Menuju konten utama

Kehidupan Mahasiswa: Senang di Awal, Lama-lama Harus Mandiri

Dunia kerja di Indonesia akan diisi oleh generasi yang melek digital, punya jiwa dagang, individual, dan berpikir lebih terbuka. Bagaimana kisah sebagian kecil dari generasi ini di Kota Malang?

Kehidupan Mahasiswa: Senang di Awal, Lama-lama Harus Mandiri
Potret mahasiswi Universitas Brawijaya Malang. tirto.id/Tony Firman

tirto.id - “Maaf ya, kalo diundur jadi setengah 12 siang, gimana? Soalnya ini aku sekalian nganter pesanan,” kata Azzumar Adhitia, 22 tahun, ketika ditemui di sela-sela kesibukannya mengelola bisnis barunya, akhir April lalu.

Sudah sekitar sebulan ini Azzumar, yang akrab disapa Adit, sibuk berjualan kebab bernama Kebab 56 Malang. Di saat bersamaan, ia masih menyandang status mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya yang tahun ini menginjak semester delapan, tengah berjuang merampungkan skripsi.

“Ini usaha merger," katanya. "Kami berempat, termasuk aku, berbagi tugas dari pembuatan sampai nganter ke konsumen.”

Apa yang sedang dijalani pemuda asal Cilegon ini diakuinya mengganggu kelancarannya menyusun skripsi. Orderan dari konsumen memaksanya menunda menyelesaikan tugas akhir serta jadwal pergi ke kampus untuk berkonsultasi dengan dosen atau ke perpustakaan.

Waktu saya menemuinya, Adit tengah membereskan 14 pesanan. Ia kebagian mengantar 4 pesanan, salah satunya dari pembeli yang memesan 6 kebab sekaligus. Ia dan ketiga temannya punya keinginan tak ingin melamar kerja setelah lulus nanti.

“Sebisa mungkin kami harus mandiri. Juga kalau kami terpaksa harus mencari kerja. Tapi semoga tidak selamanya sebagai pekerja. Pokoknya harus sebisa mungkin hidup berdikari. Nah, sekarang ini sudah waktunya,” katanya, optimistis, membayangkan masa depan kelak.

Berbeda dengan Adit, Vina Anggraini, mahasiswi asal Banjarmasin, sempat cuti dari pekerjaan sampingan di sebuah warung Banjar di Malang. Ia harus fokus mempersiapkan masa ujian proposal penelitian skripsi sebulan terakhir.

Sebelum bekerja di warung Banjar, Vina pernah bekerja paruh waktu di sebuah tempat kuliner durian. Selama satu setengah bulan ia membawa tugas akhirnya di tempat kerja, mencuri-curi waktu senggang saat bekerja, meski akhirnya bikin ia tidak fokus.

Bekerja di warung Banjar dianggapnya lebih fleksibel dan digaji per hari, plus masih mendapatkan makan gratis. Warung itu ramai, katanya, saban hari banyak konsumen datang. Meski pemiliknya membolehkan ia absen kerja, termasuk izin cuti kali ini untuk merampungkan skripsi, tetap saja mengatur dua kesibukan sekaligus tetaplah bikin ia kewalahan.

“Saking ramainya," kata perempuan berusia 22 tahun ini, "tiap pulang badanku remuk, jadi enggak konsen garap skripsi. Dan ini skip dulu pas garap seminar proposal, aku belum ke sana lagi."

Vina maupun Adit adalah bagian dari ratusan ribu mahasiswa yang datang ke Malang, Jawa Timur, buat mengejar pendidikan sarjana, jauh dari orangtua mereka, beradaptasi dengan lingkungan baru dan menemukan teman-teman baru, pelan-pelan jatuh cinta dan menikmatinya, dan kini mereka harus berjuang menyelesaikan tujuan awal mereka.

Meski generasi ini kerap dituduh sebagai pemalas—anggapan yang disematkan pada generasi milienial maupun generasi digital—tetapi gambaran yang dilakoni Vina maupun Adit mematahkan generalisasi yang acapkali mengecoh.

Mereka punya ekspresi budaya sendiri, sebagaimana generasi sebelumnya, dan sangat mungkin bertolak belakang dengan kebiasaan orangtua mereka. Di Malang, maupun di kota-kota padat lain di Pulau Jawa, yang banyak kampusnya plus mahasiswanya, anak-anak muda inilah yang kelak mengisi dunia kerja.

Sebagaimana riset perilaku terhadap generasi ini, mereka adalah generasi yang lebih serba-bisa, lebih individual, lebih global, berpikiran lebih terbuka, lebih cepat terjun ke dunia kerja, lebih wirausahawan, dan tentu saja lebih ramah teknologi.

Vina dan Adit, misalnya, sebelum memasuki pasar tenaga kerja, ingin lebih dulu mencicipi kehidupan baru yang siap disongsong mereka selepas lulus nanti, mendapatkan rupiah dari jerih payah sendiri dan, tentu, memperoleh pengalaman.

Biaya Hidup di Malang

Malang relatif kota yang murah dan jauh lebih mahal bila dibandingkan Kota Cilegon, tempat asal Adit. Upah bulanan resmi untuk tahun 2017 di Malang sekitar Rp2,2 juta - Rp 2,4 juta.

Adit seketika jatuh cinta pada Malang setelah mengantar kakaknya yang kuliah di sini pada 2008. Dari situ ia mantap memilih kota ini untuk studi sarjana. Berbeda dari kota asalnya, Malang lebih hidup, banyak pusat keramaian dan ragam kegiatan anak muda. Cuaca juga lebih dingin.

“Di sini saya bisa beli lalapan ayam seharga 9 ribu sampai 10 ribu rupiah, tempe-tahu 6 ribuan rupiah. Jadi itu lumayan murah, kan. Dan saya bisa menghemat lagi dengan memasak nasi sendiri, cuma beli lauk. Beli beras per bulan,” kata Adit.

Rata-rata biaya hidup di Malang sekitar Rp1 juta menurut pengalamannya selama ini. “Tapi kurang dari sejuta mungkin bisa kalau sangat amat bisa mengelola. Karena dulu, tahun 2014-an, ada teman saya ngaku Rp750 ribu per bulan," kata Adit.

Dengan uang segitu, Adit sudah berhemat dengan gaya hidupnya di Malang. Ia bisa sangat boros terutama dengan hobinya menggeluti fotografi analog. Dalam sebulan, ia bisa menghabiskan 2 gulungan film, plus ongkos kirim ke Malang. Ia juga harus merogoh kocek lagi buat biaya pencucian film.

Nino Paulus Sitepu, mahasiswa berumur 22 tahun asal Pematangsiantar, Sumatera Utara, menuturkan soal biaya hidup di Malang yang relatif murah ketimbang kampung halamannya atau bahkan Yogyakarta, kota pendidikan yang dijubeli para mahasiswa baru saban tahun.

Nino acap menyambangi Yogyakarta, biasanya dua kali saban semester, dan karena itu ia bisa membandingkan harga makan yang jauh lebih murah di Malang. Di sini, katanya, ia masih bisa makan nasi telur plus sayur seharga Rp5 ribu atau Rp8 ribu bila lauknya naik sedikit dengan sepotong ayam.

Pengeluaran bulanan untuk uang makan Nino sebesar Rp1 juta dari uang saku kiriman orangtuanya sebesar Rp1,5 juta. Pengeluaran yang dianggapnya boros pada rokok, nongkrong bareng teman-teman dan pacarnya. Siasatnya, ia mengombinasikan jatah makan antara 2 atau 3 kali dalam sehari.

“Kalau lebih ngirit lagi, dengan sisa 650 ribu rupiah itu bisa. Beli lauk, beras kadang-kadang. Dan ada langganan warung yang murah banget,” katanya, lagi.

Sementara bagi Vina Anggraini, pengalamannya di awal-awal semester diakuinya boros dengan uang saku sekitar Rp2 juta. Ia menikmati Kota Malang yang murah ketimbang kota kelahirannya di Banjarmasin. Tetapi pelan-pelan ia bisa mengatur pengeluaran bulanan dan uang sakunya pun dibatasi.

Dalam sehari, katanya, uang makannya antara Rp20 ribu sampai Rp30 ribu. Atau, dalam sebulan, ia bisa mengatur biaya makan sekitar Rp900. “Tapi, kan, enggak mungkin hidup sekadar makan. Anggaplah Rp1 sampai Rp1,5 juta untuk kebutuhan cewek,” katanya.

Maria Kartika, 23 tahun, mahasiswi asal Jakarta Timur, menuturkan orangtuanya menjatah dia Rp700 ribu dalam beberapa minggu. Dalam sebulan, ia bisa dua sampai tiga kali meminta uang saku, atau total sekitar Rp1,4 sampai Rp2,1 juta per bulan.

Menurutnya, pengeluaran terboros ketika harus jajan seperti beli camilan atau menikmati kuliner Malang, atau belanja online.

“Satu juta rupiah itu kalau ngirit, atau sekitar Rp1,5 juta itu paling irit kalau makan aja. Itu makan irit. Sering masak. Beli nugget atau bikin nasi goreng, beli air galon di kamar, atau goreng telor, enggak jajan di luar,” ujarnya.

Infografik HL Hari Pendidikan

Maria Kartika tinggal di kamar sewa, sekitar dua kilometer dari kampusnya, Universitas Brawijaya, sejak kali pertama kuliah di Malang. Orangtuanya harus membayar biaya sewa Rp1.550 ribu per tiga bulan untuk putrinya itu.

Fasilitas di kamar sewa Maria tergolong standar. Ada kasur, lemari, meja belajar, dan akses internet meski sering ngadat. Di lantai bawah, ada dapur, kulkas, dan air minum yang bisa dipakai bareng penghuni kost lain.

Sementara Vina Anggraini memilih menyewa rumah bersama teman-teman di daerah terdekat Universitas Brawijaya. Permukimannya padat. Kebanyakan diisi kost dan rumah kontrakan, bercampur dengan rumah warga setempat. Ini bukan dominan di Malang. Di tiap kampus, selalu berkembang rumah-rumah sewa dan kost bulanan bagi mahasiswa, dan terkadang menggeser dan mengubah perkampungan lama.

Untuk rumah sewa yang kini ditempatinya, Vina mesti membayar Rp3,4 juta per tahun. Pemilik rumah, berisi 7 kamar, mematok Rp24 juta/ tahun. Di rumah itu ada 10 orang, ada satu kamar ditempati dua orang. Selain itu mereka harus menanggung biaya listrik, air, dan internet, yang masing-masing per orang mesti patungan Rp50 ribu per bulan.

Sebelum menghuni kontrakan itu sejak akhir Desember 2015, Vina sudah gonta-ganti kamar kost, dari yang paling murah sampai mahal. Di awal kuliah, ia tinggal di rumah sewa seharga Rp650 ribu per bulan, yang harus dibayar selama setahun. Ia menikmati kamar kost itu. Besar, rapi, dan bersih. Ada pembantu yang mengurusi rumah kost tersebut. Fasilitasnya standar. Ada kasur, lemari, dan meja belajar. Ia harus mengeluarkan biaya tambahan untuk listrik jika membawa mesin penanak nasi.

Pada semester ke-3 dan ke-4, Vina pindah ke rumah kontrakan di dekat UIN Maulana Malik Ibrahim, bersama dua saudaranya dan seorang teman. Harganya sekitar Rp20 juta ke atas per tahun. Setelah itu ia pindah lagi, kembali menempati kamar kost dengan biaya sewa antara Rp650 ribu dan Rp700 ribu.

Rumah kontrakannya sekarang ia pilih untuk meringankan biaya bulanan, plus agar tidak terlalu berat membebani orangtuanya. Ini siklus yang sering dialami para mahasiswa rantau. Awalnya bisa foya-foya, lama-lama, seiring lebih dewasa dan menemukan kehidupan baru, mereka lebih bisa beradaptasi dan punya keinginan tidak terlalu berat maupun terlalu lama merepotkan orangtua.

Pengalaman lain diungkapkan Nino Paulus Sitepu soal pengalamannya menempati kamar kost. Sewaktu tinggal di kamar sewa berbiaya Rp400 ribu per bulan, fasilitasnya tidak begitu asyik. "Bayangin," katanya, "Kamarnya ada 22, kamar mandi cuma satu. Sebenarnya ada 4 kamar mandi, tapi yang punya kost enggak pernah kasih perhatian. Dia cuma bilang, 'tunggu, tukangnya nanti datang.' Tapi enggak datang juga.”

Nino pernah tinggal di asrama Brawijaya. Biaya sewanya Rp250 ribu/bulan untuk satu orang, dan per kamar diisi dua orang. Ia gratis untuk biaya listrik dan akses internet. Namun, sejak 2016, kebijakan baru di asrama, yang hanya membolehkan mahasiswa tinggal di situ maksimal setahun, mengharuskannya pindah. Kini Nino tinggal di rumah kontrakan seharga Rp15 juta per tahun bersama empat teman.

Baca juga artikel terkait KAMPUS atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Fahri Salam