tirto.id - Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pergi kuliah ke luar negeri, tepatnya ke Kairo, Mesir. Pada 1963, Gus Dur berangkat menuju universitas tertua di dunia, Al-Azhar.
Sayangnya, ia tidak puas dengan pelajaran yang diterimanya di sana. Beberapa pelajaran adalah bahasa Arab dan pendidikan agama Islam yang, baginya, terasa sia-sia. Untuk apa jauh-jauh ke Mesir hanya untuk belajar hal yang sudah dipelajari selama di pesantren?
Pada akhirnya, tiga tahun kemudian, Gus Dur “kabur” ke Baghdad, Irak. Mendapatkan beasiswa di Universitas Baghdad, Gus Dur mengikuti perkuliahan sampai 1970. Di sinilah, selama tiga tahun pertama, Gus Dur tinggal bersama-sama dengan para mahasiswa Indonesia yang juga tinggal di Baghdad.
Gus Dur mengontrak sebuah rumah bersama 19 mahasiswa lainnya. Gus Dur hidup lumayan berkecukupan karena selalu menerima uang beasiswa. Itu belum termasuk penghasilan dari kerja paruh-waktu yang biasanya akan mendapatkan upah lumayan.
Seperti yang dikisahkan Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2008: 106-108), para mahasiswa ini hidup dengan mengumpulkan iuran untuk membayar sewa tempat tinggal sekaligus untuk biaya kehidupan sehari-hari. Biaya itu, di antaranya, listrik dan air, juga printhilan-printhilan sebagainya.
Selain itu, karena ada 20 orang mahasiswa dalam satu atap, maka, selain mengenai iuran, setiap orang akan mendapat giliran masak setiap 20 hari sekali. Uniknya, ke-19 orang teman-teman Gus Dur selalu menanti jika giliran masak jatuh ke Gus Dur. Sebab hanya Gus Dur yang akan memasak sesuatu yang spesial: yakni kepala ikan kuah kari.
Tentu saja ke-19 teman Gus Dur menduga bahwa Gus Dur merupakan keluarga orang yang sangat kaya dan dermawan. Sebab, membeli ikan setiap jatah masak yang disajian untuk 20 orang jelas merupakan pengeluaran yang cukup besar. Apalagi ini diberikan kepada orang lain dan bukan dimakan sendiri.
Usut punya usut, pada awal masa Gus Dur datang ke Irak, Gus Dur tahu bahwa dalam tradisi Irak, masyarakat Irak ternyata tidak pernah makan kepala ikan. Tidak ada penjelasan pasti kenapa orang Irak tidak makan kepala ikan. Hal inilah yang membuat kepala ikan selalu dibuang begitu saja atau untuk makanan anjing.
Kenapa hanya Gus Dur yang tahu ini? Sebab, Gus Dur senang bergaul dengan beberapa mahasiswa asing sekaligus penduduk setempat. Inilah yang memungkinkannya lebih dalam memahami kebiasaan orang-orang lokal.
Keengganan menyantap kepala ikan bagi Gus Dur sangat aneh. Dibesarkan dengan mentalitas masyarakat Indonesia yang bisa memanfaatkan setiap bagian dari tubuh hewan jadi santapan yang lezat, tentu saja yang dilakukan orang-orang Irak ini sangat disayangkan.
Menyadari hal ini, maka ketika mendapati jatah awal untuk menyajikan masakan bagi 20 orang di rumah kontrakannya, Gus Dur mendatangi toko ikan cukup besar di pasar.
“Bisakah saya minta kepala ikannya, Tuan?” tanya Gus Dur.
Si pemilik toko awalnya tidak memerhatikan, tapi mendengar bahwa anak muda asing ini bilang “kepala ikan” si pemilik toko langsung tertarik. “Boleh saja. Kamu minta berapa?” tanya Pemilik Toko.
Mendengar itu Gus Dur senang bukan kepalang, lalu menjawab begitu cepat, “Dua puluh kepala ikan, Tuan.”
Pemilik toko tentu saja terkejut. “Untuk apa kepala ikan sebanyak itu?” tanya pemilik toko. Belum pernah sebelumnya ada orang meminta kepala ikan, terlebih meminta sebanyak itu.
Gus Dur tentu saja bingung ditanya demikian. Dengan ragu-ragu Gus Dur pun menjawab, “Eee, saya memelihara anjing,” kata Gus Dur yang ingat bahwa memang hanya itu alasan paling rasional di Baghdad ketika ada orang minta kepala ikan.
“Memangnya kamu memelihara anjing berapa banyak?” tanya pemilik toko.
“Dua puluh, Tuan,” kata Gus Dur sambil menahan tawa.
“Baiklah,” kata pemilik toko setuju. Sebelum Gus Dur pulang, si pemilik toko malah berpesan kepada Gus Dur, “Besok lagi kalau kamu butuh kepala ikan, datang dan ambil saja,” katanya.
Akhirnya, setiap 20 hari sekali Gus Dur selalu mendatangi toko tersebut dan akan mengambil 20 kepala ikan untuk dimasak jadi kari kepala ikan. Tentu saja pemilik toko merasa senang karena ada seseorang yang sukarela mau membersihkan “limbah” usahanya.
Dengan masakan yang hampir gratis ini (tentu saja untuk bumbunya Gus Dur tetap harus membeli), teman-teman satu kontrakan selalu menyukainya. Hal inilah yang, menurut pengakuan Gus Dur dalam biografinya, berlangsung lebih dari satu tahun. Satu tahun menjadi “anjing” peliharaan Gus Dur dan satu tahun makan limbah orang Irak.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS