tirto.id - Tekad untuk mendirikan perguruan tinggi Islam di Indonesia kian menguat pada pertengahan 1945. Sidang Umum Masyumi (Majelis Syuro Moeslimin Indonesia) membahas serius gagasan tersebut, meskipun di sisi lain, bangsa ini masih berkutat dengan persoalan yang tak kalah penting: mempersiapkan kemerdekaan di tengah situasi yang belum pasti.
Masyumi merupakan representasi umat Islam di tanah air saat itu. Ia dibentuk pemerintah pendudukan Jepang pada 1943 untuk mengendalikan massa Islam. Namun, Masyumi justru menjadi lini kekuatan tersendiri. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bersatu di bawah panji-panji federasi umat Islam ini.
Masyumi merasa perlu mengambil peran demi membawa kepentingan umat Islam di negara baru yang akan berdiri nanti, termasuk dalam sektor pendidikan dengan level yang lebih tinggi dari sebelumnya. Beberapa pekan sebelum proklamasi kemerdekaan RI diserukan, lahirlah Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta.
Berkat Peran Masyumi
Dituliskan oleh Yudi Latif (2013) dalam Genealogi Intelegensia: Pengetahuan & Kekuasaan Inteligensia Muslim Indonesia Abad XX, keinginan bangsa ini untuk memiliki universitas Islam sebenarnya telah mengemuka tak lama setelah Belanda hengkang. Pemerintah Jepang sebagai “penguasa” baru sudah menjanjikannya sejak awal 1942 (hlm. 213).
Namun, janji tersebut tidak pernah dipenuhi hingga detik-detik akhir keberadaan Jepang di Indonesia. Masyumi dengan cerdik mengambil momentum ketika Dai Nippon sedang limbung lantaran rentetan kekalahan dari Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya kala itu.
Akhirnya, STI resmi berdiri tanggal 8 Juli 1945 atau 40 hari sebelum proklamasi kemerdekaan (Kartomo Wirosuharjo, PTS Sayang, PTS Perlu Ditimang, 2015:7). Perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia justru lahir dari sektor swasta, karena dimotori oleh Masyumi yang kelak menjelma menjadi partai politik.
Namun, bukan berarti tak ada unsur “pemerintah” dalam hal ini. Mohammad Hatta, yang nantinya menjadi Wakil Presiden RI pertama, didapuk sebagai Ketua Dewan Pengurus STI (Deliar Noer, Mohammad Hatta: Biografi Politik, 1990:194). Ada pula Mohammad Natsir, Mohammad Roem, KH Wahid Hasjim, dan lain-lainnya yang turut membidani proses lahirnya STI.
Dalam pidato pembukaan STI seperti dikutip dari Api Sejarah 2 yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara (2015), Hatta menyatakan:
“Negara Indonesia Merdeka menghendaki susunan masyarakat yang kuat. Masyarakat yang berdasarkan cita-cita persaudaraan dan tolong menolong. Untuk mencapai masyarakat yang semacam itu, perlulah disempurnakan pendidikan agama Islam.” (hlm. 284).
“Agama Islam,” lanjutnya, “adalah pelita yang sebaik-baiknya untuk menyuluhi jalan rakyat ke dalam masyarakat persaudaraan dan tolong- menolong. Untuk menyempurnakan pendidikan agama Islam, perlu sekali pendidikan tinggi.”
Jelas sudah mengapa keberadaan STI memang sangat dibutuhkan. Selain karena saat itu belum ada perguruan tinggi Islam di Indonesia, bangsa ini, seperti yang dikatakan Hatta, pendidikan Islam diperlukan untuk mencapai susunan masyarakat yang kuat. Hatta dua kali menegaskan “persaudaraan” dan “tolong-menolong” dalam pidatonya.
Dari UII Lahirlah UIN
Tahun 1946, Jakarta dalam kondisi darurat seiring kembalinya Belanda (NICA) dengan membonceng pasukan Sekutu. Maka, ibukota RI dialihkan ke Yogyakarta. Seiring dengan itu, STI yang didirikan di Jakarta juga ikut pindah.
STI kemudian berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada 22 Maret 1948. Rektor pertama STI, K.H. Abdoel Kahar Moezakir, tetap menempati jabatannya sebagai pemimpin perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia itu. Ketika ibukota RI kembali ke Jakarta pada 1949, UII tidak ikut, tetap di Yogyakarta.
Dikutip dari buku Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia karya Haidar Putra Daulay (2014), saat pertama kali diresmikan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, UII memiliki 4 fakultas, yaitu Agama, Hukum, Pendidikan, dan Ekonomi (hlm. 100).
Namun, status UII tetap swasta, bukan milik pemerintah. Rezim Sukarno saat itu lebih memilih menguatkan UII ketimbang mendirikan perguruan tinggi Islam sendiri. Maka, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950 tentang Peningkatan Status Fakultas Agama UII menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri atau PTAIN.
Tanggal 1 Juni 1957, Departemen Agama RI mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Mahmoed Joenoes, ulama sekaligus tokoh pendidik asal Sumatera Barat yang sejak era pergerakan nasional ditunjuk sebagai ketuanya.
ADIA juga belum bisa disebut sebagai universitas Islam resmi milik pemerintah. Mahmoed Joenoes lalu mengusulkan kepada Menteri Agama saat itu, Wahib Wahab, agar ADIA diintegrasikan dengan PTAIN (Gouzali Saydam, 55 Tokoh Indonesia Asal Minangkabau di Pentas Nasional, 2009:163).
Usulan tersebut disetujui. Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Tahun 1960, maka berdirilah perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia, bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN), hasil peleburan antara ADIA di Jakarta dengan PTAIN atau yang bermula dari Fakultas Agama UII di Yogyakarta.
IAIN semula hanya punya 4 fakultas yang ditempatkan di dua kota berbeda, masing-masing 2 fakultas di Yogyakarta dan Jakarta. Yang di Jakarta kemudian menjadi IAIN Syarif Hidayatullah, sementara yang di Yogyakarta menjadi IAIN Sunan Kalijaga.
Pada perkembangannya, pendirian IAIN lantas menjamur di berbagai daerah di tanah air kendati punya manajemen masing-masing. Sementara UII, meskipun sempat membuka 22 fakultas yang tersebar di sejumlah daerah, akhirnya kembali memusatkan diri di Yogyakarta dengan beberapa unit kampus di bawah satu naungan.
IAIN kemudian bersulih nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta menjadi IAIN pertama yang memakai nama baru tersebut pada 2002, diikuti oleh IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta pada 2004.
Setelah dua institusi pertama itu, menyusul kemudian beberapa IAIN lainnya yang berganti wujud menjadi UIN. Hingga kini, terdapat 17 UIN, sementara yang masih bernama IAIN ada 23. Selain itu, ada pula 18 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). STAIN juga bisa menyandang status UIN jika sudah memenuhi syarat.
Urgensi Mewujudkan UIII
Indonesia sudah punya UIN, IAIN, dan STAIN sebagai perguruan tinggi Islam milik pemerintah yang jumlahnya puluhan. Ditambah pula dengan UII dan ratusan perguruan tinggi Islam dari sektor swasta, baik yang sudah berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, atau sejenisnya.
Namun, itu rupanya belum cukup. Alih-alih menguatkan kualitas seabrek perguruan tinggi Islam itu agar bisa berdaya jangkau lebih luas serta membanggakan dari segi mutu dan prestasi, pemerintah justru ingin membangun sesuatu yang baru dengan ambisi yang amat tinggi, yaitu Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).
Lewat Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2016, rencana mewujudkan UIII akan segera direalisasikan pada awal 2018 ini. Bakal menempati area seluas lebih dari 142 hektare yang berlokasi di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, biaya pembangunan UIII diperkirakan menembus angka 3,9 triliun rupiah.
Dari angka fantastis itu, pemerintah berencana mengalokasikan 600 miliar rupiah dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2018 dan kemungkinan berlanjut pada APBN 2019. Sedangkan kekurangannya akan diusahakan dari sektor-sektor lain.
“APBN kami sediakan Rp 600 miliar untuk tahun 2018 ini. Untuk (APBN) tahun depan belum tahu ya berapanya. Sisanya ada hibah dari negara-negara lain,” sebut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuldjono, kepada media di Jakarta beberapa waktu lalu.
Selain itu, rencana pembangunan UIII sempat menuai protes karena berpotensi mengorbankan rumah cagar budaya peninggalan zaman Belanda di Cimanggis. Sempat menjadi polemik, Wakil Presiden Jusuf Kalla akhirnya memastikan hal tersebut tidak akan terjadi.
Lantas, sejauh mana urgensi UIII sehingga pemerintah tampak amat berhasrat untuk mewujudkannya?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan Indonesia memang memerlukan perguruan tinggi Islam bertaraf internasional demi menjawab permintaan dan kebutuhan global, selain atas nama reputasi Indonesia dalam pergaulan internasional, khususnya dengan negara-negara Islam di dunia.
“Karena menurut beliau-beliau (para pemimpin negara Islam), Islam yang ada di Indonesia ini dalam praktik kesehariannya adalah Islam yang betul,” sebut Presiden Jokowi.
Sejumlah menteri terkait pun kompak mengiyakan. Salah satunya Mohammad Nasir selaku Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti). “UIII ini ditujukan untuk seluruh dunia, bagaimana Islam yang bisa memberikan manfaat bagi kita semua, yang bersifat toleran dan moderat, ini yang dipahamkan,” tandasnya.
Hal senada dikatakan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, yang mengatakan bahwa Indonesia harus punya universitas Islam bertaraf internasional untuk memperkenalkan kepada dunia bahwa Indonesia juga bisa memberikan kontribusi positif dalam menata peradaban global.
Jika pemerintah sangat berambisi membangun UIII, lalu bagaimana nasib beratus-ratus perguruan tinggi Islam lainnya? Mengapa pemerintah tidak memaksimalkan potensi UIN, UII, atau yang lain demi memenuhi hasrat “berperan bagi peradaban Islam dan dunia”?
“... untuk UIN yang ada sekarang, saya rasa juga bisa diprospek untuk jadi lebih berkualitas, salah satunya dengan mengadakan pertukaran pelajar dan belajar Islamologi,” sebut Nur Syam, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI.
Jadi, terang sudah, opsi menguatkan UIN atau yang lain agar bisa bersaing di level yang lebih tinggi tampaknya bukan menjadi pilihan pemerintah. Membangun kampus baru bertaraf internasional, dengan segala pro-kontra dan konsekuensinya, tetap yang utama demi terjaganya martabat Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya