Menuju konten utama
Mozaik

I'tikaf Lebih dari Sekadar Berdiam Diri di Masjid

Betapa pentingnya i'tikaf dalam Islam, sehingga digolongkan sebagai Sunnah Mu'akkad atau sunah yang sangat dianjurkan. 

I'tikaf Lebih dari Sekadar Berdiam Diri di Masjid
Header Mozaik Sejarah dan Filosofi I'tikaf: Lebih dari Sekadar Berdiam di Masjid. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Dalam khazanah praktik spiritual Islam, terdapat ibadah yang unik bernama i'tikaf. Lebih dari sekadar tindakan fisik berdiam diri di masjid, i'tikaf merupakan sebuah pengasingan yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah yang khusyuk di dalam masjid.

Praktik ini terutama dianjurkan selama bulan suci Ramadhan, khususnya pada sepuluh hari terakhir.

Jejak I'tikaf dari Masa ke Masa

Sebelum mencapai kenabian, Nabi Muhammad kerap mengasingkan diri di Gua Hira yang terletak di Jabal Nur dekat Makkah. Ia melakukannya sebagai bentuk perenungan dan pencarian kebenaran, menjauhkan diri dari keramaian dan kebisingan kehidupan duniawi untuk merenungkan ciptaan Allah.

Selama berdakwah dan membimbing saudara serta sahabatnya di Makkah, Nabi mendapat berbagai tekanan hingga akhirnya harus hijrah ke Madinah.

Di Madinah, di masjid-masjid yang ia dirikan, Nabi kerap beri'tikaf yang biasanya dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Secara bahasa, i'tikaf berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘akafa (عَكَفَ), yang memiliki makna dasar "berdiam diri, menetap, melekat pada sesuatu, atau mengikatkan diri pada sesuatu". Dalam konteks ibadah, makna leksikal ini mengisyaratkan adanya sebuah dedikasi yang mendalam terhadap Allah.

Seseorang yang beri'tikaf tidak hanya secara fisik berada di masjid, tetapi juga secara mental dan spiritual mengikatkan diri pada ibadah dan ketaatan kepada-Nya.

Imam Nawawi seperti disampaikan Ahmad Abdurrazaq Al-Kubaisi dalam I’tikaf: Penting dan Perlu (1994:23) mendefinisikan i’tikaf dengan menetapnya seorang dalam masjid dengan disertai niat khusus. Definisi yang kemudian diikuti oleh ulama mazhab Syafi’i lainnya di kemudian hari.

Sementara para ulama mazhab Hambali menyebut i'tikaf sebagai suatu bentuk menetap dalam masjid dengan dibarengi niat beri'tikaf sambil melakukan amal ibadah kepada Allah. Lalu Ibnu Najjar mendefinisikannya dengan menetapnya seorang muslim yang tidak junub dan berakal sehat, dalam masjid sekalipun sejenak dengan maksud melakukan amal ibadah sesuai tata cara dan sifat-sifat yang telah ditentukan.

Makna ini menunjukkan bahwa esensi i'tikaf terletak pada komitmen internal untuk beribadah dan menjauhi hal-hal duniawi yang dapat mengganggu konsentrasi. Legitimasi praktik i'tikaf berakar kuat dalam Al-Qur'an, salah satunya surat Al-Baqarah ayat 187:

"Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid.”

IKTIKAF AKHIR RAMADHAN DI ACEH

Umat Islam melaksanakan iktikaf melaksanakan shalat sunah saat iktikaf Ramadhan di Masjid Al-Makmur, Banda Aceh, Aceh, Selasa (4/5/2021). ANTARA FOTO / Irwansyah Putra/aww.

Sedangkan dalam surat Al-Imran ayat 35 dan seterusnya, terdapat cerita Nabi Zakariya dan Siti Maryam yang mempraktikkan i’tikaf. Bahkan, i’tikaf menjadi salah satu syariat yang dibebankan pada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sebagaimana tergambar dalam surat Al-Baqarah ayat ke-125:

"Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang rukuk, dan yang sujud.”

Beberapa ayat di atas menjadi dasar i'tikaf sebagai sebuah ibadah dalam Islam. Selain itu, banyak hadis yang meriwayatkan praktik i'tikaf yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.

Istri Nabi, Siti Aisyah, meriwayatkan bahwa Rasulullah selalu beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat, dan istri-istrinya pun melanjutkan ibadah ini.

Konsistensi Nabi dalam melakukan i'tikaf menunjukkan betapa pentingnya ibadah ini dalam Islam, sehingga digolongkan sebagai Sunnah Mu'akkad atau sunah yang sangat dianjurkan ulama dari berbagai mazhab. Bahkan, Nabi pernah mengganti i'tikaf yang terlewat pada bulan Ramadhan di bulan Syawal.

Lebih dari Sekadar Ritual

I'tikaf memiliki kemiripan dengan praktik kontemplatif dalam agama lain atau konteks sekuler, seperti meditasi atau retret spiritual. Namun, i'tikaf memiliki karakteristik unik yang berakar pada teologi dan praktik Islam, seperti fokus pada ibadah dan pencarian Malam Lailatulqadar.

Niat menjadi elemen krusial dalam i'tikaf, yang menunjukkan bahwa tindakan ini bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi juga tindakan yang disadari tanpa paksaan. Lain itu, mengonsumsi sedikit makanan, mengurangi tidur, menjauhi obrolan, dan menghindari interaksi tak perlu, merupakan praktik lazim yang dianjurkan saat i’tikaf.

Dengan konsentrasi diri pada ibadah di lingkungan masjid yang tenang, seorang yang beri'tikaf berusaha untuk membangun hubungan yang lebih intim dan mendalam dengan Sang Pencipta.

I'tikaf juga mencerminkan konsep zuhud dalam Islam, yaitu sikap tidak terlalu bergantung pada dunia dan lebih mengutamakan kehidupan akhirat. Dengan mengasingkan diri dari hiruk pikuk duniawi dan fokus pada ibadah, seorang muslim dapat merasakan “detoksifikasi” spiritual dari godaan dan kesibukan materi.

Di era modern, dengan mengurangi ketergantungan pada teknologi dan media sosial, serta membatasi interaksi dengan urusan dunia, seorang muslim dapat memfokuskan kembali perhatiannya pada hal-hal yang lebih esensial.

ITIKAF MALAM GANJIL

Jamaah membaca Al-Quran saat beritikaf pada malam ganjil di Masjid Al-Hakim, Padang, Sumatera Barat, Selasa (4/5/2021). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/foc.

Selain manfaat spiritual, i'tikaf juga memiliki potensi manfaat psikologis. Beberapa penelitian menunjukkan korelasi positif antara praktik keagamaan seperti i'tikaf dengan penurunan tingkat stres, kecemasan, dan depresi.

Sebuah studi dari dua kampus di Iran membandingkan perspektif waktu, kesejahteraan spiritual, dan kesejahteraan psikologis pada remaja yang berpartisipasi dalam ritual i'tikaf versus mereka yang tidak.

Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam kesejahteraan psikologis, khususnya dalam aspek-aspek seperti memiliki tujuan hidup dan penerimaan diri, yang lebih memihak peserta i’tikaf daripada non-peserta.

Dilakukan dengan pendekatan kausal-komparatif, penelitian melibatkan 220 peserta berusia 18-35 tahun dari kegiatan i'tikaf di masjid-masjid terpilih. Selain itu, peserta menunjukkan perspektif masa lalu dan masa depan yang lebih negatif.

Temuan tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan dalam i'tikaf dapat meningkatkan pertumbuhan pribadi dan kesehatan mental, dengan demikian pengasingan diri dalam i’tikaf menjadi sangat relevan di tengah tekanan dan kesibukan kehidupan modern.

Melalui refleksi dan ibadah yang khusyuk, seseorang dapat mengidentifikasi kekurangan diri, merencanakan perbaikan, dan mengembangkan sifat-sifat positif seperti kesabaran, kerendahan hati, dan rasa syukur.

Temuan penelitian Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hadis Al-Quds menunjukkan bahwa I'tikaf menumbuhkan hubungan dengan Allah dan berfungsi sebagai bentuk terapi psikologis bagi individu. Makalah menguraikan hubungan antara i'tikaf sebagai bentuk terapi psikologis yang dapat membantu deradikalisasi individu dengan ideologi ekstremis.

Penelitian tersebut memanfaatkan interpretasi surat Al-Baqarah ayat 187 dari tafsir al-Qurtubi untuk memahami bagaimana i'tikaf dapat menumbuhkan hubungan dengan Allah. Hasilnya, i’tikaf berpotensi mengarahkan kembali pola pikir para peserta yang memaknai jihad secara salah menuju interpretasi jihad yang lebih damai.

Hikmah abadi dari praktik ini ialah terus membimbing umat Islam dalam perjalanan spiritual mereka menuju keridaan Illahi.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2025 atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi