tirto.id - Seusai pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, Indonesia menjadi negara merdeka sepenuhnya. Setelah itu, mulai tercetus ide soal perlunya mendirikan sebuah perguruan tinggi negeri milik pemerintah yang berada di ibukota Republik.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia di Yogyakarta telah mendirikan Universitas Gadjah Mada pada 19 Desember 1949. Ada pula Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia (BPTRI) yang menyelenggarakan kuliah di beberapa kota selama masa Revolusi.
Sementara itu, pemerintah pendudukan Belanda (NICA) di Jakarta juga sempat mendirikan sebuah perguruan tinggi yang dinamakan Nood-Universiteit van Nederlandsch Indie pada 1946. Universitas tersebut menaungi beberapa kampus yang sudah ada sejak masa kolonial seperti School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA, sekolah kedokteran), Recht Hoogeschool (RHS, sekolah hukum), dan Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat).
Gagasan untuk mempersatukan BPTRI dan Nood-Universiteit kemudian muncul di awal 1950. Kala itu, kebutuhan untuk memiliki kampus di ibu kota negara sudah sedemikian mendesak.
Dalam wawancara eksklusif dengan Emil Salim, ia menceritakan sebuah kisah mengenai proses terbentuknya Universitas Indonesia (UI) pada awal 1950. Saya mewawancarainya enam tahun lalu di kediaman Emil di Patra Kuningan, Jakarta Selatan. Emil adalah ekonom senior dan guru besar Fakultas Ekonomi (FE) UI yang pernah menjabat Menteri Perhubungan dan Menteri Lingkungan Hidup di zaman Orde Baru. Ia masuk FEUI pada 1951 dan menjadi Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) UI yang pertama.
Kala itu, tutur Emil, Bahder Djohan, Rektor UI periode 1954-1958, dikenal sangat dekat dengan para mahasiswa dan sering mengundang mereka berdiskusi di kantornya di Salemba 6. Di situlah Emil muda dan teman-temannya banyak berdialog dengan sang rektor tentang berbagai topik.
Dari rangkaian diskusi serius tapi santai inilah Bahder menceritakan proses terbentuknya UI. Belakangan, Bahder juga menunjukkan sebuah dokumen rapat berbentuk notulensi bertanggal 2 Februari 1950. Dokumen ini berisi tentang peleburan dua lembaga pendidikan tinggi menjadi satu.
Abu Hanifah Membujuk Guru Besar Belanda
Menurut penuturan Emil Salim, semuanya bermula dari rapat besar yang digelar di Salemba 6 pada 2 Februari 1950, tepat hari ini 68 tahun lalu. Saat itu, perwakilan Nood-Universiteit dan pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) bertemu. Nood-Universiteit diwakili rektor Profesor Wietse Radsma, sementara RIS diwakili Menteri Pendidikan Abu Hanifah.
Salah satu hal yang menonjol dalam rapat tersebut adalah persaingan bahasa. Abu Hanifah secara sengaja berpidato panjang-lebar dalam bahasa Indonesia di depan para guru besar berkebangsaan Belanda. Tentu saja, pidatonya menyebabkan kebingungan di antara peserta rapat dan bertanya-tanya apa yang ia bicarakan di situ.
Setelah berpidato, Abu Hanifah dipanggil untuk menjelaskan apa yang ia bicarakan. Akhirnya diterjemahkanlah poin-poin utamanya.
Intinya, Indonesia sedang memasuki era baru, dan para guru besar berkebangsaan Belanda diminta bantuannya untuk membangun sebuah universitas milik pemerintah di ibu kota negara. Mereka juga harus bekerja di bawah kepemimpinan orang Indonesia. Perdebatan pun memanas. Apalagi Abu Hanifah juga mengusulkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam perkuliahan.
Argumentasi Abu Hanifah berpokok pada gagasan yang nasionalistik: karena Indonesia sudah tak lagi di bawah kekuasaan Belanda, maka bahasa nasionalnya adalah bahasa Indonesia. Lagi pula, universitas yang didirikan juga untuk kepentingan Indonesia, maka wajar saja jika bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, bukan bahasa Belanda.
Para guru besar awalnya tak sepakat. Mereka berdalih bahwa mereka tak mengerti bahasa Indonesia. Ditambah lagi, bahasa Indonesia bukan bahasa ilmiah dan tidak ada literatur akademis yang menggunakan bahasa Indonesia.
Namun keputusan menteri tetap tak bisa diubah. Abu Hanifah memutuskan, bagi guru besar yang siap membantu akan dipersilakan dan disambut hangat. Sementara bagi yang tak sepakat, dipersilakan mengundurkan diri.Di akhir pidato, Abu Hanifah memutuskan untuk melebur Nood-Universiteitdan BPTRI menjadi satu lembaga bernama Universiteit Indonesia. Presiden Sukarno kemudian menunjuk Ir. Raden Mas Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo sebagai rektornya.
Dengan ingatan yang masih tajam di usia lebih dari 80, Emil mengisahkan bagaimana peleburan itu dilakukan. "Jadi, dokumen itu [notulen rapat 2 Februari 1950] menjelaskan bahwa mulai hari ini Nood-Universiteit van Indonesie dilebur dengan Balai Perguruan Tinggi." Sembari menepukkan kedua tangan di depan kening, ia melanjutkan, "Pom pom pom! 2 Februari, jadilah Universiteit Indonesia.”
Lima tahun kemudian, lewat Undang-Undang No. 10 tahun 1955, pemerintah mengubah istilah "universiteit" yang dianggap ke-Belanda-Belanda-an menjadi "universitas". Sejak itu, nama "Universitas Indonesia" mulai digunakan secara resmi.
Dinamika di Awal Pendirian
Berawal dari kebiasaan belajar bersama usai perkuliahan di kelas, para mahasiswa angkatan 1950-an kemudian secara bertahap membentuk organisasi intra kampus. Mereka akhirnya mendirikan Dewan Mahasiswa pada 1955.
Tahun terbentuknya Dema berbarengan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum pertama Indonesia. Sebagai kampus yang berada di pusat kekuasaan, UI dianggap punya pengaruh besar dalam kehidupan politik. Dengan sembilan fakultas dan cabang-cabang yang tersebar di lima kota, UI mempunyai basis akademik yang luas. Karena itu, siapa saja yang bisa "menguasai" kampus UI akan memiliki modal yang kuat untuk kepentingan politiknya.
Maka dimulailah pembentukan faksi-faksi mahasiswa yang bersifat ekstra kampus sebagai perpanjangan tangan partai-partai politik. Bahder Djohan mencegah politisasi kampus itu dengan menegaskan bahwa Dewan Mahasiswa hanya satu di dalam kampus UI. Aktivitas mahasiswa yang dilakukan di luar Dema tidak dianggap sebagai sikap resmi UI sebagai lembaga pendidikan tinggi.
Kebijakan politik pemerintah pada 1950-an juga sempat membuat proses perkuliahan tersendat. Keputusan Sukarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan mengusir orang-orang Belanda menyebabkan banyak pengajar meninggalkan Indonesia.
"Kami di Fakultas Sastra [sekarang Fakultas Ilmu Budaya] waktu itu kesulitan mencari dosen. Karena mereka, orang-orang Belanda, sudah bersiap kembali ke negaranya akibat suasana politik yang memaksa," ujar Margareth Pauline Betsy Manus, pensiunan dosen Program Studi Ilmu Sejarah yang masuk UI pada 1954, dalam wawancara di bulan Januari 2012.
Di sisi lain, lantaran ditempa suasana zaman yang penuh dinamika, mahasiswa angkatan 1950-an banyak sekali yang menempati pos-pos penting dalam pemerintahan setelah lulus. Beberapa dari mereka juga berhasil sebagai akademisi yang menjadi pelopor di bidang ilmu masing-masing.
Saparinah Sadli, Dekan Fakultas Psikologi UI 1976-1981, menegaskan hal itu dalam wawancara pada 8 Mei 2012. “Sekarang ini baru terlihat, banyak [mahasiswa angkatan 1950-an] dikenal sebagai tokoh-tokoh penting Republik. Para mahasiswa angkatan 1950-an berhasil mewariskan satu semangat penting bagi generasi penerusnya. Selain nasionalisme, ada buku, pesta, dan cinta.”
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Ivan Aulia Ahsan