tirto.id - Sebutan "anak kolong" sudah begitu melekat bagi mereka yang orangtuanya dari kalangan militer. Istilah anak kolong lahir dari proses yang panjang dan barangkali tak pernah terbayangkan oleh mereka yang senang dapat julukan anak kolong.
Anak kolong pada masa lalu jauh dari kesan kehidupan baik-baik bagi orang-orang moralis. Sebutan ini sudah ada sejak era Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL) alias Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Sebuah angkatan darat kolonial yang eksis sejak 4 Desember 1830 hingga 26 Juli 1950. Sekitar 75 persen anggotanya adalah orang-orang Indonesia dari berbagai suku di Indonesia seperti Jawa, Ambon, Minahasa, dan lainnya.
Di masa kolonial, sebutan anak kolong belum seumum sekarang. Pada masa itu, sebutan anak kolong hanya ditujukan kepada anak-anak serdadu rendahan, alias anak serdadu yang berpangkat di bawah kopral seperti soldaat, fuselier atau infanteris. Intinya, anak kolong adalah serdadu-serdadu bergaji paling cekak se-Hindia Belanda.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) terbitan Modern English Press Jakarta, anak kolong adalah istilah kasar untuk “anak serdadu yang terlahir di tangsi (di markas) pada zaman Hindia Belanda.” Definisi serupa juga terdapat dalam www.kbbi.kata.web.id.
Kisah dalam novel Burung-burung Manyar karya Romo Mangunwijaya menceritakan seorang anak Letnan yang merasa dirinya jadi anak kolong karena pergaulannya dengan anak-anak serdadu bawahan anak buah ayahnya.
“Pernah dengar anak kolong? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli totok. Garnisun divisi II Magelang (ucapkan: MaKHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan, aku sudah bilang: totok. Jadi KNIL,” kata Teto alias Setadewa, karakter dalam novel tersebut.
Teto adalah seorang anak dengan ayah berpangkat Letnan Jawa-Ningrat dengan ibu Belanda. “Papi suka hidup bebas model Eropa dan barangkali itulah sebabnya juga, ibu kandungku seorang nyonya yang, menurut babu-babu pengasuhku, totok Belanda Vaderland sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak percaya. Itu akibat kesalahan kawan-kawan sepermainan adat itu; yang blak-blakan sering mengindoktrinasi bahwa aku ini anak Jawa inlander belaka. Sama seperti mereka.”
Bagaimana kehidupan anak kolong, Romo Mangunwijaya cukup baik menggambarkannya. Teto, bersama anak serdadu yang pangkatnya lebih rendah dari ayahnya, “berenang di selokan tangsi telanjang bulat dong! Masakan pakai celana beledu dan topi matrus (pelaut) yang airnya lezat berwarna coklat “van houten’s cacao”, segar dan nyaman menghanyutkan (pakaian diikat di atas kepala) melalui Kampung Bogeman, terus ke Pecinan dan muncul di jembatan di muka Pasar Besar.”
Hal itu hanya dilakukan anak-anak dari kalangan militer kelas bawah. Setelah berenang, biasanya mereka “lalu cepat berpakaian, tentunya serba setengah basah dan sipat kuping mengejar, lalu hati-hati membonceng di belakang 'montor tai', yakni mobil tangki kota praja yang di mana-mana menyedot tinja dari tangki-tangki septik WC umum.”
Romo Mangunwijaya menggambarkan bagaimana rombongan anak-anak kolong itu bertemu ayah-ayah mereka yang jadi serdadu yang berbaris dengan tambur dan terompet—yang bagi mereka: heibat. Mereka bernyanyi, “Dreng! Dereng… dereng dendeng! Nanti makan dendeng celeng! Si Pak Kopral muka bopeng! Si Mbok Kopral kulit srundeng! Dreng! nDereng-dereng Dendeng!”
Lahirnya Anak Kolong
Pada masa penjajahan Belanda, sebutan anak kolong hanya untuk anak serdadu rendahan. Ini dikarenakan anak-anak itu umumnya harus tinggal di dalam tangsi, tak seperti Sersan yang boleh tinggal di bedeng dekat tangsi.
Kehidupan mereka tak seperti kehidupan anak tentara sekarang. Tak ada rumah dinas. Serdadu-serdadu bawahan biasa tinggal di dalam tangsi berserta keluarganya. Tak ada tempat tidur yang nyaman untuk anak-anak serdadu itu.
Sempitnya tangsi, membuat para serdadu hidup dalam bilik-bilik sempit yang hanya cukup untuk dua orang dewasa. Untuk serdadu dan pasangannya, yang belum tentu berstatus istri, ada dua tempat tidur. Bentuknya semacam panggung dengan kolong di bawahnya. Jika hanya ada satu bilik tempat untuk dua orang, yang seukuran ranjang, serdadu-serdadu yang punya anak pun akan membiarkan anaknya tidur di bawah kolong.
Di sini lah istilah itu berawal, dari anak-anak serdadu yang tidur, juga bermain, di bawah kolong. Bila merujuk sejarahnya, tentu saja yang bukan anak serdadu rendahan di bawah kopral, tak layak disebut anak kolong. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak serdadu bawahan punya rumah dan istilah anak kolong pun diberlakukan kepada semua anak tentara. Anak sersan, anak letnan bahkan anak jenderal pun dapat julukan anak kolong.
Kehidupan seksual serdadu-serdadu KNIL di tangsi juga dianggap liar, terkait adanya istri atau pasangan yang kadang bisa tidur dengan siapa saja. Menurut kesaksian seorang mantan perwira KNIL, S.E.W Roorda, seperti ditulis Frances Gouda dalam Dutch Cultere Overseas: Colonial Practice in the Netherland Indie 1900-1942 (2007), “dalam sebuah ruangan besar, ratusan prajurit tidur bersama gadis atau pembantu rumah tangga mereka di tempat tidur, yang bahkan tidak dipisahkan oleh tirai satu dengan yang lain, mereka bercinta, di hadapan penghuni lainnya.” Dari sini potensi penyakit kelamin di kehidupan tangsi jadi sebuah masalah.
- Baca juga: Penyakit Kelamin di Kalangan Serdadu
Kehidupan macam itu melahirkan banyak anak haram. Ada yang dibuang ke panti asuhan legendaris Pa van der steur. Ada pula yang ikut ibunya. Dari yang ikut ibunya itu, ada yang tahu siapa bapaknya, ada juga yang tidak. Mereka yang tak tahu bapaknya itu ada di dalam tangsi karena ibunya hidup bersama serdadu lainnya lagi. Soal bocah macam ini, Abdul Haris Nasution menceritakan pengalaman kawan perwiranya yang menemukan bocah semacam itu.
“Pernah Kartakusumah repot dengan anak-anak yang buang air kecil di pekarangan saja “siapa bapaknya?” hardiknya berkali-kali, namun tetap saja anak-anak menjawab: tidak tahu. Rekan itu kehabisan kesabaran, waktu itu ia sedang bertugas sebagai komandan jaga,” aku Abdul Haris Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1982).
Kini, kehidupan tentara setelah Indonesia merdeka, jauh berbeda. Kisah perempuan yang hidup dengan bergonti-ganti pasangan di tangsi adalah masa lalu.
- Baca juga: Para Istri Tentara Berhimpun di Organisasi
Badungnya Anak Kolong
Kehidupan anak-anak kolong pada masa pemerintahan Belanda juga punya warna tersendiri. Pemerintah kolonial terbilang peduli pada pendidikan rendah anak-anak kolong, seperti pemerintah Belanda peduli pada pendidikan anak-anak priyayi atau pembesar pribumi.
Setidaknya untuk anak-anak kolong asal Ambon ada sekolah bernama Ambonschool, yang menurut I.O. Nanulaitta, dalam Timbulnja Militerisme Ambon (1966), berdiri pertama di Magelang—salah satu kota militer di Indonesia yang ternyata sudah ada sejak zaman kolonial. Berdasar keputusan Nomor 20 pada 2 Februari 1879. Tentu saja itu hanya sebagian anak kolong saja yang bisa menikmati sekolah berbahasa Belanda.
- Baca juga: Sekolah-sekolah di Zaman Belanda
Budaya keras anak-anak kolong dari tangsi kerap terbawa di sekolah. Pada umumnya anak-anak kolong sangat nakal, kurang sopan, kasar, tak takut berkelahi dan hanya mau tunduk pada apa yang lebih kuat dari mereka. Mereka seolah merasa butuh didikan keras. Biasanya, mereka hanya tunduk pada guru-guru tertentu saja. Selain itu si guru haruslah dekat dengan orang terpandang. “Siapa kuasai Oom dia kuasai murid.”
- Baca juga: Ironi Etika Tangsi
- Baca juga: Kisah Anak Kolong Jadi Garong
Bila menilik sejarah, nakalnya anak kolong selama beberapa dekade terakhir seolah menjadi hal yang maklum. Selain Henky yang terkenal, karena masuk ke dunia musik dan hiburan Tanah Air, adalah Bangun Sugito Tukiman alias Gito Rollies. Ayahnya adalah Kapten TNI. Kerasnya watak anak-anak kolong dari tangsi KNIL membuat mereka mudah diajak ribut. Seperti mantan serdadu-serdadu Belanda yang terlibat dalam Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Setidaknya, dua pemimpin militer penting RMS kelahiran Jawa, karena ikut orangtuanya berdinas. Apapun pekerjaan ayah mereka, ketika ke gereja atau acara keluarga, mereka akan bertemu pula anak-anak kolong. Dantje Jacob Samson, menurut catatan Jusuf Puar dalam buku Peristiwa Republik Maluku Selatan (1956), terlahir di Magelang, Jawa Tengah (1908). Begitu pun Thomas Nussy juga terlahir di Ngawi, Jawa Timur (1917).
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra