tirto.id - José Pedro Castillo Terrones atau Pedro Castillo (51), guru sekolah dasar di pedesaan yang berasal dari keluarga petani miskin, menang tipis dalam Pemilihan Presiden Peru putaran kedua yang berlangsung awal Juni kemarin (50,13% lawan 49,87%). Kompetitornya bukan sembarang orang: Keiko Sofía Fujimori Higuchi atau Keiko Fujimori (46), putri tertua dari diktator Alberto Fujimori yang pernah berkuasa selama satu dasawarsa (Juli 1990-November 2000).
Castillo baru dikenal luas setelah memimpin pemogokan guru pada 2017. Semenjak itu dia diasosiasikan dengan gerakan kiri sampai akhirnya diusung sebagai kandidat presiden oleh partai sosialis Perú Libre (Peru Merdeka) pada Januari 2020.
Kemenangannya cukup mengangetkan karena dia adalah salah satu yang paling tidak populer di antara 18 kandidat lain di putaran pertama pilpres. Semakin mengejutkan karena yang dia kalahkan, selain anak diktator yang pasti populer, juga punya pengalaman politik praktis di kongres sejak 2006 hingga 2011 dan memimpin partai sayap kanan Fuerza Popular mulai 2010.
Agenda yang diusung Castillo, seperti disampaikannya kepada Jacobin, meliputi perombakan sistem ekonomi agar lebih berorientasi kepentingan rakyat banyak—atau ringkasnya sosialisme. Pada awal masa kampanye, Castillo sempat mewacanakan nasionalisasi dan reformasi lahan, meskipun retorika tersebut kini sudah diperhalus.
Untuk itu ia menyerukan perubahan konstitusi yang disusun pada 1993 di bawah kediktatoran Fujimori. Menurut Castillo, konstitusi tersebut sudah memperlakukan pendidikan dan kesehatan sebagai jasa alih-alih hak. “Dan itu dirancang untuk kepentingan bisnis, bukan orang,” katanya.
Di kubu seberang, Keiko Fujimori mendukung sistem pasar bebas sebagaimana bapaknya. Mengutip BBC, pendapatan Peru dari sektor pertambangan akan Fujimori alokasikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Ia juga menjanjikan dua juta lapangan kerja baru melalui investasi pada bidang kesehatan dan pendidikan.
Dengan latar belakang tersebut kita tahu siapa basis pendukung masing-masing kandidat. Sementara Fujimori didukung elite politik dan pebisnis kaya raya dari kawasan ibu kota Lima dan perkotaan di sepanjang pesisir Pasifik, Castillo mendapatkan suaranya dari warga desa, kebanyakan bermukim di dataran tinggi Andes dan pedalaman Amazon yang termarjinalkan secara sosio-ekonomi.
Berdasarkan wawancara Reuters terhadap sejumlah elite urban Lima, dukungan mereka untuk Fujimori didasari atas trauma masa lalu: pengambilalihan lahan dari para tuan tanah pada 1960-an dan hiperinflasi 1980-an—semua terjadi di bawah rezim sayap kiri. Ketika hasil pemilu condong pada kemenangan Castillo, elite bisnis pendukung Fujimori meresponsnya dengan panik, salah satunya dengan mencairkan uang dari bank untuk disimpan di rumah—mungkin di bawah bantal.
Perlawanan Sia-sia Fujimori
Fujimori juga menggunakan sentimen ideologis untuk menyerang Castillo saat kampanye. Ia menuding Castillo sebagai “tiruan nyata dari Hugo Chavez,” pemimpin sosialis Venezuela yang memang semasa hidupnya membuat kepentingan elite terdesak. Bahkan, setelah pelaksanaan pemilu, Fujimori masih beranggapan bahwa “cita-cita dan proposal [yang diusung Castillo] merusak demokrasi.”
Pada waktu yang sama, berbagai narasi rasis dan kebencian diarahkan pada kalangan sosio-ekonomi rentan dari pedalaman. Sebagaimana dilansir The Guardian, media lokal Sudaca mempublikasikan teks percakapan antara pria kelas menengah kulit putih di ibu kota Lima yang menganggap warga desa dari kawasan dataran tinggi harus “mati kelaparan.” Mereka, para pendukung Fujimori, juga menginginkan kembalinya program sterlilisasi paksa terhadap para perempuan suku aslis eperti pernah dilancarkan Alberto Fujimori. Selain itu, tersebar meme di media sosial yang menggambarkan Castillo sebagai keledai, atau memandang orang-orang dari pegunungan Andes terlalu bodoh untuk punya hak pilih.
Iklim politik ini, seperti sejarawan Peru José Ragas sampaikan pada The Guardian, menggaungkan “sikap-sikap rasis dan bias kelas” yang sudah lama bercokol dalam diskursus sosial di Peru.
Manuver Fujimori tak berhenti ketika hasil pemungutan suara keluar. Selisih perolehan suara Castillo dan dirinya hanya 0,25 persen atau sekitar 44 ribu suara. Merasa dicurangi, ia pun menyewa tim pengacara paling mahal di Lima untuk menggugat hasil pemilu. Bersama Fuerza Popular, Fujimori menuntut pembatalan 200 ribu suara untuk Castillo, tapi tanpa disertai bukti kredibel.
Klaim tersebut juga bertolak belakang dengan hasil pemantauan Organization of American States. Mereka tidak mendapati penyimpangan serius. Bahkan, menurut pemerintah Amerika Serikat, pemilu berjalan dengan “bebas, adil, dapat diakses dan damai” serta dipandang sebagai “model demokrasi” untuk kawasan sekitarnya. Uni Eropa juga menilai pemilu sudah berlangsung “bebas dan demokratis.”
Ketika hasil pemilu belum difinalisasi, akhir pekan kemarin, ribuan pendukung Castillo dan Fujimoro tumpah ruah ke jalanan Lima. Al Jazeera melaporkan rombongan pro-Fujimori mengusung poster-poster bertulisan “no to fraud”—tidak untuk kecurangan (merujuk pada klaim Fujimori) dan “no to communism”—tidak untuk komunisme (ditujukan pada Castillo). Pendukung Castillo terlihat memakai topi lebar khas sang mantan guru, sementara lainnya mengenakan pakaian tradisional dari Andes. Semua tampak antusias menunggu kepastian hasil pilpres.
Jadwal konfirmasi hasil pemilu sempat tersendat setelah salah satu hakim di Panel Pemilu Nasional, Luis Arce, mengundurkan diri. Arce tidak sepakat dengan sikap tim juri untuk menolak sejumlah poin gugatan Fujimori.
Dilansir dariTeleSUR, Panel akhirnya menangguhkan Arce karena dianggap punya konflik kepentingan karena berhubungan dengan Los Cuellos Blancos del Puerto, organisasi kriminal pimpinan mantan Jaksa Agung César Hinostroza. Hinostroza disinyalir ikut memuluskan pengadilan Keiko Fujimori yang sempat tersandung kasus penyuapan. Fujimori dituduh menerima duit 1,2 juta dolar AS dari korporat konstruksi Brasil, Odebrecht, untuk membiayai kampanye pilpres pada 2011 dan 2016 (ya, dia sudah tiga kali maju pemilu dan tiga-tiganya keok).
Sempat dipenjara sejak akhir 2018, Fujimori dibebaskan bersyarat pada Mei 2020 di tengah kekhawatiran akan penyebaran Covid-19 di lingkungan penjara.
Tak lama setelah pelaksanaan pemilu, Fujimori dilaporkan melanggar aturan bebas bersyarat dengan menjalin kontak dengan saksi di kasus yang lalu. Namun hakim menolak permintaan jaksa untuk mengirimnya kembali ke balik jeruji besi.
Fujimori tampaknya tahu persis bahwa terjun ke politik adalah jalan terbaik untuk menghindari jeratan hukum. Apabila menang pilpres, proses investigasinya dapat ditangguhkan sampai masa bakti sebagai presiden selesai pada 2026.
Kejahatan Rezim Lama
Situasi politik di Peru sudah bergejolak sejak tahun lalu. Pada penghujung 2020, ribuan orang terutama angkatan muda memprotes pemakzulan presiden Martín Vizcarra oleh Kongres. Ini menjadi protes terbesar di negara tersebut sejak dua dekade terakhr. Sebuah jajak pendapat menyebut 80 persen responden menganggap Vizcarra dicopot karena kebijakan antikorupsinya mengancam elite.
Korupsi di kalangan elite bukanlah fenomena baru, bahkan di pucuk tertinggi pemerintahan. Dalam 20 tahun terakhir, presiden-presiden Peru tersandung skandal penyuapan dari konglomerat konstruksi terbesar di Amerika Selatan, Odebrecht. Mereka meliputi ekonom lulusan Stanford dan presiden pertama dari suku asli Alejandro Toledo (2001-06), presiden dua periode Alan Garcia (2006-11, 1985-90), Ollanta Humala (2011-2016), dan Pedro Pablo Kuczynski (2016-18).
Skandal Odebrecht juga menghampiri Keiko Fujimori, yang bercita-cita membangkitkan kembali ideologi politik bapaknya, Fujimorisme.
Meskipun Keiko masih diinvestigasi dan sempat dipenjara, dukungan politik terhadap klan Fujimori cenderung konsisten dalam 10 tahun terakhir. Terbukti pada Pilpres 2011, 2016, dan 2021, Keiko hanya kalah tipis dengan perolehan suara 48-49 persen.
Jejak politik Alberto Fujimori pun tak pernah lepas dari kontroversi. Selama berkuasa tahun 1990-2000, presiden yang berasal dari keluarga imigran Jepang ini meninggalkan dua warisan penting. Pertama, penyelamatan Peru dari hiperinflasi dengan resep khas neoliberalisme, yang singkatnya nyaris menghilangkan intervensi negara di setiap aspek ekonomi. Begitu naik ke tampuk kekuasaan, Fujimori memeluk pasar bebas, menghapus subsidi, dan memprivatisasi BUMN.
Kalangan menengah-bawah Peru tentu terdampak, terutama ketika harga susu, roti, bahan bakar, sampai koran, sengaja dibiarkan melambung tinggi mengikuti kurs dolar. Namun hal inilah yang mendorong pertumbuhan ekonomi pesat pada paruh kedua dekade 1990-2000.
Kedua, penumpasan kelompok Maois bernama Sendero Luminoso (Shining Path) dan kelompok Marxis-Leninis Gerakan Revolusioner Túpac Amaru (MRTA), dua organisasi revolusioner yang mengambil taktik gerilya dan terorisme individual.
Dua 'pencapaian' dia lakukan dengan gaya kepemimpinan yang otoriter.
Pada 1992, Fujimori yang disokong pasukan militer melakukan autogolpe atau self-coup. Kongres dan pengadilan dibubarkan karena oposisi di parlemen dan hakim-hakim korup dianggap menghambat Fujimori menjalankan kebijakan. Namun demikian, publik tampak tidak keberatan dengan kudeta ini. Berdasarkan survei lembaga lokal yang dikutip Newsweek edisi April 1992, sebanyak 71 persen rakyat mendukung pembubaran Kongres dan 89 persen setuju restrukturisasi sistem peradilan. Merespons tudingan bahwa tindakannya berpotensi mengubur demokrasi, Fujimori bersikeras dirinya justru mengakhiri 'bribe-ocracy' alias sistem suap.
Satu tahun kemudian, konstitusi baru berhasil disahkan oleh administrasi Fujimori. Konstitusi ini memberikan kekuasaan lebih kepada presiden dan membuka liberalisasi ekonomi lebar-lebar, dan di sisi lain membatasi hak-hak pekerja dan akses terhadap pendidikan gratis.
Ketika kembali terpilih untuk periode ketiga pada Pilpres 2000, Fujimori tersankut sejumlah skandal. Ia dituding sudah mempekerjakan Vladimiro Montesinos, kepala Layanan Intelijen Nasional, untuk mematai-matai dan menindas lawan politik, termasuk menyuap oposisi agar mau bergabung di kubu pemerintah. Temuan ini memaksa Fujimori dan Montesinos melarikan diri ke luar negeri.
Fujimori baru kembali ke Peru pada 2007. Kala itu, hakim memvonisnya enam tahun penjara karena kasus pencurian dokumen. Pada 2009, ia dihukum 25 tahun penjara atas kejahatan pembunuhan. Ketika memberantas gerakan kiri pada 1991-92, Fujimori mengirim pasukan militer dan menewaskan 25 orang. Tak berapa lama kemudian, ia menerima hukuman penjara 7,5 tahun karena pernah menyerahkan uang negara sebanyak 15 juta dolar AS kepada Montesinos. Fujimori mengaku bahwa uangnya dipakai untuk menyuap politisi oposisi, jurnalis, sampai pengusaha.
Peninggalan kelam lain dari Fujimori adalah program sterilisasi paksa terhadap perempuan suku asli. Kejadiannya berlangsung pada periode kedua pemerintahan (1995-2000). Dikutip dari tulisan Jacquelyn Kovarik di NACLA Report on the Americas (2019), Kementerian Kesehatan Peru memperkirakan 200 ribu perempuan suku asli dipaksa mengikuti prosedur tubektomi (pemotongan saluran indung telur) melalui Program Nasional untuk Kesehatan Reproduksi dan Perencanaan Keluarga.
Dalam sejumlah kasus, program ini menimbulkan trauma psikologis dan fisik karena dilakukan dengan ancaman dan keterbatasan obat bius.
Sampai 2019, Kementerian Hukum dan HAM Peru menerima testimoni lebih dari 6.000 penyintas. Kebanyakan dari mereka bersaksi dipaksa dengan cara disuap dengan bahan pangan atau obat-obatan, diancam aborsi paksa kalau tidak mau disterilkan setelah melahirkan anak, dan diberi tahu bahwa mereka bisa dipenjara kalau punya anak berjumlah tertentu.
Namun demikian, Costa Bauer, mantan Menteri Kesehatan dari administrasi Fujimori, bersikeras pemerintah tidak bersalah. Bauer juga menyebutkan jumlah kasus pemaksaan hanya segelintir. Kalaupun terjadi insiden, itu disebabkan oleh kinerja buruk tenaga kesehatan alih-alih dimandatkan pemerintah—oknum.
Meminjam istilah dari Kovarik, tubuh dan cerita para korban sterilisasi paksa sudah dijadikan “alat politik” oleh Fujimori untuk mengurangi kemiskinan dan mengendalikan populasi warga pedesaan yang dibungkus dengan retorika hak-hak reproduktif perempuan. Sterilisasi paksa ini, menurut antropolog asal AS Kimberly Theidon, juga digunakan sebagai “surgical war” untuk melawan perempuan miskin. Tujuannya agar mereka tidak membesarkan anak yang kelak bergabung dengan grup pemberontak Sendero Luminoso.
Hakim tengah mempertimbangkan untuk menyeret Alberto Fujimori, kini memasuki usia 83 tahun, ke meja hijau lagi. Kasus sterilisasi paksa ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan menurut Pengadilan Kriminal Internasional. Namun demikian, anaknya, Keiko si kandidat presiden, dengan ringan menyangkal. “Itu adalah perencanaan keluarga. Investigasi-investigasinya sudah berlangsung 20 tahun dan ditangguhkan sebanyak empat kali,” ujarnya Mei silam, dikutip dari Al Jazeera.
Apabila terpilih sebagai presiden, Keiko pun berniat untuk mengampuni kejahatan-kejahatan bapaknya.
Namun riwayat korup nan kejam dinasti Fujimori tidak serta merta membuat partai Pedro Castillo menjadi alternatif yang benar-benar bersih. Castillo juga berguru pada mentor yang terbelit korupsi, Vladimir Cerrón. Cerrón adalah dokter sekaligus eks-gubernur pendiri partai Perú Libre. Pada 2019, Cerrón divonis penjara empat tahun delapan bulan. Meskipun akhirnya tak sampai mendekam di penjara, ia dilarang bergabung dalam Pilpres 2021.
Castillo berusaha menjaga jarak dan menegaskan bahwa dirinya bukanlah boneka Cerrón. Castillo berusaha membuktikannya dengan menunjuk mantan ekonom Bank Dunia, Pedro Francke, sebagai penasihat ekonominya, dan berjanji untuk menghormati ekonomi pasar.
Menurut analisis Will Freeman di World Politics Review, pemberantasan korupsi memang tak bakal jadi perkara mudah baik bagi Castillo atau Fujimori. Bedanya, jika Fujimori yang menang, maka dia akan berusaha mati-matian membersihkan namanya sendiri, sementara Castillo bakal dibuat tertekan karena sejumlah kasus korupsi menjangkiti sejumlah elite partai penyokongnya.
Namun Freeman optimistis. Ia menyorot sisi terang pada iklim pengadilan. Jaksa dan para hakim jauh lebih gencar mengusut kejahatan korupsi dibandingkan dengan negara lain di kawasan sekitar yang berjibaku dengan masalah serupa seperti Meksiko atau Kolumbia. Terbukti lima eks-presiden sudah pernah ditahan atau setidaknya diusut kasusnya. Freeman optimistis apabila presiden baru nanti juga menyeleweng, mereka bisa diusut dan berpeluang lengser dari kursi empuknya.
Editor: Rio Apinino