nama terakhir statusnya sama dengan Kartini, istri resmi (garwa padmi), sedangkan yang lainnya istri selir (garwa ampil).
Beberapa bulan setelah pernikahan Singgih dengan Kartini, anak laki-laki itu lahir pada 9 Januari 1904 dan dinamai Abdulmadjid. Dia dikenal sebagai Raden Mas Abdulmadjid Djojoadhiningrat. Beberapa bulan setelah Abdulmadjid lahir, pada 13 September 1904, adik tirinya dari rahim Kartini pun lahir dan belakangan dikenal sebagai Soesalit. Ketika Soesalit dilahirkan itulah Kartini meninggal dunia. Jadi, Abdulmadjid tak mengenal dekat ibu tirinya yang legendaris dan dipuja kaum nasionalis Indonesia itu.
Sebagai anak bupati zaman kolonial, mereka berdua seharusnya bisa bersekolah di SD elit Europe Lager School (ELS) dan sekolah menengah elit Hogare Burger School (HBS). Soesalit tercatat pernah melalui dua sekolah itu. Menurut catatan John Ingleson dalam Perhimpunan Indonesia and the Indonesian Nationalist Movement: 1923-1928 (1975), Abdulmadjid juga belajar di ELS dan HBS. Dia lulus November 1925 lalu kuliah hukum di Universitas Leiden, Negeri Belanda.
Di Belanda, Abdulmadjid kerap menyuarakan pendaatnya, menuntut kesetaraan antara orang Belanda dan Indonesia. Menurut catatan Harry Albert Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (2008), sejak awal 1926 setidaknya Abdulmadjid sudah menjadi sekretaris Hatta yang memimpin Indische Vereniging alias Perhimpunan Indoenesia (PI). Bersama Mohammad Hatta dan Ali Sastroamidjojo serta Nazir Pamoentjak, Abdulmadjid nyaris dikerangkeng lama di Negeri Belanda karena kegiatan mereka di PI dianggap berbahaya. Mereka ditangkap pada 23 September 1927.
“Di rumah penjara kami masing-masing ditutup dalam sel kecil berukuran kurang lebih 2x3 meter. Hatta mendapat sel nomor 1, Nazir Pamoentjak sel nomor 7, saya (Ali Sastroamidjojo) sel nomor 14 dan Abdulmadjid sel nomor 55. Jadi kami tidak bisa saling berhubungan,” tulis Ali Sastroamidjojo dalam memoarnya Tonggak-tonggak di Perjalananku (1974).
Abdulmadjid dituntut hukuman 2 tahun penjara oleh Bengadilan Belanda itu. Selama masa-masa persidangan (dan penahanan) mereka didampingi Mr. Tj. Mobach, Mr. JEW Duys, dan Nona Mr. L. Weber. Di masa inilah pledoi Hatta yang berjudul "Vrije Indonesia" (Indonesia Merdeka) ditulis lalu dibacakan pada 8 Maret 1928. Meski berada di tahanan, Ali Sastroamidjojo mendapat izin keluar tahanan untuk ujian dan lulus. Mereka semua akhirnya dibebaskan pada 22 Maret 1928.
Abdulmadjid, dalam catatan Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997), belakangan melanjutkan studinya. Menurut Poeze, setelah dibebaskan karena dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan, selama beberapa tahun di Belanda Abdulmadjid memilih diam.
Meski oleh kawan-kawannya dicap kaku terkait status dirinya sebagai anak bupati, Abdulmadjid sebagai ketua PI setelah Hatta mundur "membuat PI menempuh haluan komunis dan membuat jalinan erat dengan Partai Komunis Belanda (CPH).” Menurut Harry Poeze dalam bukunya Madiun 1948: PKI Bergerak (2011) itu, selama kurun waktu dekade 1930an, Abdulmadjid dianggap sebagai bagian PKI ilegal di Eropa.
Jika Abdulmadjid di Eropa jadi aktivis kiri yang melawan pemerintah Belanda, maka adik tirinya Soesalit justru terjebak dalam birokrasi kolonial sebagai mantri PID di Jawa. Jika seseorang menjadi aktivis kiri pada 1930an di Indonesia, ia akan ditangkap polisi rahasia kolonial bernama PID itu.
Abdulmadjid punya kader bernama Setiadjid Soegondo, sesama anak bupati yang datang pada 1927. Pemuda Setiadjid ini semula dikenal sebagai mahasiswa malas dan gemar mengunjungi dunia gemerlap malam di Belanda. Tiap kali tidak punya uang dan sering meminjam uang dari Abdulmadjid atau kawan-kawan komunis lainnya. Semakin sering Setiadjit butuh uang, semakin sering dia berinteraksi dengan Abdulmadjid dan konco-konco kirinya. Akhirnya Setiadjid menjadi kiri juga.
Menurut Poeze, sejak akhir 1931 Abdulmadjid meninggalkan Negeri Belanda dan diperkirakan tinggal di Moskow. Dia menjadi propagandis sebuah biro PKI di Eropa. Melalui bacaan, dia berusaha mempengaruhi kaum pengangguran, pemuda, juga pelaut. Namun, pada 12 Juni 1936 terlihat berpidato dalam acara PI di Negeri Belanda.
Hingga 1938 dia memegang kendali redaksi majalah Suara Dari Indonesia. Setelahnya, Abdulmadjid juga bergiat dengan majalah Inpressa. Mengenai kuliahnya, baru di tahun 1940 dia baru menyandang gelar sarjana hukumnya: Meester in Rechten (Mr), sama seperti Nazir Pamoentjak.
Selama pendudukan Tentara NAZI Jerman di Negeri Belanda, Abdulmadjid berada di sana. Pada kurun waktu 1943-1944, dia aktif di Kolonial Instituut dan pernah menjadi penasehatnya. Bersama G. Gonggrijp, ia menyusun monografi tentang Sulawesi di bawah pengawasan mantan Gubernur Sulawesi Dr. LJJ Caron. Abdulmadjid juga ikut bermain sandiwara dengan lakon-lakon cerita dari Indonesia. Uang hasil pertunjukan itu diberikan kepada gerakan perlawanan bawah-tanah PI. Abdulmadjid terbiasa berkeliaran di khalayak umum tanpa memakai nama palsu.
Koran Belanda De waarheid (03/01/1977), menyebut “ ia adalah seorang pejuang perlawanan (melawan tentara Jerman) di 1940-1945 kelompok anggota (gerakan perlawanan bersenjata) Suropati.” Perjuangannya melawan fasisme dan mendukung pembebasan Negeri Belanda dari pendudukan Tentara NAZI Jerman, diakui orang-orang Belanda.
Setelah Indonesia merdeka dan Republik Indonesia terbentuk, Abdulmadjid pulang ke Indonesia. Kebetulan kawan lamanya yang hanya dua tahun di Negeri Belanda dan mampir belajar di Leiden juga, Sutan Syahrir, menjadi Perdana Menteri Republik. Abdulmadjid kemudian dilibatkan Syahrir dalam kabinet kedua dan ketiganya, sebagai Menteri Muda urusan Sosial sejak 12 Maret 1946 hingga 27 Juni 1947.
Setelah kabinet Syahrir III jatuh karena perundingan Linggarjati, Amir Sjarifoedin menggantikan Syahrir sebagai perdana menteri. Dalam dua kabinet Amir, selama kurun wakut 3 Juli 1947 hingga 29 Januari 1948, Abdulmadjid menjadi Menteri Muda urusan Dalam Negeri. Menurut koran Belanda De waarheid (03/01/1977), ketika itu Abdulmadjid juga aktif dalam CC PKI. Harry Poeze juga mencatat belakangan dia menjadi anggota Politbiro.
Setelah Amir jatuh, dalam bukunya Madiun 1948, Harry Poeze mencatat Abdulmadjid juga terlibat dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dibentuk Amir. Bersama Sakirman, Tan Ling Jie, Djokosoedjono, dia ditangkap di Yogyakarta dan mengaku tak tahu menahu mengenai Peristiwa Madiun, September 1948. Mereka ditahan di Yogyakarta hingga Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Nasib Soesalit adik tirinya yang sudah berpangkat mayor jenderal juga tak kalah malang. Karirnya di militer habis karena dituduh kiri. Abdulmadjid dan beberapa tahanan lain melarikan diri.
Adanya rekonsiliasi dan pengampunan kepada orang-orang komunis. Setelah 1949, Abdulmadjid termasuk yang terbebas. Dia tak masuk petinggi partai lagi. Di tahun 1950an, dia aktif di Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), berperan penting sebagai pengacara dalam membela pekerja dalam perselisihan perburuhan.
Dia juga sempat menjadi Walikota Semarang (1958-1960). Setelah kudeta 1 Oktober 1965, dia berada di luar negeri. Dia tinggal di pengasingan hingga akhir hidupnya, di hari pertama tahun 1977. “Perjuangannya untuk pembebasan akan diteladani oleh kita semua,” tulis De waarheid (03/01/1977).
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani