Menuju konten utama
Kisah Cinta Para Presiden

Ketika Insinyur Jatuh Cinta pada Dokter, Jadilah Habibie & Ainun

Bacharuddin Jusuf Habibie dan Hasri Ainun Besari adalah pasangan yang sama-sama terkenal pintar. Mereka sudah "dijodohkan" gurunya sejak masa SMA.

Ketika Insinyur Jatuh Cinta pada Dokter, Jadilah Habibie & Ainun
Ilustrasi Habibie dan Ainun.

tirto.id - Di masa SMA, Bacharuddin Jusuf Habibie dan Hasri Ainun Besari adalah siswa cemerlang di kelasnya masing-masing. Kebetulan guru pelajaran ilmu pasti mereka sama. Melalui candaan Gouw Keh Hong, si guru ilmu pasti, Habibie dan Ainun “dijodohkan”.

“Ini menarik kalau Hasri jadi dengan Habibie. Jika mereka jadi suami istri, anaknya bisa pintar-pintar,” kelakar Guru Gouw di kelas seperti diingat Habibie dalam Ainun Habibie: Kenangan Tak Terlupakan di Mata Orang-orang Terdekat (2012: 1-3) yang disusun A. Makmur Makka. Siapa sangka candaan sang guru kelak menjadi kenyataan.

Tetapi sampai Habibie lulus SMA pada 1954 dan kemudian kuliah di Jerman, keduanya tidak pernah benar-benar dekat. Mereka baru menjalin hubungan serius kala Rudy, pangggilan akrab Habibie di masa muda, liburan ke Indonesia pada awal 1962. Rudy pulang ke Bandung dan kebetulan di saat yang sama Ainun sedang cuti usai sakit tifus.

Saat itu, Rudy sedang menempuh program doktoral sambil bekerja di Institut Konstruksi Ringan Aachen. Sementara Ainun baru saja lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan menjadi asisten dokter anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Sebenarnya hingga saat itu, Rudy tidak punya perasaan apa-apa kepada Ainun. Hanya sebatas kenal. Sang ibulah yang sangat menginginkan Rudy menikah dengan Ainun. Tetapi, Rudy masih enggan. Ia lebih memilih segera menyelesaikan studi doktoralnya.

Tak ada sebab yang khusus soal keengganan Rudy. Ia hanya sedang malas berhubungan dengan perempuan. Ia juga sedikit kecewa dengan realitas yang dihadapinya di Indonesia kala itu. Tak banyak kemajuan berarti di negerinya sejak ia tinggalkan tujuh tahun lalu. Optimismenya juga surut usai percakapan dengan Keng Kie, sahabatnya yang mengajar di ITB.

“Kamu lihat situasi di Indonesia saat ini. Orang butuh makan, butuh pendidikan, butuh hidup. Bukan butuh pesawat,” kata Lim Keng Kie seperti dicatat Gina S. Noer dalam Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner (2016: 227).

Keng Kie menasihati Rudy untuk menepikan dulu cita-citanya membangun pesawat di Indonesia. Karena itulah semangatnya jatuh dan lebih memilih segera kembali saja ke Jerman.

Satu orang yang kemudian membuat semangatnya kembali naik adalah Ainun.

Cinta Bersemi di Teras Rumah

Diantar Fanny, adiknya, Rudy bertamu ke rumah Ainun di Ranggamalela. Pertama kali bertemu muka dengan Ainun yang telah beranjak dewasa, seperti dituturkan Gina S. Noer, Rudy terkejut. Ainun yang dulu pernah ia perolok dengan julukan “gula jawa”, karena menurutnya jelek, kini dibilangnya “gula pasir” karena kejelitaannya (hlm. 238).

Semangat Rudy kian menyala tatkala mereka bercakap di teras rumah Ainun. Saat makan malam bersama keluarga Besari, Rudy sempat bercerita tentang upaya mahasiswa Indonesia di Jerman untuk melakukan perubahan di tanah air. Lalu Ainun bertanya, “Apa yang sudah kalian kerjakan untuk menciptakan perubahan itu?”

Rudy kembali terkejut. Semur hidup, belum pernah ada perempuan yang bertanya semacam itu kepadanya. Tak disangka, gadis itu punya perhatian pula pada peran mahasiswa bagi tanah air. Ibunda Rudy pernah berpesan agar mencari pendamping yang mampu mengimbanginya. Barangkali memang Ainun lah pendamping itu.

Dari obrolan di teras rumah Ainun itulah rasa saling suka tumbuh di antara mereka. Rudy merasa Ainun adalah kawan bicara yang mampu mengimbanginya. Ainun selalu menunjukkan antusiasme dengan intensitas yang sama saat mengobrol dengan Rudy.

“Saya ingin membangun bangsa ini supaya kualitas hidupnya meningkat, bukan hanya pangan dan rumah, melainkan pendidikan. Rakyat bisa punya wawasan. Saya mau menciptakan lapangan pekerjaan,” kata Rudy tentang cita-citanya kala mengajak Ainun jalan-jalan.

“Saya mau menyehatkan rakyat sebab hanya orang sehat yang bisa bekerja di tempat kamu. Saya sehatkan SDM biar bisa kamu pakai,” balas Ainun (hlm. 240).

Ketika mereka akhirnya berpacaran, Rudy kerap menjemput Ainun saat pulang dari tempat kerjanya di RSCM. Suatu kali, ada seorang pasien anak yang menderita diare parah dan terlambat dibawa ke rumah sakit. Itu membuat Ainun harus lembur untuk menangani anak malang tersebut. Rudy sampai ketiduran menunggu Ainun.

Ketika pasien akhirnya bisa ditangani, Ainun mengeluh kepada Rudy tentang keadaan rumah sakit pemerintah, tentang stok obat yang kosong, tentang meningkatnya jumlah pasien anak. Keadaan rudin yang lazim di masa Demokrasi Terpimpin.

“Ini kenyataan yang saya hadapi setiap hari, Rud. Apa pesawat kamu bisa bantu?” tanya Ainun serius. “Pesawat saya bisa melakukannya. Bisa bantu kamu,” jawab Rudy meyakinkan Ainun (hlm. 245-246).

Infografik HL Indepth Valentine

Hidup di Negeri Orang

Keduanya sudah merasa cocok dan menikahlah mereka pada 12 Mei 1962 di Bandung. Sebulan kemudian, mereka terbang ke Jerman. Pada tiga tahun pertama pernikahan, Rudy fokus sebagai pencari nafkah dan membangun karier. Sementara Ainun mengurus rumah tangga.

Setelah anak-anak mereka cukup besar untuk bisa dititipkan kepada pengasuh, Ainun ikut membantu ekonomi keluarga dengan bekerja sebagai dokter anak di sebuah rumah sakit di Hamburg. Dengan pekerjaan itu, Ainun dapat mandiri dengan gaji yang hampir menyamai gaji Rudy.

“Saya bisa membantu suami membeli tanah dan rumah di Kakerbeck,” ungkap Ainun dalam memoarnya yang bertajuk “Tahun-tahun Pertama”, yang terhimpun dalam Ainun Habibie: Kenangan Tak Terlupakan di Mata Orang-orang Terdekat (hlm. 130).

Hanya dua tahun Ainun bekerja sebagai dokter. Ia memutuskan berhenti saat Thareq, anak bungsunya, sakit keras. Sakitnya Thareq membawa ganjalan dalam benaknya: ia bisa mengurus anak orang lain, tetapi lalai pada anaknya sendiri. Itulah yang membuatnya kembali pada “falsafah hidup mengutamakan anak dan keluarga daripada mencari kepuasan profesional dan penghasilan tinggi.”

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Fadrik Aziz Firdausi
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan