Menuju konten utama

Istri-Istri Tentara Pun Berhimpun dalam Organisasi

Di zaman kolonial, tentara pemerintah kerap hidup bebas. Setelah kemerdekaan, kehidupan seksual anggota TNI harus tertib (menikah), bahkan istri tentara pun berorganisasi.

Istri-Istri Tentara Pun Berhimpun dalam Organisasi
Dokumentasi seorang istri anggota Batalion Infantri 711/Raksatama Brigade Infantri 22/Otamanasa menyaksikan suaminya menggendong anak mereka saat akan menaiki pesawat C-130 Hercules di Pangkalan Udara TNI AU Mutiara, Palu, Sulawesi Tengah. ANTARA FOTO/Basri Marzuki

tirto.id - Menilik gaya hidup seksual banyak serdadu KNIL zaman kolonial yang tak sehat, kehidupan keluarga dan seksual prajurit TNI setelah Indonesia merdeka sangat dijaga. Tak boleh ada kehidupan seks liar ala tangsi seperti pernah disinggung R.P. Suyono dalam bukunya Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003). Sebab, keliaran seksual mengakibatkan masalah fatal: penyakit kelamin menjangkiti tentara.

Dalam aturan Delapan Wajib TNI, terdapat butir ketiga yang berbunyi: “Menjunjung tinggi kehormatan wanita.” Pemecatan juga diberlakukan bagi prajurit-prajurit yang berzina. Jika ingin seks, mereka harus menikah.

Para istri tentara pun turut serta dalam perkumpulan ibu-ibu tentara yang dikenal dengan Persatuan Istri Tentara (Persit). Semula, ada beberapa organisasi istri tentara. Menurut catatan kowani.or.id, Ada Persatuan Istri Tentara (PIT) yang diketuai oleh Ny. Suhadi di Serang dan satu lagi di Malang yang diketuai Nyonya Lasmidar. Satu lagi adalah Persatuan Kaum Ibu Tentara (PKIT) yang didirikan oleh Ratu Aminah.

“Di Purwakarta, tepatnya di rumah kami, di tepi Situ Buleud itulah Ibuku, Ratu Aminah Hidayat pada tanggal 3 April 1946 mendirikan Persatuan Kaum Ibu Tentara (PKIT), cikal-bakal Persit Candra Kirana,” tulis Dewi Rais Abin—putri dari Ratu Aminah—dalam bukunya Hidayat: Father, Friend, and a Gentlemen (2016).

Dewi mencatat pengurus-pengurus PKIT antara lain “Ibu Danukusumah seorang wanita asal Minahasa, Ibu Sumarna (istri komandan resimen di Purwakarta), Ibu Gerda Mokoginta, dan Nani Abdul Kadir. Sedangkan Ibu Marie Didi Kartasasmita yang waktu sedang hamil tua menjadi penasehat.”

Soal ide pendirian PKIT itu, “menurut sumber dari ibu-ibu itu […] bermula dari ibuku sendiri,” aku Dewi. Dari pengakuan ibunya, Dewi mencatat: “PKIT pada saat itu […] ingin membantu perjuangan di garis belakang dengan kemampuannya sesuai dengan keadaan dan kondisi saat itu.” Para perempuan ini, setidaknya, membantu PMI dan rumah sakit.

Beberapa bulan setelah PIKT dibentuk, pada 15 Agustus 1946, diadakan pertemuan organisasi-organisasi yang menghimpun ibu-ibu tentara. Bersama yang lain PKIT pun jadi Persatuan Istri Tentara, namun bukan PIT, tapi Persit. Organisasi para istri prajurit Angkatan Darat ini juga sempat berganti-ganti nama, seperti halnya banyak organisasi lain.

Menurut kowani.or.id, dalam kongres di Semarang pada 25-27 Oktober 1950, nama Persatuan Istri Tentara diubah menjadi Persaudaraan Istri Tentara. Namun, singkatannya tetap Persit. Tanggal didirikannya PKIT, 3 April, juga ditetapkan menjadi hari jadi Persit. Kala itu Ratu Aminah masih jadi pemimpinnya. Nama organisasi kemudian berganti lagi dalam sebuah Kongres Darurat 2 Desember 1964 menjadi Persatuan Istri Prajurit Kartika Chandra Kirana (Persit KCK).

Pemimpinnya dijabat oleh istri pimpinan Angkatan Darat. Organisasi ini lalu dikenal sebagai Persit Chandra Kirana. Angkatan lain pun punya organisasi semacam ini. Ada Jalasenatri di Angkatan Laut, PIA Ardhya Garini di Angkatan Udara, dan Bhayangkari di Kepolisian.

Keberadaan organisasi istri tentu makin mengeratkan hubungan antara anggota satu dengan lainnya, termasuk di kalangan perwira. Tak heran jika Ibu Tien Suharto bisa dekat dengan istri Gatot Subroto atau jenderal-jenderal lainnya. Beredar cerita miring, kedekatan antar-istri pun bisa mempengaruhi karir suami.

Meski terdiri dari orang-orang di luar PKIT, Persit hingga kini mengenang Ratu Aminah Hidayat sebagai pelopor. Tiap 3 April, Hari Persit, makam Aminah selalu dikunjungi ibu-ibu pimpinan Persit.

Seingat Dewi, di rumahnya di Purwakarta itu beberapa ibu-ibu tentara berkumpul dan menyulam sehelai kain hijau dengan ayat-ayat Al Quran. Kain hijau itu menjadi penutup keranda pejuang yang gugur. Ibu-ibu tentara binaan Aminah hampir tiap hari mengunjungi Rumah Sakit Purwakarta. Mereka membawa sabun, sikat gigi, sarung, selimut, atau makanan. Rumah sakit itu penting bagi pejuang Republik di tahun 1946-1947, ia menjadi pelengkap garis depan melawan tentara Belanda.

infografik persit

Aminah terlibat di Persit karena dia adalah istri Hidayat Martaatmadja, salah seorang komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawa Barat. Namun, Dewi adalah anak tiri Hidayat—yang sepenuhnya merasa Hidayat sebagai ayah yang bersahabat. Sebelum menikahi Aminah pada 1941, menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1989), Hidayat adalah Letnan KNIL lulusan Akademi Militer Breda Belanda.

Setelah Indonesia merdeka, Hidayat enggan ikut KNIL lagi. Jenderal Hidayat selama hidupnya sempat jadi Menteri Pos dan Pariwisata pada akhir era Sukarno dan Duta Besar di awal orde baru.

Hidayat, yang 10 tahun lebih muda dari Aminah, adalah sosok pendiam. Aminah yang pengagum Sukarno, setelah tak di Persit, pernah menjadi ketua partai veteran perang kemerdekaan, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Seperti ibunya, Dewi pun dinikahi seorang perwira yang belakangan jadi Jenderal, Rais Abin. Dewi sendiri kemudian menjadi bagian dari Persit.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani