tirto.id - Di depan sidang Volksraad (Dewan Rakyat) yang terhormat pada 30 Juni 1928, di tengah para anggota dewan yang didominasi orang-orang Belanda, Jahja Datoek Kajo berseru dengan lantang lagi tegas:
“Saya lebih suka menggunakan bahasa Indonesia di dalam sidang majelis dewan rakyat karena saya adalah seorang Indonesier (orang Indonesia). Tuan-tuan tentu memaklumi bahwa sekalian bangsa di dunia ini lebih suka berbahasa dengan bahasanya sendiri.” (Azizah Etek, dkk., Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo: Pidato Otokritik di Volksraad 1927-1939, 2008).
“Sebab itulah," lanjut Jahja, "saya lebih suka berbicara dalam bahasa Melayu dalam majelis persidangan ini. Apalagi yang saya bicarakan di dalam majelis ini bukan dari perkataan siapa saja, melainkan yang sebenar-benarnya terbit dari hati sanubari saya.”
Baca juga: Melayu, Islam, dan Politisasi Pribumi ala Kolonial
Keteguhan Jahja memakai bahasa Melayu atau bahasa Indonesia di dalam sidang-sidang Volksraad tak pelak memantik kecam sekaligus rasa tidak senang para anggota dewan dari kalangan Belanda. Namun, ia tidak pernah gentar sedikit pun.
Hanya beberapa bulan setelah pidato Jahja di forum Volksraad itu, tercetuslah Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang meliputi berbangsa satu, bertanah air satu, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Merintis Perlawanan Dari Dalam
Jahja Datoek Kajo adalah putra asli Minangkabau. Ia dilahirkan di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, pada 1 Agustus 1874. Sejak mula, kehidupannya nyaris selalu berada di lingkaran birokrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Ia tak sekadar bekerja, melainkan justru mencoba memberikan perlawanan dari dalam sistem itu sendiri.
Sejak usia 14 tahun, Jahja merintis karier di sektor pemerintahan. Ia bekerja sebagai leerling schrijver atau calon juru tulis di kantor Kontrolir/Residen Bukittinggi selama 7 tahun (Azizah Etek, dkk., Koto Gadang Masa Kolonial, 2007:259). Dari sini lah ia mulai belajar tata cara dan pola birokrasi dalam pemerintahan kolonial.
Bakatnya yang cemerlang membuat Jahja sudah dipercaya menempati jabatan sebagai Tuanku Laras IV Koto, salah satu posisi tertinggi dalam struktur sosial Minangkabau, ketika umurnya baru menginjak 21 tahun. Di Jawa, jabatan tersebut setara dengan regent atau bupati.
Di kisaran usia yang sama, Jahja menambah pengalamannya dengan bekerja sebagai juru tulis magang di kantor Kontrolir Agam Tua. Lagi-lagi berkat kecemerlangannya, ia terpilih dikirim ke Jawa untuk mempelajari pembangunan yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda, pada Oktober 1906.
Kendati begitu, Jahja tetap menjaga harkat dan martabatnya sebagai orang Minangkabau. Ia tetap merasa sebagai bagian bangsa Indonesia—yang telah dijajah Belanda selama ratusan tahun.
Baca juga: Abdul Rivai, Agen Ganda Pribumi-Belanda
Rasa benci terhadap Belanda senantiasa dipeliharanya walaupun ia sering berurusan dengan pejabat kolonial. Kemuakannya terhadap penjajah pernah mencapai puncak pada 1908 ketika melihat tentara Belanda membantai rakyat Minangkabau lantaran menentang pajak yang memberatkan (Rusli Amran, Sumatera Barat: Pemberontakan Pajak 1908, 1988:129).
Namun, ia masih menahan diri. Jahja terus menjalani kariernya karena ia percaya bahwa suatu saat nanti ia mampu melakukan perubahan. Bahkan, ia juga yakin akan timbulnya perlawanan dari dalam lingkaran pemerintahan kolonial itu sendiri. Kelak, keyakinan tersebut terbukti dan dilakukannya selama menjadi anggota Volksraad.
Karier Jahja di pemerintahan melesat dengan cepat. Pada 1913, ia menempati posisi sebagai Kepala Laras (Larashoofd) untuk wilayah Banuhampu. Ini adalah jabatan yang bergengsi dalam sistem birokrasi kolonial di Minangkabau.
Peneliti Universitas Leiden asal Sumatera Barat, Suryadi, menyebut jabatan ini amat pelik. Kepala Laras harus loyal kepada Belanda, tapi juga wajib melindungi rakyat. Banyak dari mereka yang tetap idealis, tapi tak sedikit pula yang dibenci karena dianggap sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial (Singgalang, 6 Februari 2011).
Tahun 1914, jabatan Jahja naik lagi. Kali ini ia ditunjuk untuk menjabat demang di Bukittinggi. Tetapi, lantaran kerap berselisih paham dengan atasannya, setahun kemudian ia dipindahkan ke Payakumbuh. Di situ, masih berposisi sebagai demang, ia menjabat hingga 1918. Selanjutnya, Jahja berturut-turut mengisi posisi serupa di Padang Panjang (1919-1928), kemudian Air Bangis (1928-1929).
Memperjuangkan Bahasa Indonesia
Jenjang karier di pemerintahan daerah maupun pengaruh di ranah adat itulah yang kemudian membawa Jahja terpilih sebagai anggota Volksraad untuk periode 1927-1931. Ia mewakili masyarakat Minangkabau. Dari 55 orang anggota dewan, 25 orang di antaranya adalah bumiputera, termasuk Jahja.
Volksraad sendiri dibentuk pada 1917 dan sempat memberlakukan aturan yang diskriminatif terhadap kaum bumiputera. Salah satunya adalah pelarangan dipakainya bahasa Melayu di dalam forum atau sidang parlemen. Namun, itu tidak berlaku bagi Jahja Datoek Kajo.
Agus Salim, petinggi Sarekat Islam (SI), pernah berbicara Melayu saat sidang ketika menjadi anggota Volksraad periode 1921-1924. Namun, ia mendapat teguran dari ketua sidang atas tindakan tersebut (Mohamad Nur Angkat Sutan, Generasi Soekarno-Hatta, 1985:17). Hal serupa pernah pula dilakukan Otto Iskandar Dinata yang juga terkena peringatan.
Baca juga: Kematian Misterius Otto Iskandardinata
Jahja Datoek Kajo lain lagi. Sejak 16 Juni 1927, ia selalu menggunakan bahasa Melayu setiap kali berbicara di forum Volksraad. Kendati diperingatkan, ia tetap saja membandel (S. Amran Tasai & Djamari, Pandangan Sastrawan A.A. Navis dan Tanggapan Kritikus terhadap Karyanya, 2003:94).
Bahkan, dalam salah satu pidatonya, Jahja menegaskan kepada forum, jika ada yang ingin menyela atau menyanggah perkataannya harus dilakukan dengan bahasa Melayu.
“Sekiranya di antara tuan-tuan ada yang menyerikati (menanggapi) pembicaraan saya, dengan hormat saya minta supaya dilakukan dengan bahasa Melayu,” tandasnya dalam sidang Volksraad tanggal 22 Juni 1927 seperti dikutip dari artikel Suryadi “Jahja Datoek Kajo dan Pemberontakan Bahasa Indonesia di Volksraad” (Singgalang, 24 Oktober 2008).
Lebih tegas lagi, Jahja berlantang serupa di sidang Volksraad berikutnya pada 21 Oktober 1927. “Berbahasa Melayulah! Seandainya ada di antara tuan-tuan yang tidak setuju dengan pembicaraan saya ini, saya harap tuan-tuan sudi menegurnya dalam bahasa Melayu!”
Jahja Datoek Kajo memakai istilah “bahasa Melayu” dan “bahasa Indonesia” secara berganti-ganti setiap kali ia membicarakan persoalan itu di sidang Volksraad. Menurut Suryadi, hal tersebut sengaja dilakukan untuk mengaduk perasaan dan emosi wakil-wakil Belanda di parlemen (Singgalang, 24 Oktober 2008).
Istilah “bahasa Indonesia” tentu saja mengandung semangat nasionalisme, yang amat sensitif bagi Belanda. Tidak lama kemudian, lahir lah Sumpah Pemuda. Salah satu poin penting sumpah itu menegaskan, bahasa persatuan rakyat Hindia (Indonesia) adalah bahasa Indonesia, dengan bahasa Melayu sebagai salah satu unsur pokoknya.
Konsistensi serta keteguhan Jahja memakai bahasa Indonesia terus dilakukannya bahkan ketika ia terpilih kembali menjadi anggota Volksraad untuk periode 1935-1939. Berkat keberaniannya itu, banyak surat kabar terbitan bumiputera yang menjulukinya “Jago Bahasa Indonesia di Volksraad” (Azizah Etek, dkk., 2008:14).
Bahkan, pada 1938, ia dan para pejuang pergerakan nasional lainnya, termasuk Suroso, M.H. Thamrin, Abdul Rasjid, Soangkupon, Wirjopranoto, serta Otto Iskandar Dinata, membentuk Fraksi Nasional (Nationale Fractie). Kelompok ini sepakat menggunakan bahasa Indonesia dalam setiap sidang Volksraad.
Baca juga: Daan Jahja: Gubernur Jakarta yang Wafat Usai Salat Idul Fitri
Golongan Belanda di Volksraad tentu saja merasa geram dengan pidato Jahja yang dilantangkan berapi-api memakai bahasa Indonesia. Namun, ia tak ambil pusing. Dengan cara inilah Jahja memberikan perlawanan nyata terhadap penjajah.
Sayangnya, Jahja tidak sempat menikmati kemerdekaan Indonesia. Ia meninggal dunia pada 9 November 1942 di Koto Gadang, tak lama setelah kekuasaan Belanda diambil alih Jepang.
Kendati demikian, setidaknya Jahja telah mewariskan daya juangnya kepada sang putra, yakni Daan Jahja. Anak lelaki Jahja Datoek Kajo ini turut berjuang selama masa revolusi fisik demi mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan RI. Daan pernah menjabat Panglima Divisi Siliwangi (1948) serta Gubernur Militer Jakarta (1948-1950).
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan