tirto.id - Ia yang kemudian dikenal sebagai Kusni Kasdut, lahir di Blitar pada 1929. Masa kecilnya, seperti tertulis dalam buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1981), lebih banyak dihabiskannya di terminal.
“Di masa kecilnya ia berkeliaran di terminal bis-kota Malang. Ia menjajakan rokok dan permen kepada para penumpang bis yang baru datang. Ibunya hidup menderita. Tinggal di daerah miskin Gang Jangkrik, Wetan Pasar, Malang."
Kusni tidak tahan hidup di rumah tanpa melakukan apapun selain diberi makan. "Ia merasa di rumah, dihimpit tentang asal-usul dirinya yang ia sendiri tidak tahu... Hal itu mendesaknya untuk berontak,” tulis Saiful Rahim dalam biografi tentang Kusni: Perjalanan Hidup Kusni Kasdut (1980). Mengenai keluarganya, Kusni merasa dia hanya memiliki ibu saja di dunia ini. Ayahnya tak jelas.
Saat ia dewasa, ia terlibat Perang Kemerdekaan (1945-1949) melawan tentara Belanda. Laki-laki yang kerap dijuluki Kancil ini adalah salah satu yang terlincah dalam mencari dana untuk revolusi.
Ia berjuang di sekitar front Jawa Timur. Penderitaan akibat menjadi pejuang yang melawan militer Belanda yang kuat dan ganas pun dirasakannya. Ia pernah kena tembak di kaki dan dipenjara oleh Belanda. Semua itu dilakukannya demi Republik Indonesia.
Menurut James Siegel, selama revolusi, pria yang kemudian dikenal dengan nama Kusni Kasdut ini menyumbang tenaga dengan cara merampok orang-orang Tionghoa dan membagikan hasil jarahannya pada mereka yang terlibat dalam revolusi.
“Kusni, konon, tak tahu menahu dan tak mau tahu nasib hasil jarahannya. Ia menyumbangkan puluhan juta bagi revolusi,” kata Siegel dalam bukunya Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Kejahatan Politik dan Kejahatan (2000).
Setelah revolusi usai, Kusni ingin masuk korps militer. Namun luka tembak di kaki menjadi alasan bagi pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menolaknya. Selain itu, Kusni juga tidak resmi terdaftar dalam kesatuan milisi pro-Republik.
Tak bisa jadi tentara, tak ada pekerjaan yang bisa menghidupinya padahal ia sudah menikah, Kusni kemudian terjerumus ke lembah hitam. Bersama teman-temannya. Mohamad Ali alias Bir Ali, juga Mulyadi dan Abu Bakar, mereka membikin kelompok perampok. Husni didaulat sebagai pemimpin geng mereka.
Kusni kembali merampok. Jika sebelum 1950 ia merampok demi republik, kali ini ia menjadi perampok untuk hidupnya.
Ia merampok seorang hartawan Arab bernama Ali Badjened pada 11 Agustus 1953. Sang hartawan, yang hendak melawan, terbunuh oleh aksi komplotan Kusni ini.
Aksi geng rampok Kusni selanjutnya yang tak terlupakan adalah perampokan Museum Nasional Indonesia alias Museum Gajah yang di Merdeka Barat, Jakarta. Letaknya tak jauh dari Kantor Kementerian Pertahanan dan tak jauh dari Istana Merdeka, tempat tinggal Presiden Sukarno.
Dengan menyamar sebagai polisi dan memakai Jeep, Kusni dan gengnya memasuki museum pada 31 Mei 1961. Dalam aksinya yang mirip adegan film itu, para perampok menyandera pengunjung. Seorang petugas di museum ditembak dan komplotan Kusni berhasil kabur. Alhasil, 11 butir berlian berhasil digondol. Kusni pun jadi buronan lagi.
Bergelimang hasil rampokan bukanlah hal baru bagi Kusni. Tapi ini berlian. Agak sulit menjualnya. Ketika hendak menjual beberapa butir berlian itu di pegadaian, petugasnya curiga dan melapor ke polisi karena ukurannya tak biasa.
Kusni pun akhirnya tertangkap. Dia kemudian dipindahkan dari satu penjara ke penjara lain. Pengadilan Semarang, pada 1969 menjatuhkan vonis mati. Selama jeda menanti eksekusi, berkali-kali Kusni kabur dari penjara. Setidaknya 8 kali dia kabur dari penjara. Terakhir, Kusni kabur pada 10 September 1979. Namun, dia berhasil tertangkap lagi pada 17 Oktober 1979.
Sebelum eksekusi, Kusni sempat mengajukan grasi. Namun berdasar Surat Keputusan Presiden No. 32/G/1979 tertanggal 10 November 1979, Presiden Soeharto menolaknya. Maka, ia pun dieksekusi pada 16 Februari 1980.
Revolusi 17 Agustus 1945 sempat membuat Kusni Kasdut jadi pahlawan untuk sementara waktu, tapi ia kemudian jadi buronan nomor satu. Hidupnya berakhir di tangan-tangan regu tembak negara.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani