Menuju konten utama
20 Desember 1945

Otto Iskandar Dinata: Misteri Kematian Jagoan dari Bojongsoang

Sebuah peti.
Jasad berganti pasir
dan air laut.

Otto Iskandar Dinata: Misteri Kematian Jagoan dari Bojongsoang
Ilustrasi Otto Iskandardinata. tirto.id/Gery

tirto.id - Bandung berselimut mendung di pengujung 1952. Sebuah peti jenazah tiba di Kota Kembang diiringi ratusan orang yang menampakkan roman berduka, melepas kepergian seorang tokoh terkemuka masyarakat Sunda untuk selama-lamanya, Raden Otto Iskandardinata.

Tidak ada jenazah Otto di dalam peti mati itu. Hanya ada pasir dan air laut yang diambil dari kawasan pesisir Mauk, Tangerang, Banten, sebagai pengganti jenazah. Keberadaan jasad Si Jalak Harupat, julukan untuk Otto, memang tidak pernah diketahui di mana. Penyebab dan proses kematiannya pun masih diselubungi teka-teki, bahkan setelah 65 tahun berlalu.

Orang kini mengenal Otto Iskandardinata dari sekelumit kisahnya di buku-buku sejarah. Atau sesekali melihat namanya yang disematkan sebagai nama jalan di berbagai daerah atau nama stadion sepakbola yang menjadi markas Persib Bandung. Sebenarnya, Otto punya peran penting dalam perjuangan berdirinya Republik Indonesia. Namun peran itu tak berlanjut karena kematian misterius keburu menjemputnya.

Si Jalak Harupat Dari Bojongsoang

Pada 31 Maret 1897, Raden Otto Iskandardinata (sering dituliskan pula dengan nama Oto Iskandar Di Nata), dilahirkan di Bojongsoang, Bandung. Otto lahir dari keluarga ternama. Ayahnya, Raden Haji Rachmat Adam, adalah seorang kepala desa. Tempat tinggalnya pun merupakan rumah paling besar dan megah se-Bojongsoang.

Bojongsoang kini terletak di wilayah Kabupaten Bandung. Kawasan yang lekat dengan pemberitaan banjir ini berada tidak jauh dari Dayeuhkolot, atau Kota Tua, bekas pusat pemerintahan Bandung sebelum pindah ke kawasan yang sekarang berada di Jl. Asia Afrika.

Selayaknya anak orang berada, Otto mengenyam pendidikan yang baik dan dikenal sebagai salah satu siswa yang paling cerdas sejak sekolah dasar, menengah, hingga sekolah pendidikan guru di Bandung dan Purworejo.

Selain berotak cemerlang, Otto juga dikenal bernyali tinggi, tidak suka berbasa-basi, terutama dalam mengungkapkan pikiran dan isi hatinya. Pernah pada suatu ketika, Otto sengaja menyematkan dasi di pakaian seragamnya, tidak seperti kawan-kawannya yang lain. Tak pelak, ini membuat guru sekolahnya marah.

“Otto!” hardik sang guru yang orang Belanda itu. “Mengapa kamu memakai dasi? Saya saja tidak memakai dasi!”

Yang ditegur menjawab dengan tajam, “Tuan guru tidak perlu memakai dasi, sebab tuan sudah tua.”

“Kurang ajar kamu, ayo keluar!” sembur sang guru.

Otto dengan tenang keluar dari ruangan kelas. Dugaannya benar. Tuan guru menyebutnya kurang ajar karena ia anak bumiputera. Lain halnya jika ia anak orang Belanda, atau setidaknya seorang sinyo, gurunya pasti akan bilang bahwa ia adalah anak yang suka berterus terang (Nina H. Lubis, Si Jalak Harupat, Biografi Otto Iskandardinata, 2003).

Karakter itulah yang memunculkan istilah Si Jalak Harupat sebagai julukan bagi Otto Iskandardinata. Si Jalak Harupat adalah sebutan untuk ayam jantan yang kuat, pemberani, bersuara nyaring saat berkokok, dan sebagai ayam aduan ia adalah ayam jago yang sangat sulit dikalahkan.

Nama ini juga disematkan untuk nama stadion di kota kembang, Stadion Si Jalak Harupat, yang menjadi markas klub kebanggaan masyarakat Sunda, Persib Bandung. Otto sendiri sangat suka sepakbola, sempat menjadi wasit, dan pernah memimpin Persib yang dibentuk sejak 1933 (Umasih, Sejarah Pemikiran Indonesia Sampai dengan Tahun 1945, 2006).

Orang Sunda di Pusaran Ningrat Jawa

Selain sebagai guru, Otto Iskandardinata juga menaruh perhatian terhadap budaya Sunda. Tahun 1928, ia masuk Paguyuban Pasundan, kemudian terpilih menjadi ketua umum organisasi kebudayaan yang juga mencakup urusan pendidikan, sosial, politik, ekonomi, kepemudaan, serta pemberdayaan perempuan ini (R. Djaka Soeryawan, Sejarah Berdirinya Paguyuban Pasundan, 1990).

Otto sebenarnya sudah berkecimpung di kancah perhimpunan nasional sejak jauh sebelumnya. Wadah pergerakan yang dimasukinya adalah Muhammadiyah (ia pernah menjadi guru di sekolah milik organisasi kemasyarakatan berbasis agama bentukan KH Ahmad Dahlan) dan Boedi Oetomo.

Boedi Oetomo sendiri dibentuk di Batavia oleh para siswa sekolah dokter Jawa (STOVIA) pada 1908. Meski memiliki daya jangkau yang sejatinya lebih luas, namun Boedi Oetomo tetap saja identik sebagai kumpulannya para pemuda yang berasal dari keluarga ningrat Jawa, dan Otto Iskandardinata yang merupakan menak (ningrat) Sunda turut terlibat aktif di dalamnya.

Otto Iskandardinata adalah Wakil Ketua Boedi Oetomo cabang Bandung sejak 1921 hingga 1924. Kemudian dialihkan menjadi Wakil Ketua Boedi Oetomo cabang Pekalongan. Ia juga mewakili organisasinya itu sebagai anggota Gemeenteraad alias Dewan Kota Pekalongan.

Selanjutnya, semasa aktif di Paguyuban Pasundan, Otto juga tercatat sebagai anggota Volksraad, semacam Dewan Perwakilan Rakyat pada masa kolonial Hindia Belanda. Ia menjadi anggota parlemen selama tiga periode, yakni 1931-1934, 1935-1938, dan 1939-1942 (Anshoriy & Tjakrawerdaya, Rekam Jejak Dokter Pejuang & Pelopor Kebangkitan Nasional, 2008).

Suara lantangnya yang kerap melontarkan kritik keras terhadap pemerintah kolonial selama berperan sebagai wakil rakyat semakin menegaskan bahwa julukan Si Jalak Harupat memang pantas disematkan kepada Otto Iskandardinata.

Teka-teki Kematian Sang Menteri Negara

Ketika Indonesia berada di bawah kekuasaan Jepang setelah menyerahnya Belanda pada 1942, Otto Iskandardinata beralih ke bidang jurnalistik dengan memimpin suratkabar Tjahaja. Jurnalistik sebenarnya bukan bidang yang benar-benar baru karena ia sempat terlibat di Sipatahoenan, surat kabar yang diterbitkan Paguyuban Pasoendan. Surat kabar dan medan perjuangan politik, di zaman pergerakan, memang tidak terpisahkan.

Otto menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk tanggal 1 Maret 1945 bersama tokoh-tokoh bangsa lainnya. Ia juga terlibat dalam keanggotaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai pengganti BPUPKI.

Infografik Mozaik Otto Iskandardinata

Setelah Indonesia akhirnya memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan menjadi negara yang memiliki pemerintahan sendiri, Otto menempati posisi sebagai salah satu Menteri Negara pertama, bersama Mohammad Amir, Wahid Hasyim, Mr. Sartono, dan A.A. Maramis. Jabatan ini masih diembannya hingga terjadinya peristiwa tragis di akhir 1945 itu.

Sebagai Menteri Negara, salah satu yang menjadi urusan Otto adalah persoalan keamanan, termasuk mengkoordinir pembentukan tentara kebangsaan yang saat itu masih bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Masalah BKR ini cukup riskan lagi sensitif lantaran melibatkan sejumlah pihak dari latar belakang militer yang berbeda, di antaranya adalah mantan anggota Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho bentukan Jepang, serta bekas prajurit KNIL bentukan Belanda.

Tidak semua pihak setuju dengan upaya penyatuan para mantan tentara itu ke dalam BKR. Mereka yang tidak sepakat kemudian membentuk laskar-laskar sendiri. Mereka cenderung tidak menyukai gaya diplomasi untuk peralihan pemerintahan sepenuhnya dari Jepang—seperti yang diusahakan oleh Otto dan pemerintahan republik—dan memilih bertindak lebih frontal.

Kendati belum sepenuhnya terbukti, tapi ditengarai dari situlah asal-muasal maut yang menjemput Otto. Beberapa kepingan referensi menyebut bahwa Otto diculik oleh salah satu laskar yang bermarkas di Tangerang, pada 19 Desember 1945, dan dibawa ke suatu tempat di pesisir Pantai Mauk.

Versi lain soal sebab pembunuhan Otto diungkap Iip D. Yahya dalam Oto Iskandar di Nata: The Untold Stories (2017). Iip menelusuri catatan sidang pengadilan Mujitaba dkk, tersangka pembunuhan Otto, pada 1957. Anggota Laskar Hitam yang menculik Otto, menurut Iip, termakan desas-desus yang disebarkan agen-agen NICA bahwa Otto adalah mata-mata Belanda. Tujuan NICA menyebarkan isu ini tentu saja untuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap menghalangi upaya rekolonisasi Belanda.

Kemungkinan lain adalah Otto dituduh menguasai uang senilai satu juta gulden yang didapat dari seorang perwira Jepang bernama Ichiki Tatsuo. Uang tersebut berasal dari dana rampasan perang ketika Jepang berhasil mengusir Belanda dari Indonesia.

Ketika para eksekutor hendak menghabisi Otto, mereka berteriak, “Mata-mata musuh yang menjual kota Bandung satu miliun! Agen NICA!”

"Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, di antara para perwira Jepang yang memiliki akses pada uang rampasan, ada yang memilih untuk memberikannya kepada tokoh-tokoh Indonesia yang mereka percayai, untuk digunakan sebagai bekal perjuangan. Uang itu berasal dari rampasan perang ketika Jepang mengalahkan Belanda sejak 8 Maret 1942, maka uangnya berupa gulden Belanda," ujar Iip.

Satu hal yang paling menarik dari kemungkinan tersebut adalah informasi Otto menguasai duit satu juta gulden pasti sangat terbatas pada kalangan elit semata. Hampir tidak mungkin anggota-anggota laskar dari pinggiran Tangerang mengetahui informasi macam ini. Menurut Iip, boleh jadi ada tokoh lain yang memerintahkan Laskar Hitam menghabisi Otto.

"Siapa yang membagi informasi kepada mereka di tengah kecamuk revolusi saat itu? Siapakah di antara tokoh nasional yang kemungkinan mengorder Laskar Hitam untuk menculik Oto?"

Pertanyaan tersebut memang tak pernah terjawab. Tapi yang jelas, jenazah Otto belum ditemukan hingga detik ini. Pemerintah pun "terpaksa" menetapkan 20 Desember 1945 sebagai tanggal kematian Otto Iskandardinata dan memberinya gelar Pahlawan Nasional pada 6 November 1973.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan