tirto.id - Berdasarkan catatan Kopertis V, dalam tiga tahun terakhir, jumlah mahasiswa baru semua perguruan tinggi swasta (PTS) di Yogyakarta masih menembus 50 ribu orang. Jumlah ini membaik setelah merosot hingga di bawah 40 ribu sesudah erupsi Gunung Merapi pada 2010 silam.
Bambang Supriyadi, koordinator Kopertis V, optimistis bahwa banyak calon mahasiswa masih menganggap Yogyakarta sebagai tujuan favorit. Puluhan ribu mahasiswa yang selama ini gagal lolos tes masuk ke kampus-kampus negeri berpeluang besar terserap ke sejumlah PTS. Sebagai gambaran, pendaftar SNMPTN di UGM dan UNY tahun ini saja lebih dari 55 ribu calon mahasiswa.
“Biaya tidak persoalan. Yogya tidak mahal. Mahal kalau (jurusan) kedokteran. Di luar itu relatif murah. Kualitas tetap punya,” ujar Bambang, awal Mei lalu.
Ia mencatat, kampus swasta besar seperti Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada tahun lalu bisa menyerap mahasiswa baru lebih dari 4.000 orang. Sebagai contoh, pada 2016, UII menerima 4.201 mahasiswa baru. Kampus ini mengklaim bahwa jumlah itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan pendaftar yang mencapai 27.297 orang.
Kopertis V mencatat dari 570-an program studi yang ditawarkan seluruh PTS di Yogyakarta, 93 di antaranya terakreditasi A. Sedangkan 290 jurusan lain memiliki akreditasi B. Sisanya, 187 jurusan masih akreditasi C (dan C bintang bagi yang masih baru). Modal ini, kata Bambang, bisa memikat banyak calon mahasiswa. Alasannya, banyak perusahaan yang semakin mewajibkan ijazah jurusan berakreditasi B untuk mengisi lowongan kerja.
Berdasarkan data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tingi, sejumlah PTS besar di DIY memang punya akreditasi moncer. UII, UAD, UMY, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) dan kampus besar lain hanya punya 1 atau 2 jurusan terakreditasi C. Kampus seperti Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Universitas Sanata Dharma (USD) dan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) malah sama sekali tak punya jurusan terakreditasi C.
Pada laman pemeringkatan kampus di situs web Ristek Dikti, misalnya, UII masuk peringkat 52, UAJY ranking 65, dan UMY di posisi 71.
Kampus-kampus Sekarat
Kopertis mencatat ada sekitar 106 PTS di Yogyakarta per April 2016. Tapi tidak semua kampus swasta ini bertahan.
Salah satunya Akademi Komunikasi Yogyakarta (AKY). Namanya kurang populer, bahkan situs web mereka masih berplatform blog. Kampus ini mulai sekarat sejak tiga tahun lalu. Di laman pemeringkatan Dikti, AKY menempati posisi ke-2711 dari 3.244 PTN dan PTS seluruh Indonesia.
Gedung AKY terletak di Kompleks PTS Glendongan Babarsari, melewati sebuah gang kecil perkampungan. Kondisi kampus tak terawat. Rumput tinggi, sarang nyamuk dan kecoak, cat gedung mengelupas. Dari jalan besar, kampus ini nyaris tertutupi pepohonan besar.
Meski begitu, di depan kampus, spanduk bertuliskan 'Penerimaan Mahasiswa Baru Akademi Komunikasi Yogyakarta' terpampang kendati tanpa keterangan tahun ajaran.
“Kabarnya dulu sempat ada kuliah online, tapi itu juga tiga tahun lalu. Sudah tidak pernah ada mahasiswa atau dosen lagi. Kadang ada tukang bersih-bersih, tapi itu paling cuma setahun, dua tahun belakangan sudah tidak ada manusianya,” kata Widiya, pemilik warung di dekat AKY.
Sebelum sekarat, kampus dengan jargon “menjadi institusi pendidikan komunikasi terbaik untuk melahirkan jurnalis bermutu dan profesional” ini pernah bekerja sama dengan Kedaulatan Rakyat, koran cetak terbesar di Yogyakarta,.
“Kami sempat bekerja sama beberapa tahun, tapi itu bukan di saat saya menjadi pemimpin redaksi, saya cuma pernah mengajar di sana,” kata Octo Lampito, pemimpin redaksi KR, ketika dikonfirmasi, awal Mei lalu.
Octo berkata, ada beberapa wartawan KR dari alumni AKY. Tapi belakangan, mereka melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD".
Menurut Octo, pada masa AKY aktif, sekitar 2007-2008, KR memberi beasiswa kepada mahasiswa untuk mendapatkan pendidikan jurnalistik. Octo berdalih, saat ini AKY masih beroperasi meski sedang kembang kempis.
“Masih, kok. Saya belum lama ketemu Pak Bagyo (salah satu pengurus yayasan AKY). Dia cerita katanya putranya penerus yayasan itu sudah tidak berminat, jadi mereka sedang mengalami masa-masa sulitlah sekarang,” kata Octo tetapi berkata tidak punya kontak telepon "Pak Bagyo."
Octo berkata, ia tidak tahu mengenai izin AKY. Sepengetahuannya, AKY masih aktif sehingga wajar jika namanya masih terdaftar di Kopertis.
Soal status AKY ini, Bambang Supriyadi menjawab diplomatis. Ia hanya menyebut ada satu kampus swasta yang sekarat dan 2 masuk “ICU” (tak aktif).” Bambang sungkan menyebut nama kampus tersebut karena Surat Keputusan Menristek Dikti soal pembekuan tiga kampus itu belum turun.
“Ada yang sudah kami undang, tapi pengurusnya tidak pernah datang,” ujarnya.
Jurus Bertahan Kampus Marginal
Berbeda dari AKY, Akademi Komunikasi Indonesia (Akindo), yang sama-sama mengusung program unggulan komunikasi, memiliki strategi berbeda untuk tetap bertahan.
Direktur Akindo Yogyakarta Sumantri Raharja mengatakan saat ini kampusnya sedang gencar melakukan promosi via online. Pihaknya menyadari saat ini persaingan antarkampus cukup ketat karena ada banyak kampus di Yogyakarta.
“Kami mau tidak mau harus promo ke luar Yogya. Cara online menjadi alat yang penting untuk menjaring mahasiswa baru,” ujarnya.
Selama ini, sejumlah PTS melakukan promosi dengan menyebarkan brosur saat SBMPTN, atau mereka mendatangi SMA dan SMK sebelum ujian akhir. Namun, menurut Sumantri, cara konvensional itu "kurang efektif" dan belum bisa menjangkau mahasiswa dari luar Yogya.
Mereka juga bekerja sama dengan provider Telkomsel untuk mengirim pesan pendek berbasis demografi calon mahasiswa baru. Alasannnya, Telkomsel memiliki data pengguna berumur 16-20 tahun dan punya jangkauan wilayah luas.
Sumantri berkata, "promosi yang efisien dan efektif" perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya lantaran hidup-mati PTS mengandalkan pemasukan utama dari biaya kuliah mahasiswa. Hingga saat ini, katanya, Akindo belum memiliki jumlah peminat tetap setiap tahun, sehingga jumlah pemasukannya pun berbeda-beda. Maka pihak kampus harus pintar-pintar mengakalinya.
“Kita akhirnya harus memprioritaskan hal-hal yang penting. Misal, peralatan kita anggaran besar. Jika mahasiswanya berkurang, ya porsi untuk penambahan alat maupun perawatannya berkurang. Yang jelas kegiatan belajar-mengajar tak boleh terganggu,” ujarnya.
Akindo, menurut Sumantri, sedang mempersiapkan untuk menjadi sekolah tinggi. Dan sesuai regulasi, akademi yang sedang berproses menjadi sekolah tinggi tidak boleh mengajukan dana hibah ke pemerintah.
Proses menuju sekolah tinggi bukan hal mudah. Akindo terhalang masalah legalitas tanah, yang sesuai persyaratan, minimal seluas 5.000 meter persegi.
Perubahan dari akademi menjadi sekolah tinggi ini, kata Sumantri, sesuai tuntutan keadaan. Sebagian besar industri zaman sekarang mensyaratkan pendidikan sarjana strata satu untuk calon karyawan.
“Misalnya, kamerawan secara kapasitas tak mesti S1. D3 saja sudah cukup. Saya juga tak paham dengan aturan ini. Padahal itu tak relevan. Itu membebani kita,” keluhnya.
Sistem Ijon Perekrutan Mahasiswa Baru
Proses perubahan menjadi sekolah tinggi merupakan salah satu cara PTS untuk bertahan hidup. Ini dibenarkan Bambang Supriyadi, koordinator Kopertis V. Ada beberapa cara untuk PTS yang sedang kembang kempis agar tetap eksis.
Sebagian PTS, menurut Bambang, memakai strategi “ijon”. Mereka mendatangi SMA atau SMK di pelbagai daerah sebelum ujian akhir. Para siswa dipersilakan mendaftar bersamaan pendaftaran SNMPTN. Bila mereka ternyata tak lulus atau pilihannya berubah, sebagian biaya pendaftaran bisa dikembalikan.
Khusus kampus sekarat, solusi paling efektif ialah merger. Bambang mengatakan kampus seperti UTY dan Unriyo merupakan contoh sukses hasil merger sejumlah sekolah tinggi dan akademi. Belakangan, Kopertis V sedang mendorong beberapa akademi peternakan, perikanan dan pertanian, yang di ujung tanduk sebab sepi peminat, untuk segera bergabung menjadi sekolah tinggi.
Selain itu, jumlah mahasiswa baru serapan PTS-PTS di Yogyakarta bisa naik lagi bila panitia SNMPTN (jalur undangan) dan SBMPTN (jalur ujian) mau membagi data pendaftar yang tidak lolos ke Kopertis. Dengan begitu, PTS "bisa jemput bola" ke calon mahasiswa. Sayangnya, usulan itu belum disambut. Selama ini PTS-PTS hanya membagi brosur ke para peserta SBMPTN di Yogyakarta.
Sebagian PTS besar di Yogyakarta pernah berbagi data pendaftar yang tidak lolos seleksi ke kampus lain, yang memiliki jurusan sejenis tapi kekurangan mahasiswa. Menurut Bambang, saat masih berstatus kampus swasta, UPN Veteran Yogyakarta pernah membagi data pendaftar ke STTNAS Yogyakarta karena keduanya sama-sama punya jurusan pertambangan.
“Kalau mereka mau, ada kesempatan berkembang. Tapi itu tergantung yayasan kampus,” ujar Bambang.
Menyulap Kampus Abal-abal
Perjuangan kampus swasta untuk terus bertahan bisa berliku, panjang, dan tidak mudah. Ambil contoh Amikom Yogyakarta, terletak di seberang UPN Veteran, di pinggir jalan lingkar utara.
Suyanto, pendiri plus rektor Amikom, berbangga diri karena sukses menyulap Amikom yang dulu dilabeli kampus "abal-abal" kini berstatus “universitas”.
Suyanto bercerita kampus dengan slogan "tempat kuliah orang berdasi" ini dulu bernama Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Amikom, berdiri 1993 dengan jumlah mahasiswa tak lebih dari 32 orang.
Pada awal berdiri, Amikom sering diejek dengan akronim "Akademi Mirip Kos-kosan" karena gedungnya lebih mirip indekos. Ada juga ejekan lain yang menyebut Amikom sebagai “Akademi Mini Kompo".
“Strateginya diferensiasi. Kita tidak boleh sama dengan negeri, apalagi dengan swasta lain. Diferensiasi kita dengan model konsentrasi, bukan program studi. Kita punya konsentrasi unik yang tidak ada di universitas lain, seperti konsentrasi e-Commerce, misalnya,” kata Suyanto, di ruangan kantornya, awal Mei lalu.
Universitas Amikom memiliki konsentrasi studi unik, misalnya, Smart City, Cyber Security, Sociopreneurship, Digital Architecture, e-Goverment dan lain-lain. Suyanto mengklaim, hingga saat ini, hanya Amikom yang memiliki konsentrasi seperti itu.
“Dulu waktu kita pertama kali buka konsentrasi e-Commerce, orang-orang tanya, 'Siapa yang mau mengajar?' Saya bilang, 'Saya yang mengajar.' Orang tanya lagi, 'Memang bisa?' Saya jawab, "Bisa. Kan, belajar dulu.'"
"Berani itu penting," kata Suyanto, tertawa. "Itu sikap mental."
Tak hanya e-Commerce, beberapa konsentrasi juga dibikin dengan pendekatan nekat begitu. Belum ada yang mengajar, tapi sudah dibuka dan ditawarkan. Tapi, menurut Suyanto, "itulah yang membuat Amikom berbeda." Amikom bisa memprediksi kira-kira bidang apa yang akan berkembang di masa depan, meski mereka belum punya ahlinya. Seperti Smart City, yang kini sedang dikembangkan di kota-kota di Indonesia, ujarnya.
“Dulu kita kampus jelek, diejek-ejek, kampus yang tidak modal. Sekarang? Film animasi kita sudah kelas dunia, bahkan di Sicaf kita mengalahkan Jepang,” kata Suyanto, menyebut film 2D berjudul Battle of Surabaya, yang menyabet sejumlah penghargaan termasuk Animation Festival (Sicaf) pada 2016. Kini Amikom tengah menggarap film animasi Ajisaka yang direncanakan rampung tahun ini.
Berdasarkan data pemeringkatan kampus, Amikom menduduki peringkat ke-120 dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Mereka juga mengklaim punya 78 hak kekayaan intelektual, meski jurnal ilmiah yang dihasilkannya masih minim, hanya ada 10, yang terindeks Scopus, sebuah pusat data pengetahuan terbesar di dunia.
Soal data pemeringkatan ini, Koordinator Kopertis V Bambang Supriyadi masih agak ragu terhadap sejumlah PTS. "Upaya Kemenristekdikti membangun sistem data pemeringkatan kampus sebenarnya bisa jadi iklan lain," katanya. Sistem ini belum sempurna karena banyak PTS di Yogyakarta kurang lengkap dalam menyuplai data.
“Seringkali masih tidak pas. Untuk yang 50 besar mungkin ada benarnya, tapi di luar itu saya ragu,” kata Bambang.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Fahri Salam