tirto.id - Isamu Carlos Shibayama masih berusia 13 tahun ketika ia bersama ibu dan adik perempuannya dijemput paksa oleh polisi Peru dengan dakwaan penduduk ilegal. Ayahnya dalam pencarian sebelum menyerahkan diri di layanan imigrasi milik Amerika Serikat beberapa minggu kemudian.
Begitu juga yang terjadi pada ribuan orang Jepang dan keturunannya yang bermukim di Peru. Mereka diserahkan begitu saja kepada pasukan Amerika Serikat. Kebijakan ini merupakan buntut kerja sama antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Peru setelah FBI mengeluarkan daftar hitam para penduduk yang dicurigai sebagai Alien Enemy.
Kebijakan ini makin masif dilakukan setelah Jepang mengebom Pearl Harbor pada tanggal 7 Desember 1941.
Para interniran tersebut dikumpulkan sebelum akhirnya diangkut sejumlah kapal laut AS dalam beberapa gelombang perjalanan. Kapal-kapal pengangkut seperti Etolin, Gripsholm, Shawnee, dan Frederick C. Johnson membawa mereka selama beberapa minggu.
Sebanyak 141 interniran, seluruhnya laki-laki, yang diberangkatkan pada gelombang pertama diangkut kapal Etolin pada 5 April 1942. Mereka percaya akan dikembalikan ke keluarganya di Jepang, bukan dikirim ke Amerika Serikat.
Begitu juga para interniran gelombang kedua yang diangkut kapal Gripsholm, Shawnee, dan Frederick C. Johnson. Setelah 21 hari perjalanan dari Peru, mereka tiba di Pelabuhan New Orleans, Amerika Serikat pada bulan Oktober 1944. Intimidasi dan pelecehan mulai terjadi sebelum mereka dikirim melalui kereta api untuk ditempatkan di kamp-kamp tahanan Crystal City di Texas.
Eigi Kudo, salah satu mantan interniran menceritakan bagaimana ia tiba di pelabuhan dan digiring menuju sebuah gudang milik layanan imigrasi Amerika Serikat, Immigration and Naturalization Service (INS).
Mereka disuruh berbaris, digeledah, dan diperintahkan untuk melucuti pakaiannya, bahkan disemprotkan insektisida yang menyisir tubuhnya. Eigi Kudo merasa diperlakukan layaknya ternak yang baru tiba sebelum beralih ke pemiliknya. Hal serupa juga dialami Shibayama dan keluarganya.
Pada tahun 1940, jumlah imigran Jepang di Peru tercatat 30.000 orang. Dari jumlah tersebut, 1.800 diinternir secara paksa ke wilayah Amerika Serikat. Jumlah ini merupakan interniran terbesar dibanding interniran asal Jepang lainnya di Amerika Latin yang tersebar di Venezuela, Meksiko, Nikaragua, Kuba, Ekuador, Bolivia, Kolombia, Kostarika, dan El Salvador.
Buruh Murah yang Mendominasi Ekonomi
Shibayama lahir di Peru dari orang tua asli Jepang. Kakek dan neneknya, sebagaimana dinarasikan dalam film dokumentar Hidden Internment: Art Shibayama Story, tercatat sebagai imigran gelombang pertama Jepang pada tahun 1899 bersama 788 rombongan buruh lain yang mengadu nasib ke Peru.
Menggunakan kapal Sakura Maru, mereka mendarat di Pelabuhan Callao, Peru. Para imigran gelombang pertama yang kemudian dikenal dengan sebutan Issei ini banyak ditempatkan di industri perkebunan gula dan kapas. Sebagian besar dari mereka datang dari Okinawa, sebuah wilayah kepulauan di selatan Jepang.
Mereka bekerja sangat keras. Sebab, selain penyakit malaria dan tifus yang melanda Peru saat itu, eksploitasi rasial dari para majikan perkebunan juga memaksa mereka harus bertahan hidup.
Mereka akhirnya melarikan diri dari perkebunan menuju kota-kota di sekitarnya dan memilih menjadi penjaga toko atau kuli lainnya. Meski demikian, ada juga yang tetap bertahan di perkebunan sampai akhir kontrak habis.
Dari 790 Issei yang tiba di Peru tahun 1899, 150 orang diperkirakan meninggal akibat sulit beradaptasi dengan kondisi Peru.
Sebelumnya pada tahun 1854, Pemerintah Peru menghapus sistem perbudakan yang dilanjutkan dengan penghapusan perdagangan buruh tahun 1874. Popularitas murahnya upah buruh asal Cina di beberapa negara tetangga membuat Peru melirik Jepang. Kedua negara kemudian menjalin hubungan diplomatik pada tahun 1873.
Dari pihak Jepang, kebijakan emigrasi setelah Restorasi Meiji tahun 1868 juga membuka keran ekspansi penduduk Jepang ke berbagai negara Amerika. Ini seperti sebuah solusi dalam negeri ketika populasi negara yang terus membengkak dan lahan yang makin terbatas.
Di sisi lain, ketika pekerja dari luar negeri mengirimkan uang ke Jepang, maka secara tak langsung sudah membantu pertumbuhan ekonomi dan industri dalam negeri Jepang.
Mulanya Peru bukanlah tujuan utama sebagai tempat mengadu nasib bagi para penduduk Jepang, melainkan Amerika Serikat. Selain nilai ekonomi, peluang bekerja dengan orang kulit putih juga dianggap lebih punya nilai status sosial.
Sayangnya, pelarangan terhadap imigran Jepang mulai diberlakukan Amerika Serikat melalui Gentlemen’s Agreement pada tahun 1907.
Diming-imingi pekerjaan tetap yang menjanjikan melalui kampanye dan iklan, orang-orang mulai termotivasi untuk berangkat ke Peru dengan harapan membawa kemakmuran bagi keluarga. Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan yang melanda Jepang saat itu juga memengaruhi mereka untuk berangkat menuju Peru dan negara-negara Amerika Latin.
Motivasi lain yang membuat orang Jepang mendatangi Peru adalah cuaca tropis yang tidak ada di Jepang, lahan yang subur, juga ada anggapan banyaknya tambang emas yang menggiurkan.
Ketika akhirnya banyak yang kecewa dengan kondisi di perkebunan, Issei yang melarikan diri atau yang berhasil menyelesaikan kontrak kerjanya mulai bekerja di bidang lain, seperti tukang cukur, pembantu, atau jadi pedagang kaki lima. Mereka berpindah tempat ke pinggiran kota atau pelabuhan yang lebih ramai.
Kelompok-kelompok untuk membangun solidaritas Jepang-Peru juga mulai tumbuh terutama ketika gelombang pendatang kedua mulai berdatangan pada pertengahan 1920-an.
Pada tahun 1936, setidaknya populasi Jepang-Peru sudah mencapai 23.000 orang, 70 persen di antaranya menetap di ibu kota Peru, Lima. Jumlah tersebut merupakan tertinggi bagi populasi asing di Peru.
Seiring waktu, dominasi ekonomi mulai dikendalikan Japanese Peruvians, sebutan lain penduduk keturunan Jepang dan Peru. Mereka berkeluarga, sebagian lagi memiliki kewarganegaraan, juga status sosial yang layak seperti orang Peru.
Mereka berbisnis dengan membuka pangkas rambut, toko pakaian, toko perhiasan, maupun warung-warung makan dan kebutuhan lain.
Sentimen Anti-Jepang
Sentimen sosial kemudian berembus karena dominasi warga Jepang di bidang ekonomi mulai dianggap sebagai ancaman bagi Peru. Hal tersebut diperparah seiring krisis peta politik global.
Kabar tentang hegemoni Jepang yang menduduki beberapa wilayah Asia, juga ancaman-ancaman sebelum Perang Dunia II membuat Amerika Serikat harus membangun aliansi dengan negara-negara tetangganya, termasuk Peru sebagai sekutu yang memanfaatkan sentimen anti-Jepang untuk memperoleh pinjaman dari Amerika Serikat.
Dari pinjaman tersebut, Peru yang berada di bawah kendali Presiden Manuel Prado, membangun pabrik pemrosesan baja pertamanya. Tentu saja ini dimanfaatkan Amerika Serikat yang akhirnya mendapatkan izin untuk membangun pangkalan udara di Tarala, kota pelabuhan yang cukup strategis di barat laut Peru.
Tidak seperti negara Amerika Latin lainnya yang mendeportasi para imigran untuk dikembalikan ke Jepang, Peru memiliki kebijakan interniran sendiri dengan memilih mendeportasi orang Jepang ke Amerika Serikat.
Negara lain seperti Panama, di mana Amerika Serikat punya kepentingan di Terusan Suez yang strategis, juga berencana mengusir dan membersihkan etnis Jepang dari wilayahnya.
Setelah penyerangan Pearl Harbor, propaganda anti-Jepang di Peru dilakukan lebih terstruktur melalui surat kabar dan radio. Pemerintah Peru mulai membekukan dan menyita aset Jepang, menutup sekolah berbahasa Jepang, dan melarang perkumpulan Jepang-Peru dalam bentuk apapun.
Puncaknya adalah kerusuhan anti-Jepang yang terjadi di ibu kota Peru, Lima, selama dua hari pada bulan Mei 1940. Penjarahan dan teror yang dilakukan warga Peru terhadap warga Jepang menyebabkan 600 rumah dan tempat bisnis bercorak Jepang dibakar. Sepuluh orang dilaporkan tewas dalam insiden tersebut.
Samuel Matshuda, seorang anggota kongres Partai Republik Peru, menceritakan bagaimana masa-masa sulit ayahnya ketika gelombang diskriminasi datang menimpa orang-orang Jepang di Peru.
Ketika aset-aset Jepang dibekukan dan bank-bank di Peru enggan memberi pinjaman, para imigran yang bertahan membentuk koperasi kecil yang disebut tanomoshi. Pinjaman diberikan dalam waktu tertentu kepada satu kepala keluarga. Ayah Matshuda memanfaatkan uang pinjaman itu untuk merintis sebuah kafe dan penginapan.
“Begitulah cara kami maju, sedikit demi sedikit,” ujarnya.
Pemulihan Setelah Perang
Pada masa Perang Dunia II, penahanan secara paksa orang Jepang-Peru coba dimanfaatkan sebagai pion untuk bertukar tahanan sipil warga Amerika Serikat yang ada di Jepang atau wilayah Asia lainnya. Setidaknya 3.300 warga Amerika Serikat terjebak di Cina yang saat itu diduduki Jepang.
Karena tingkat komunikasi yang minim dan transportasi yang terbatas, pertukaran dengan warga Amerika Serikat tersebut tidak pernah terjadi pada imigran Jepang-Peru.
Kondisi Jepang yang dihancurkan Sekutu pada Perang Dunia II memengaruhi pola pikir sebagian besar imigran yang sudah memiliki keluarga yang lahir dan besar di Peru. Mereka tidak mau kembali ke negaranya yang hancur.
Namun faktanya, akhir tahun 1945 hingga tahun 1946 terdapat 930 orang Jepang-Peru yang dipulangkan secara sukarela ke Jepang. Di tahun 1946, Peru hanya mengizinkan 100 orang untuk kembali dengan syarat memiliki keturunan dan kerabat di Peru.
Setelah kamp-kamp interniran ditutup, Amerika Serikat mengizinkan 300 orang Jepang-Peru untuk tinggal, termasuk Isamu Carlos Shibayama dan keluarganya.
Tahun 1947 Peru mencabut pembatasan imigrasi dan hak-hak sipil diaspora Jepang. Sekolah-sekolah dan komunitas kembali bangkit dan membangun asimilasi. Generasi Jepang-Peru mulai memulihkan diri, baik secara ekonomi maupun budaya.
Dekade berikutnya menjadi momen bagi diaspora Jepang-Peru untuk meminta keadilan mengenai apa yang terjadi selama periode Perang Dunia II. Peru sendiri menolak ikut bertanggung jawab karena merasa tidak terlibat perang.
Sepanjang pertengahan 1990-an, ada lima tuntutan hukum yang diajukan diaspora Jepang-Amerika Latin di Amerika Serikat yang menghasilkan penyelesaian ganti rugi berupa surat permintaan maaf dan pembayaran ganti rugi setiap interniran sebesar $5.000.
Tahun 1990, seorang keturunan imigran Jepang, Alberto Fujimori, terpilih sebagai Presiden Peru. Meskipun pada akhirnya bernasib tragis, tak bisa dipungkiri kemenangannya dua periode berturut-turut menjadikannya simbol bagaimana asimilasi Jepang-Peru berjalan sukses pasca Perang Dunia II.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi