tirto.id - Di lingkungan Angkatan Darat, Raden Soekotjo—berpangkat terakhir Pembantu Letnan Satu (Peltu) ketika pensiun—hanyalah butiran debu meski terpandang di desanya. Soekotjo memang seorang komandan, tapi cuma Komandan Rayon Militer (Danramil), jabatan terendah dalam hierarki teritorial Angkatan Darat (AD).
Saat Susilo Bambang Yudhoyono, putra Soekotjo, masuk Akabri Magelang pada 1970 tentu saja membuat kebahagiaan yang bukan kepalang. Putranya yang akrab dipanggil Sus ini tidak mengalami masa-masa panjang sebagai bintara atau tamtama. Saat lulus Akabri, pangkatnya sudah letnan dua. Jabatan komandan yang diraihnya sudah melampaui jabatan Danramil, lebih tinggi dari Soekotjo. Gubernur Akabri saat itu adalah Mayor Jenderal Sarwo Edhi Wibowo.
Soekotjo tentu boleh bangga soal betapa cemerlangnya Sus sebagai taruna Akabri. Sus, seperti ditulis Usamah Hisyam dalam SBY: Sang Demokrat (2004:75), “terpilih menjadi komandan divisi korps taruna saat duduk pada bulan-bulan terakhir di tingkat tiga.”
Sebelum menduduki jabatan itu, tentunya Sus sudah memperlihatkan bakat kepemimpinan sejak awal. Sebagai taruna cemerlang, bertatap muka dengan Gubernur Akabri adalah hal biasa.
Saling Bertatap Mata di Lembah Tidar
Awal 1973 menjadi salah satu hari-hari penting dalam hidup Sus. Kota Magelang yang menjadi lokasi Akabri kedatangan seorang mahasiswi jelita yang sedang berlibur. Di rumah Sarwo Edhi, mahasiswi tahun ketiga di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu menginap. Sarwo Edhie adalah papi dari mahasiswi jelita itu. Sang mahasiswi merupakan putri sulung sang Gubernur Akabri.
Liburan itu tak seperti biasanya bagi mahasiswi yang biasa disapa Ani dengan nama lengkap Kristiani Herrawati. “Kali ini ada sesuatu yang berbeda,” kenang Ani dalam autobiografinya, Kepak Sayap Putri Prajurit (2010: 165-166), yang disusun Alberthiene Endah.
Saat putri sang jenderal itu datang berlibur, kebetulan Balai Taruna— gedung yang digunakan untuk kegiatan ekstra kurikuler—di kampus Akabri diresmikan. Acara itu tentu dipenuhi para taruna calon perwira ABRI. Suasana militer adalah hal biasa bagi Ani. Itu konsekuensi jadi anak tentara. Ani tentu tahu bagaimana rasanya jadi anak kolong.
“Ketika Papi hendak menggunting pita, taruna bertubuh jangkung yang tampaknya adalah komandan itu, mendekati Papi. Aku memperhatikan siluet tubuhnya yang sangat jenjang,” aku Ani.
Berkali-kali taruna jangkung itu mondar mandir di depan mata Ani dan berhasil mencuri perhatian. Taruna cemerlang yang punya posisi penting di kalangan taruna, tak bisa jauh dari gubernur Akabri. Momen perjumpaan Ani dengan sang taruna jangkung itu ternyata berlanjut. Sang taruna itu datang ke rumah gubernur Akabri, kebetulan Ani sedang asyik di rumahnya.
“Aku terpana. Lagi-lagi sosok jangkung itu yang muncul. Karena jarak kami dekat, kali ini kedua mataku bisa lebih fokus lagi menganalisis dia. Wajahnya tampan. Atribut seragamnya, dengan tali komandan tersemat di dada, melihatnya terlihat gagah dan berwibawa,” kenang Ani.
Pada pertemuan itu akhirnya mereka berkenalan. Putri sang jenderal gubernur Akabri ini menyebutkan nama panggilannya dengan “Ani" dan taruna jangkung itu memperkenalkan diri sebagai “Bambang”.
Ani mengaku grogi saat itu. Tapi tak berlangsung lama, karena Ani harus memanggil sang Papi untuk menemui Sus. Setelah sang Papi menemui Taruna Sus, Ani mengambil posisi tak jauh-jauh dari lokasi percakapan kedua orang itu. Ani melihat Sus bicara layaknya orang terpelajar dan terpandang, tapi tetap penuh hormat dan santun. Perempuan seperti Ani suka dengan laki-laki macam itu.
Di mata Papi, Sus taruna luar biasa. Cerdas, berprestasi, dan punya bakat kepemimpinan yang bagus. Ia sosok ideal perwira masa depan di ABRI, yang tak boleh dilewatkan. Rugi rasanya bagi Ani untuk jauh dari laki-laki atletis, langsing, dan bersorot mata teduh macam Sus. Tahun itu adalah tahun terakhir Sus di Akabri. Tahun berikutnya belum tentu Ani bisa melihat Sus lagi di Magelang. Laki-laki asal Pacitan ini pun bikin hati Ani bergetar.
Menjadi Istri sekaligus Anak Tentara
Singkat kata, Ani dan Sus pun makin dekat. Sus lulus Akabri di akhir 1973. Tahun berikutnya, Sus memang tidak di Magelang. Awal 1974, ia menjalani kursus dasar kecabangan infanteri di Bandung. Setelahnya Sus jadi Komandan Peleton di Batalyon Infanteri 330 pasukan pemukul elit Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) di Cicalengka, Jawa Barat. Tahun itu juga, Ani diharuskan ikut ke Seoul oleh Papi yang diangkat jadi Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Sebelum berangkat, Ani dibuat terkejut oleh permintaan papinya.
“Ani, sebaiknya kamu bertunangan dulu dengan Bambang,” kata Papi.
Rupanya Ani tidak tahu, saat Sus diwisuda di Akabri Magelang, orang tua Sus diam-diam mendatangi Sarwo Edhi untuk lamaran. Ternyata Sarwo Edhi Wibowo sang jenderal legendaris itu menerima lamaran Sus sebagai mantunya.
Ani dan Sus menikah pada 30 Juli 1976, ketika Sarwo Edhi masih “didubeskan” di Seoul. Kisah pengantin baru ala Sus dan Ani tak seperti kebanyakan orang pada umumnya. Sebagai tentara, Sus langsung mendapat tugas meninggalkan Ani beberapa hari usai pesta perkawinan.
Mertua Sus tergolong agak dijauhkan dari lingkaran kekuasaan, meski cemerlang dan ikut berjasa dalam menaikkan Soeharto.
Ani mengaku pernah dengar omongan miring kenapa karier keperwiraan Sus terbilang lamban di zaman Orde Baru. Gosip yang beredar karena Sus adalah mantu dari Sarwo Edhi yang tidak terlalu disukai pemerintah Orde Baru. Gosip itu bikin Ani bertanya pada Sus. “Pak, apakah Bapak menyesal menikah denganku?” tanya Ani.
Dengan mantap dan tahu diri (karena hidup di zaman Orde Baru) Sus menjawab, “Sama sekali tidak. Buatku hal terpenting dalam hidup ini adalah keluarga.”
Semua tahu, Sus sangat sayang pada keluarganya. Pada Agus, Ibas, cucu-cucu, dan mantu-mantunya.
Karier militer Sus tergolong biasa saja. Dia melaluinya seperti lulusan Akabri lainnya. Jadi komandan peleton lalu Komandan Kompi. Setelah pelatihan lintas udara di Amerika, dia menjadi komandan Batalyon Infanteri 744 Udayana.
Sus belakangan dikenal sebagai perwira staf yang dianggap cerdas. Seperti diprediksi mertuanya, Sus akhirnya jadi jenderal juga. Sus memang tak sesangar kawan di Akabri yang bernama Prabowo Subianto—pernah jadi Komandan Kopassus dan Panglima Kostrad. Sus melesat jadi menteri sebelum tahun 2000 dan kala itu Prabowo sudah terpental jauh dari pemerintahan. Sedangkan Sus atau SBY sukses meraih kursi presiden sejak 2004 dan berkuasa selama dua periode. Ani pun menjadi ibu negara.
Pada 2018, usia perkawinan Sus dan Ani nyaris 42 tahun. Bukan waktu yang pendek. Mereka mencitrakan diri sebagai pasangan yang akur dan hidup tenang di rumah kebesaran mereka di Cikeas, usai berkuasa selama 10 tahun. Mereka berdua dikenal dengan sebutan "Pepo-Memo" sebagai panggilan dari anak-anaknya.
Sus dan Ani memang sudah beberapa dekade menikah, tapi gosip panas sempat muncul membidik pasangan ini. Sus alias SBY dituduh pernah menikah sebelum masuk Akabri dan bertemu Ani.
“Tuduhan itu trash dan rubbish” kata Dino Patti Djalal dalam buku Harus Bisa!: Seni Memimpin ala SBY Catatan Harian Dino Patti Djalal (2008: 209).
Kubu SBY menganggap tuduhan yang mulai beredar sejak 2007 atau dua tahun sebelum Pemilihan Presiden 2009 itu sebagai gosip murahan. Isu murahan lain yang membuat keluarga Cikeas jadi korban adalah tentang Ani beragama Kristen karena namanya Kristiani. Begitulah apa yang terjadi pada Sus dan Ani yang sudah jadi Pepo dan Memo saat ini.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra