Menuju konten utama
Mozaik

Pemberontakan Male, Aksi Para Budak Afrika di Brasil saat Sahur

Ramadhan dipillih untuk melakukan aksi menentang perbudakan karena para Malê menganggapnya sebagai waktu peningkatan keimanan dan kemenangan.

Pemberontakan Male, Aksi Para Budak Afrika di Brasil saat Sahur
Ilustrasi Pemberontakan. foto/istockphoto

tirto.id - Kehadiran muslim paling awal di Brasil diduga pada abad ke-14. Hal ini dikemukakan oleh Omri Elmaleh dalam jurnalnya di Latin American History yang mengisahkan pelayaran Kaisar Mali, Mansa Abubakari II. Ia diduga mendarat di pantai timur laut Brasil, dan keberadaan dua pelaut muslim Arab yang menemani Pedro Álvares Cabral pada tahun 1500.

Jurnal itu menyebut bahwa muslim telah hadir di Brasil selama hampir 500 tahun, terintegrasi ke dalam berbagai struktur masyarakat. Ia juga mengulas sejarah Islam di Brasil mencakup periode dari zaman pra-Kolumbus hingga masyarakat kontemporer.

Meski demikian, pembentukan komunitas muslim yang aktif di Brasil baru terlihat sejak abad ke-17, seiring dengan migrasi paksa orang-orang Afrika muslim yang diperbudak ke benua Amerika. Diperkirakan antara 15 hingga 20 persen dari sepuluh hingga lima belas juta orang Afrika Barat dan Tengah yang ditangkap dan diperbudak adalah keturunan muslim.

Brasil berperan sentral dalam perdagangan budak transatlantik. Dari abad ke-16 hingga abad ke-19, wilayah itu menerima lebih dari 5 juta budak atau 40 persen dari total orang Afrika yang diperbudak.

Perdagangan budak tersebut terbagi menjadi beberapa fase, termasuk “siklus Guinea” pada abad ke-16 dan “siklus Benin dan Dahomey” dari abad ke-18. Fase terakhir ini membawa sejumlah besar orang Yorubá dan Haussá ke Brasil.

Istilah “Malê” berasal dari bahasa Yorubá untuk muslim, yaitu “Imale”. Yorubá kini dominan mengisi populasi di wilayah yang menjadi negara Nigeria dan Republik Benin.

Sementara orang-orang Haussá telah memeluk Islam sebelum mereka dibawa secara paksa ke Brasil.

Selain Yarubá dan Haussá, terdapat etnis Mandinka yang lebih dulu tiba di Brasil pada abad ke-16. Mereka berasal dari Kekaisaran Mali, sebuah kekaisaran Islam yang kaya akan warisan intelektual dan dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis dalam bahasa Arab.

Brasil merupakan negara terakhir di benua Amerika yang menghapuskan perbudakan, yakni pada 13 Mei 1888.

Perbudakan dan Pelestarian Identitas Islam

Sejak kedatangan Portugis pada tahun 1500-an, ekonomi Brasil sangat bergantung pada pertanian, khususnya perkebunan tebu, kopi, dan tembakau. Mereka terpaksa mengimpor budak Afrika setelah menurunnya tenaga kerja pribumi karena penyakit dan melarikan diri.

Para budak dipaksa untuk bekerja keras di perkebunan tebu, pertambangan, dan lingkungan perkotaan. Hal ini menyebabkan tingkat kematian sangat tinggi. Para pemilik perkebunan mencatat bahwa mereka hanya mengharapkan budak bertahan selama setahun.

“Para budak berangkat kerja pada pukul lima pagi, dan sepanjang hari terpapar sinar matahari dan hujan, rentan terhadap berbagai jenis demam yang disebabkan oleh terlalu banyak paparan sinar matahari,” tulis David Gomes Jardim dalam “There Are Plantations Where the Slaves Are Numb with Hunger (1847)” di buku Children of God’s Fire: A Documentary History of Black Slavery in Brazil (1994:95).

Selain itu, ancaman perpisahan keluarga melalui penjualan selalu membayangi kehidupan mereka. Kondisi yang sangat tidak manusiawi dan penuh kekerasan ini memperkuat keinginan untuk bebas dan melakukan perlawanan di antara populasi budak, termasuk para muslim.

Meskipun mengalami tekanan untuk memeluk agama Katolik sebagai agama resmi negara, umat Islam yang diperbudak berhasil mempertahankan praktik keagamaan mereka dengan tetap membentuk madrasah untuk pertemuan rahasia, salat, dan belajar agama.

Mereka juga berpuasa selama Ramadhan, melaksanakan sahur dan berbuka, serta mengajarkan anak-anak mereka untuk membaca dan melafalkan Al-Qur'an. Para guru dan pengajar muslim berperan penting dalam menyebarkan pengetahuan Islam.

Dalam keseharian sebagai identitas Afrika, mereka kerap menggunakan jimat yang berisi ayat-ayat Al-Qur'an, mempraktikkan diet khusus, termasuk ritual kurban dan makanan tertentu selama Ramadhan, mengenakan pakaian khas yang disebut 'abadá', dan mendirikan masjid-masjid pribadi di kamar-kamar sewaan.

Sifat klandestin dari praktik Islam ini menyoroti ketahanan dan tekad umat Islam yang diperbudak untuk mempertahankan keyakinan mereka di bawah kondisi yang menindas.

Komunitas muslim Bahia kemudian terbentuk. Hal ini juga menunjukkan perkembangan ikatan komunal yang kuat untuk saling mendukung satu sama lain.

Sistem ganho yang dibuat pemerintah dalam perbudakan memberikan tingkat otonomi tertentu kepada budak dan sedikit membantu dalam memfasilitasi penyebaran Islam. Di daerah perkotaan seperti Salvador, budak diizinkan bekerja di berbagai bidang dan menyerahkan sebagian penghasilan kepada tuan mereka.

Pengaturan ini meningkatkan mobilitas dan interaksi antara budak dan orang-orang yang telah dibebaskan di pusat-pusat kota. Selain itu, terbentuk pula ‘cantos’ atau kelompok-kelompok kerja berbasis etnis yang juga berfungsi sebagai ruang untuk kegiatan keagamaan dan budaya.

Kebebasan relatif yang diberikan oleh sistem ganho di daerah perkotaan seperti Salvador menciptakan jaringan sosial dan peluang untuk komunikasi dan organisasi yang penting untuk perencanaan pemberontakan.

Benih-Benih Pemberontakan

Pemberontakan Malê dipicu oleh berbagai penyebab dan motivasi yang saling terkait. Kondisi buruk terhadap praktik-praktik Islam dan kurangnya kebebasan menjadi pendorong utama pemberontakan.

Pada November 1834, Malê di Brasil mengadakan peringatan Isra Mikraj secara meriah dan terbuka. Perayaan itu diganggu dan dibubarkan aparat keamanan yang beberapa hari kemudian merusak sejumlah masjid.

Seturut Konstitusi Kekaisaran Brasil tahun 1824, Katolik telah dinyatakan sebagai agama resmi negara, dan satu-satunya agama yang memperbolehkan upacara di ruang publik. Agama lain diberi hak atas kebebasan beragama, dengan catatan, dilakukan secara pribadi.

Dari sinilah gesekan-gesekan antara muslim di Brazil dengan pemerintah dimulai.

Prinsip-prinsip Islam yang melarang perbudakan juga menjadi inspirasi lahirnya benih pemberontakan. Keinginan mendasar untuk mengakhiri sistem perbudakan yang menindas merupakan motivasi inti, selaras dengan pemberontakan budak lainnya di benua Amerika.

Peran kelompok etnis tertentu seperti Yorubá dan Haussá sangat penting dalam mengorganisasi pemberontakan. Mereka berhasil mengumpulkan etnis Afrika lainnya, seperti Fulani, Aio Quija, dan Nagô. Jaringan lintas etnis dan agama berperan besar dalam aksi ini.

Ahuna, seorang budak Nagô yang tinggal di Salvador menjadi tokoh sentral dalam pemilihan waktu pemberontakan.

Pemilihan akhir Ramadhan--khususnya setelah Sahur, yang diyakini sebagai turunnya Malam Lailatur Qadar--untuk pemberontakan ini sangat dicermati para Malê. Bulan suci dianggap sebagai waktu peningkatan keimanan, kemenangan, dan potensi pertolongan Ilahi.

“Keputusan untuk memberontak pada tanggal 25 Januari 1835 kemungkinan besar dibuat pada bulan November 1834. Itu adalah keputusan politik yang tenang dan penuh perhitungan, yang dirancang untuk mengendalikan emosi yang tegang akibat krisis. Tanggal dua puluh lima Januari bertepatan dengan tanggal yang menguntungkan dalam kalender Islam,” tulis João José Reis dalam buku Slave Rebellion in Brazil:the Muslim uprising of 1835 in Bahia (1993:115).

Selain itu, adanya Nossa Senhora da Guia, sebuah perayaan dalam siklus hari raya keagamaan gereja Bonfim di Brasil pada waktu yang sama, dipandang sebagai kesempatan untuk memanfaatkan kurangnya kehadiran pihak berwenang.

Pemberontakan di Waktu Sahur

Awalnya direncanakan hari Minggu, 25 Januari 1835, namun pemberontakan terpaksa dimulai lebih awal pada Sabtu malam karena pengkhianatan Sabina da Cruz, seorang wanita Nagô yang telah dibebaskan.

Selain Sabina, ada Guilhermina, budak lainnya yang dibebaskan dan memberi tahu tetangga kulit putihnya tentang rencana pemberontakan.

Setelah menerima laporan tersebut, pihak berwenang atas perintah Presiden Francisco de Souza segera merespons dengan memperkuat penjagaan istana, menyiagakan barak, dan meningkatkan patroli.

Pukul 11 malam, kabar pemberontakan kian menyebar luas di kalangan budak Afrika dan melahirkan banyak partisan, khususnya bagi mereka yang melarikan diri dari perbudakan. Memasuki Minggu dini hari mendekati waktu sahur, para pemberontak mulai menyerbu rumah Domingos Marinho de Sá yang digunakan sebagai tempat pertemuan untuk melancarkan aksi.

Bentrok pertama terjadi melibatkan 600 orang di jalan-jalan, menyebabkan beberapa orang terluka dan dua orang Afrika tewas, termasuk suami Sabina da Cruz.

Setelah itu, para pemberontak terpecah menjadi beberapa kelompok dan bergerak ke berbagai arah di seluruh kota.

Salah satu tujuan utama para pemberontak adalah membebaskan Pacífico Licutan, seorang pemimpin kunci yang dipenjara. Ia seorang budak Nagô yang bekerja sebagai penggulung tembakau dan termasuk seorang pemimpin komunitas muslim yang dihormati di Bahia yang juga dikenal sebagai Bilal.

Namun, upaya mereka untuk menyerbu penjara gagal karena penjagaan yang ketat. Para pemberontak kemudian berusaha mencari senjata dengan menyerbu pos tentara terdekat dan mencoba merebut barak perwira, namun gagal karena gerbang barak berhasil ditutup.

Para pemberontak lalu berkumpul kembali di Mercês Convent di lingkungan Vitória, yang merupakan titik pertemuan yang telah ditentukan sebelumnya. Di sana, mereka sempat terlibat bentrok singkat dengan patroli polisi.

Setelah itu, mereka bergerak menuju Cabrioto, di luar kota, dengan tujuan untuk bertemu dengan budak-budak dari perkebunan di luar Salvador. Namun, untuk mencapai Cabrioto, mereka harus melewati barak kavaleri.

Pertempuran paling menentukan terjadi di Água de Meninos, saat para pemberontak diserang oleh pasukan kavaleri sehingga mereka kewalahan. Para pemberontak menderita banyak korban jiwa, setidaknya 73 orang tewas dan 500 lainnya diciduk pihak keamanan. Upaya terakhir mereka untuk menyerbu barak gagal, dan memaksa mereka untuk melarikan diri.

Pihak berwenang Brasil merespons segera menangkap para pemberontak. Hukuman berat lantas dijatuhkan, termasuk hukuman mati bagi para pemimpin kunci, hukuman penjara dengan kerja paksa, hukuman cambuk di depan umum, dan mendeportasi orang-orang Afrika muslim.

Pacífico Licutan alias Bilal dijatuhi hukuman cambuk 1.200 kali di depan umum. Hukuman itu dibagi menjadi 50 cambukan sehari sampai selesai. Menurut Margarita Rosario, dengan cara begitulah ia meninggal.

Setelah pemberontakan, terjadi kampanye represi budaya dan agama terhadap umat Islam-Afrika. Kegiatan-kegiatan muslim dan dokumen-dokumen berbahasa Arab diberangus. Pengawasan terhadap individu-individu kelahiran Afrika ditingkatkan.

Pemberontakan Malê berdampak jangka panjang nan signifikan terhadap komunitas muslim di Brasil. Populasi muslim di Bahia berkurang akibat eksekusi, deportasi, dan penyebaran paksa.

Meskipun pemberontakan berhasil itu dipadamkan, Islam tidak sepenuhnya menghilang dari Brasil. Imigran muslim dari Timur Tengah di kemudian hari berkontribusi pada pembentukan kembali komunitas muslim di Brasil dari waktu ke waktu.

Baca juga artikel terkait PEMBERONTAKAN atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi