Menuju konten utama

Mengidamkan jadi Jurnalis, tapi Soal Gaji bikin Meringis

Jurusan komunikasi jadi pilihan pertama anak-anak muda Jakarta, mengalahkan sastra, apalagi kedokteran yang biaya kuliahnya selangit.

Mengidamkan jadi Jurnalis, tapi Soal Gaji bikin Meringis
Ilustrasi Wisuda. FOTO/istock

tirto.id - Sejak duduk di bangku SMA Seminari Pius XII Kisol, Flores, Vinsent Mario Atawoloa, 20 tahun, sudah menyukai dunia menulis, terutama tentang sastra. Kecintaannya ini membuatnya merantau ke ibukota Jakarta.

Ia bercerita, di tempatnya ada Universitas Flores, Universitas Nusa Cendana, dan Universitas Katolik Widya Mandira. Dua kampus terakhir berada di Kupang, sekira satu jam dengan pesawat dari Flores. Ketiga kampus itu, sayangnya, tidak ada jurusan jurnalistik yang rencananya ia tekuni. Akhirnya, ia mencari kampus jurnalistik di Jakarta.

"Tahun 2015, mulai mencari-cari kampus jurnalistik di Jakarta yang bagus. Dapat di sini. Sebelumnya sudah ke kampus lain, tapi karena perhitungan ekonomi, akhirnya saya ke sini saja," kata Vinsent saat ditemui di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), pada medio Mei lalu.

Biaya kuliah Vinsent di kampus yang terletak di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, ini berkisar Rp10,5 juta sebagai uang pangkal dan Rp3,75 juta per semester. Bandingkan, misalnya, dengan Universitas Sahid (Tebet) yang mematok uang pangkal Rp18 juta dan uang kuliah Rp7 juta per semester, maupun Univeristas Multimedia Nusantara (UMN) dengan uang pangkal maksimal Rp30 juta dan Rp9 juta per semester.

Alasan Vinsent juga diungkapkan oleh Aris Nurjani, mahasiswa jurnalistik angkatan 2015. Menurutnya, biaya kuliah jurnalistik di IISIP lebih terjangkau. "Tetapi secara kualitas," katanya, "kami berani bersaing di lapangan dengan jurusan jurnalistik di kampus lain."

IISIP adalah perguruan tinggi jurnalistik pertama swasta, didirikan oleh perhimpunan Mahasiswa Akademi Wartawan yang dipimpin A.M Hoeta Soehoet, wartawan asal Tapanuli Selatan yang pernah bekerja di Indonesia Raya dan Abadi. Kampus yang dulunya bernama Sekolah Tinggi Publisistik ini berdiri pada 5 Desember 1953. Banyak wartawan terkenal di Indonesia lahir dari kampus ini.

Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi IISIP, Mulharnetti Syas, mengatakan bahwa mahasiswanya memang dibentuk untuk menghasilkan wartawan. Mereka digembleng untuk melakukan liputan langsung ke lapangan sehingga, katanya, sudah paham kerja-kerja seorang wartawan pada semester empat.

Rata-rata alumni maupun yang "dancing out"—istilah lelucon untuk drop out—dari kampus ini berprofesi sebagai wartawan di sejumlah media massa. Mereka menduduki posisi strategis di media cetak, online, maupun televisi.

"Ada Andy F. Noya ... Titin Rosmasari, Toto Irianto, Norman Meoko," kata Syas menyebutkan nama-nama alumni IISIP. Noya tentu dikenal berkat program acaranya bernama "Kick Andy". Rosmasari adalah pemimpin redaksi CNN TV, Irianto adalah pemred Pos Kota, Meoko adalah mantan pemred Sinar Harapan.

Salah satu nama itu, yakni Andy F. Noya, bisa Anda lihat dalam sebuah spanduk besar di depan gerbang kampus IISIP.

Meski kampus ini terkenal dengan jurusan jurnalistik, tetapi jumlah peminatnya berkurang dalam dua tahun terakhir, demikian Aris Nurjani. Pada 2015, jumlah mahasiswa jurusan jurnalistik berkisar 300-400 orang. Pada 2016, sekitar 100-200 orang.

Menyusutnya jumlah peminat jurusan jurnalistik ini, dugaan Aris, lantaran akreditasi lebih rendah dibanding jurusan lain seperti hubungan internasional. Jurusan jurnalistik hanya akreditasi B, sementara hubungan internasional berakreditasi A. Peminat hubungan internasional lebih banyak ketimbang jurnalistik, ujar Aris. Akreditasi adalah suatu bentuk pengakuan pemerintah terhadap suatu lembaga pendidikan swasta.

Meski menurun, Aris optimistis prospek lapangan kerja bagi jurusan jurnalistik "luar biasa." Ia melihat, menjamurnya media online membuka peluang yang "sangat menjanjikan."

"Dalam festival jurnalistik di IISIP, Pemred Kompas.com, Kak Wisnu, mengatakan mahasiswa IISIP penyumbang 5 persen (wartawan) di Kompas.com," ujarnya.

Data Riset Mandiri Tirto, yang melakukan survei pada 4-7 April 2017 kepada 188 responden usia 16-18 tahun di Jakarta, menunjukkan bahwa ilmu komunikasi menempati pilihan pertama mereka. Selanjutnya adalah jurusan psikologi, sastra Jerman, sastra Inggris, dan hubungan internasional untuk kategori ilmu sosial. Hasil riset itu memperlihatkan jurusan arsitektur lebih favorit ketimbang kedokteran untuk kategori ilmu eksakta

Lebih lengkap hasil riset mandiri Tirto, baca: Pudarnya Pesona Jurusan Kedokteran dan Akuntansi

Infografik HL hari pendidikan

F.X Lilik Dwi Mardjianto, kepala prodi jurnalistik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN), mengatakan bahwa tren peminat jurusanini cenderung naik sejak 2007.

"Rata-rata 190-200 mahasiswa per angkatan. Ilmu komunikasi ada dua bidang di kami: public relations dan jurnalistik. Jadi totalnya 400 per angkatan," kata Lilik.

Meski banyak peminat, dan keinginan menjadi wartawan sah-sah saja ditabalkan, tetapi tidak semua mahasiswa jurusan jurnalistik bekerja sesuai studinya selepas lulus. Alasan utamanya pada gaji wartawan.

Upah minimum provinsi Jakarta untuk 2017 berkisar Rp3,3 juta. Dengan tuntutan kerja yang tinggi bagi reporter baru, yang setiap hari harus ke lapangan dan menulis belasan berita pendek, biasanya gaji mereka tidak begitu jauh dari kisaran UMP tersebut. Bahkan, setiap tahun, Aliansi Jurnalis Independen Jakarta kerap merilis survei gaji layak bagi jurnalis pemula. Angkanya minimal Rp7,5 juta.

Alasan gaji minim ini yang melatari Eunike Ambarita, alumni jurnalistik UMN angkatan 2012, tidak melakoni profesi sebagai wartawan. "Enggak jadi jurnalis," katanya. "Sekarang jadi bankir di Sinarmas."

Dengan UMP segitu, bila jadi wartawan, Ambarita harus memikirkan biaya sewa kos di Jakarta, transportasi, dan makan.

"Jadi untuk nabung sangat minim," keluhnya.

Alasan lain yang dikemukan Ambarita soal waktu luang. Hari Sabtu dan Minggu, baginya, khusus untuk beribadah. Ia melihat banyak temannya yang jadi wartawan bahkan harus bekerja tanpa kenal libur.

Vonny Darmanto, alumni jurnalistik UMN angkatan 2012, juga mengungkapkan gaji rendah dari perusahaan media jadi penyebab utama ia tidak meneruskan profesi sebagai wartawan. Vonny sempat magang di sebuah media di Jakarta. Kini ia bekerja di perusahaan retail.

"Aku sendiri jujur suka banget sama bidang jurnalis, tapi kalau ngomongin salary, ya jadi jurnalis sulit untuk mendapatkan gaji tinggi," katanya. "Pertimbangan aku, kebutuhan aku lumayan besar, mau enggak mau menuntut aku cari kerjaan dengan salary yang lebih oke."

_________

Koreksi: Lilik Dwi Mardjianto adalah kepala prodi jurnalistik, bukan kepala prodi ilmu komunikasi seperti yang ditulis saat laporan ini naik. Koreksi sudah dilakukan.

Baca juga artikel terkait KULIAH atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam