tirto.id - Veritas, probitas, iustitia—benar, jujur, adil.
Kata-kata itu terpampang jelas di tembok gedung rektorat Universitas Indonesia (UI). Slogan itu tentu diharapkan tak hanya sekedar menjadi kata-kata. Lebih jauh, makna dari slogan tersebut seharusnya melekat dalam diri semua insan UI tanpa kecuali.
Mulai dari rektor, guru besar, dosen, karyawan, mahasiswa, hingga alumni semestinya memegang teguh prinsip yang dicetuskan oleh Guru Besar UI, Profesor Soekarja Somadikarta.
UI memang tengah menjadi sorotan di tengah polemik keabsahan disertasi doktoral Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia. Kasus ini seolah menjadi ujian bagi UI untuk menegakkan prinsip veritas, probitas, iustitia yang disandangnya.
Kasus ini bermula dari Sidang Promosi Doktor Bahlil yang digelar oleh Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI pada Rabu (16/10/2024). Masyarakat dan sivitas akademika dibuat terheran-heran dengan masa studi Bahlil yang super singkat, yakni kurang dari dua tahun.
Hal itu tentu dinilai janggal dan tidak masuk akal untuk mahasiswa doktoral. Belakangan, warganet pun menemukan beberapa kejanggalan dalam disertasi yang disusun Bahlil. JATAM juga melayangkan protes karena merasa Bahlil mencatut LSM itu secara sepihak sebagai sumber informasi dalam disertasi.
Akibatnya, muncul dugaan praktik joki di balik disertasi Bahlil. UI kemudian memutuskan menangguhkan gelar doktor Bahlil.
Keputusan itu diambil berdasarkan hasil rapat koordinasi empat Organ UI, yakni Majelis Wali Amanat (MWA), Rektorat, Dewan Guru besar (DGB), dan Senat Akademika (SA) pada Selasa (12/11/2024) di Salemba, Jakarta Pusat. Selain itu, UI juga menggelar sidang etik untuk membahas lebih lanjut masalah ini.
Hasil sidang etik yang ditunggu pun keluar baru-baru ini. UI memutuskan bahwa disertasi Bahlil tidak dibatalkan dan hanya perlu diperbaiki.
Sementara itu, para dosen yang terlibat dalam disertasi Bahlil mendapat sanksi lebih keras. UI menjatuhkan sanksi berupa penundaan kenaikan pangkat kepada para dosen itu. Sanksi tersebut diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran akademiknya.
Bertentangan dengan Prinsip Veritas, Probitas, Iustitia
Dosen FISIP UI, Reni Suwarso, menilai bahwa polemik gelar doktor Bahlil telah mencoreng reputasi UI. Dia juga menilai keputusan rapat empat Organ UI itu sangat bertentangan dengan prinsip veritas, probitas, iustitia yang dipegang UI.
“Mereka hanya meminta Bahlil memperbaiki disertasi sesuai dengan ketentuan dan substansi yang nanti ditentukan oleh promotor dan ko-promotornya. Padahal, promotor dan ko-promotornya sedang menjalani sanksi akademik,” ujar Reni lewat keterangan yang diterima Tirto, Rabu (12/3/2025).
Reni menambahkan bahwa kasus Bahlil tidak hanya soal output studi, tapi juga berkaitan dengan masalah proses studi. Keduanya pun jelas melanggar aturan dan prosedur yang berlaku di semua universitas, termasuk UI.
Reni yang juga menjabat sebagai Direktur Institute for Democracy, Security, and Strategic Studies menduga pengambilan keputusan itu sarat akan konflik kepentingan, khususnya terkait posisi Bahlil sebagai Menteri ESDM RI.
“Walaupun, akhirnya, disertasi Bahlil Lahadalia tidak dibatalkan Rektor. UI sudah mengakui bahwa Bahlil melanggar etika akademis, tidak jujur, dan tidak berintegritas,” katanya.
Sementara itu, analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, menilai bahwa jika memperhatikan kronologi dan sidang disertasi Bahlil, keputusan UI untuk tidak membatalkan disertasi Bahlil memang terkesan politis.
Musfi pun menyoroti sejumlah kejanggalan dalam perjalanan disertasi Bahlil, seperti masa studi doktoralnya yang hanya 1,5 tahun, referensi teori dalam disertasi yang kurang, hingga dugaan penggunaan ghost writers.
“UI seharusnya memutuskan membatalkan kelulusan disertasi Bahlil untuk menjaga marwahnya sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia. Apalagi, sejak dulu, UI dikenal sebagai kampus perjuangan, simbol perlawanan terhadap kesewang-wenangan kekuasaan,” ujar Musfi saat dihubungi Tirto, Rabu (12/3/2025).
Sebagai alumni UI, Musfi masih sangat ingat betapa ketatnya kampus tersebut terkait hal-hal yang menyangkut soal integritas akademik. Dia mengisahkan bahwa menyelesaikan studi doktoral di UI dikenal sulit karena begitu ketat.
“Melihat studi doktoral Bahlil yang hanya 1,5 tahun, apalagi pertanyaan sidang doktoral yang 'sangat biasa' membuat banyak pihak, khususnya civitas akademika UI menaruh curiga dan rasa geram,” katanya.
Desakan Pembatalan Gelar Doktor Bahlil
Hasil sidang etik terkait kasus Bahlil turut menimbulkan rasa kecewa bagi sejumlah civitas akademika UI dan masyarakat. Petisi yang mendesak UI untuk memecat Bahlil dan membatalkan disertasinya lantas menggema di jagad maya.
Saat naskah ini ditulis, petisi yang diinisiasi oleh Ari Wijaya pada Minggu (9/3/2025) itu telah ditandatangani oleh lebih dari 3.700 orang.
Dalam keterangannya, Ari menyoroti bahwa disertasi Bahlil telah melanggar sejumlah ketentuan dan kejujuran akademik. Pelanggaran itu di antaranya plagiarisme, pemalsuan data, penerbitan di jurnal predator, hingga ketidakwajaran durasi studi Bahlil.
Meski telah petisi telah ditandatangani ribuan orang, Reni dari FISIP UI mengaku pesimistis petisi tersebut bisa mengubah keputusan UI terkait status disertasi dan kemahasiswaan Bahlil.
“Saya ragu petisi tersebut bisa mengubah keputusan pimpinan UI karena mereka punya kepentingan khusus dan hidden agenda dalam kasus Bahlil,” ujarnya.
Senada, Musfi dari ISESS juga menganggap petisi itu tidak akan banyak berpengaruh. Sebabnya, sebelumnya pun sudah ada gelombang kritik terhadap disertasi Bahlil, tapi nyatanya UI bergeming.
Empat Organ UI pun memutuskan tidak membatalkan disertasi Bahlil, tapi hanya memintanya melakukan revisi.
“Ini menunjukkan kalau UI tidak peka dan tidak responsif terhadap kritik publik,” ujar Musfi.
Respons UI
Direktur Humas, Media, Pemerintah, dan Internasional UI, Prof. Arie Afriansyah, menyebut bahwa UI tidak memberikan tanggapan spesifik terkait adanya petisi tersebut.
“UI tidak memberikan tanggapan terhadap spesifik sumber. UI memberikan klarifikasi kepada semua pihak agar terdapat penjelasan yang resmi dari UI,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (12/3/2025).
Arie menyebut UI telah menerbitkan klarifikasi resmi atas polemik disertasi dan gelar doktoral Bahlil. UI menilai bahwa tuntutan pembatalan disertasi Bahlil yang diserukan dalam petisi tidak tepat. Pasalnya, empat Organ UI telah memutuskan bahwa Bahlil harus melakukan revisi disertasi.
“Bila disertasi belum diterima dan dinyatakan sah, bagaimana mungkin disertasi tersebut dibatalkan?” demikian tertulis dalam klarifikasi resmi UI tertanggal Rabu (12/3/2025)
UI menilai bahwa tuntutan pembatalan kelulusan Bahlil juga tidak tepat. Pasalnya, bila disertasi yang merupakan pendukung kelulusan belum diterima oleh empat Organ UI, artinya Bahlil belum dinyatakan lulus.
Tuntutan pembatalan gelar doktor Bahlil juga dianggap tidak relevan oleh UI. Hal ini disebabkan karena Bahlil justru dinyatakan oleh empat Organ UI belum dapat lulus dan belum mendapatkan ijazahnya.
“Empat organ UI telah memutuskan bahwa mahasiswa ditunda kelulusannya dengan mekanisme menunda yudisium hingga revisi selesai,” tulis keterangan tersebut.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi