tirto.id - Henky Tupanwael dilahirkan di Ende, Flores, 17 Agustus 1932. Ayahnya, Jacob Mathias Tupanwael, adalah seorang anggota Koninklijk Nederlandsche Indische Lager (KNIL). Henky kecil tumbuh di dunia anak kolong yang keras. Di zaman kolonial, anak-anak kolong dari KNIL Ambon kerap diidentikkan dengan kegarangan.
“Pada tanggal 22 Agustus 1944, taktala (Kusni) Kasdut masih berkelana di terminal bis sebagai anak haram, Henky sudah menyelesaikan satu tugas kriminal ketika dia menembak mati seorang polisi militer dengan pistol dan ditangkap, ditahan dan dipenjarakan di penjara anak-anak di Tangerang,” tulis Daniel Dhakidae dalam Menerjang Badai Kekuasaan (2016).
Tahun 1944 menjadi tahun-tahun sulit bagi keluarga eks KNIL Ambon karena tekanan bala tentara Jepang yang mengusai Indonesia sejak 1942 hingga 1945. Polisi Militer di zaman itu adalah polisi militer Jepang yang disebut Kenpeitai yang terkenal kejam.
Siapapun yang coba-coba melawan militer Jepang, mereka tak segan untuk membunuh. Jika benar pembunuhan itu dilakukan tahun 1944, seperti ditulis Daniel, kira-kira Henky melakukan sesuatu yang mirip dilakukan Supriyadi dalam Pemberontakan PETA Blitar: membunuhi orang Jepang. Belakangan, Supriyadi dinyatakan hilang dan Henky hanya dipenjara.
Tapi, penjara tak membuat kehidupan Henky menjadi lebih baik. Kejahatan Henky semakin menjadi-jadi setelahnya. “Pada tahun 1957, ketika berumur 25 tahun, kejahatannya mulai meningkat dengan merampok Bank Ekonomi Nasional di Bandung,” tulis Daniel. Untuk kejahatannya itu, Henky diganjar 4 tahun 6 bulan.
Seperti halnya Kusni Kasdut, legenda residivis yang sezaman dengannya, Henky juga terbiasa melarikan diri dari penjara. Penjara-penjara di zaman Orde Lama punya banyak celah untuk kabur, bagi orang-orang macam Henky Tupanwael atau Kusni Kasdut.
Henky kabur di tahun 1963, dari penjara Banceuy, Bandung. Di luar penjara, Henky menggila. Tak tanggung-tanggung, rumah seorang hakim di Bandung dia satroni dalam misi sebuah penggarongan. Tentu saja aparat hukum mengejarnya dan menangkapnya. Setelahnya, Henky dikirim ke Nusakambangan. Penjara ini dianggap sebagai Alcatraz-nya Indonesia. Hanya segelintir orang saja yang bisa kabur dari pulau tersebut dengan selamat.
Semestinya Henky harus mendekam di sana 11 tahun. Namun, penjara sesangar apapun rupanya tak mampu mengisolasinya. Tak sampai setahun, dia kabur. Dia berenang menyeberangi Segara Anakan untuk mencapai Jawa. Karena menyebrangi dua pulau itu bukan hal mudah, nama Henky pun jadi makin sohor dan melegenda. Henky termasuk segelintir orang yang bisa kabur dari penjara tersangar di Indonesia itu.
Jonny Sembiring, juga mantan residivis, juga mengenal Henky ketika di penjara. Dalam Johnny Sembiring: antara Tembok dan Tuhan (1987), ia bercerita soal Henky. “Pakaian yang melekat di badannya hanya sepotong celana dalam,” kata Jonny.
Di Jakarta, sekabur dari Nusakambangan, Henky kembali bergabung dengan teman-temannya. Dia merampok Bank Nusantara, yang membuatnya meraup uang berjumlah Rp21 juta lebih. Dalam aksinya itu, dua orang terbunuh. Henky kemudian tertangkap, namun berhasil kabur lagi selama 13 hari. Henky diringkus kembali di Tanah Abang, Jakarta.
Setelahnya Henky tak kabur lagi. Pada 1966, Henky diadili. Hakim persidangan bernama Thamrin Manan, yang menghakimi Henky sendirian tanpa disertai anggota majelis hakim.
Ketika dibawa ke ruang sidang, para penjaga yang menggiring Henky rupanya lupa membawa kunci borgol yang mengekang tangan Henky. Padahal, Thamrin berprinsip sidang tak akan berjalan dengan terdakwa yang diborgol. Demi kelancaran sidang, Henky pun mendemonstrasikan "kemampuan sulapnya": melepas sendiri borgolnya tanpa kunci di muka pengadilan.
Di hari itulah vonis mati dijatuhkan buat si anak kolong. Setelah sidang itu, di tahun 1969, Hakim Thamrin mundur dari profesinya dan menjadi pengacara di Jakarta.
Henky tak dipenjarakan di Nusakambangan lagi menjelang eksekusi matinya. Dia dibui di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, penjara yang memungkinkan Henky kabur. Namun, dia tak kabur.
“Bagi anak saya, melarikan diri dari penjara sesuatu yang mudah,” kata pendeta Jacob Mathias Tupanwael kepada jurnalis Tempo di awal tahun 1980, di Bandung. Ketika itu, ia baru pulang menjenguk Henky.
Tak lupa Jacob mengancam: “Bila melarikan diri, (dari penjara terakhir) yang menembak bukan polisi, tapi saya sendiri, ayahnya.”
Di mata Jacob, Henky adalah anak penurut, baik hati, periang, dan suka menolong. Hasil jarahannya tak dimakan sendiri. Mirip Robin Hood. Kata sang ayah, dia pernah ikut menyumbangkan uangnya untuk kegiatan sosial.
Di rumah, Henky tentu bisa diarahkan sayang ayah, tapi tidak di luar rumah. “Lingkungan pergaulannya di luar ternyata menyebabkan Henky jadi orang jahat,” kata Jacob, “kelemahan saya, sebagai ayah, tidak tahu dengan siapa ia bergaul.”
Sejak usia belasan tahun, Henky sudah tidak di rumah. Dia lebih banyak menghabiskan masa mudanya di penjara, sehingga ia berkawan dengan orang-orang yang kehidupannya suram. Selain soal kenekatan dan hal-hal terkait aksi kriminal, Henky juga belajar ilmu kebal di dalam penjara. Bahkan, tanah di tiang eksekusi tembaknya pun dipenuhi daun kelor yang dianggap sebagai penangkal ilmu kebalnya.
Menjelang hukuman matinya, menurut sang ayah, Henky sudah bertobat selama belasan tahun. Sebelum dieksekusi, Henky mengucapkan ini kepada petugas penjara: “Bila orang mencapai surga dengan kebaikan, biarlah saya mencapai dengan jalan kejahatan.”
Akhirnya, Henky menghadap regu tembaknya pada pada 5 Januari 1980. Ia dijemput dari selnya subuh pukul empat. Berkemeja dengan kancing yang salah terpasang dan beralaskan sandal jepit, tubuh Henky nan gempal diikatkan di tiang, matanya ditutup kain merah. Tubuhnya roboh di bumi beralaskan daun kelor setelah diterjang peluru-peluru regu tembak.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani