tirto.id - Satu hari di bulan Juli 2019, Bambang Soesatyo yang masih menjabat Ketua DPR dan kini menjadi Ketua MPR datang menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara untuk membicarakan perkara Partai Golkar. Bamsoet turun dari Tesla Model X, mobil listrik seharga Rp2,6 miliar yang berpintu gull-wing.
Bamsoet tidak hanya punya satu unit Tesla--jenama asal Amerika Serikat yang didirikan miliuner Elon Musk--tapi empat. Yang teranyar adalah Tesla Cybertruck dengan harga termurah sekitar Rp550 juta. Dua lainnya adalah Tesla Model 3 dan Tesla Model S. Keduanya punya harga lebih dari Rp1 miliar. Bamsoet masih punya mobil mewah lain seperti Land Rover, Bentley Mulsanne, Jeep Rubicon, Rolls-Royce Phantom, Lamborghini, Ferrari, Hummer H2, dan motor Harley-Davidson.
Nilai kendaraan Bamsoet, berdasarkan laporan kekayaan 2020 yang diakses lewat elhkpn.kpk.go.id, mencapai Rp18,56 miliar. Sementara total harta kekayaan mencapai lebih dari Rp127 miliar.
Perjalanan Bamsoet di legislatif dimulai pada 2009. Dia terpilih dari daerah pemilihan Jawa Tengah VII yang meliputi Kabupaten Kebumen, Purbalingga, dan Banjarnegara.
Tiga wilayah tersebut masih belum mapan perekonomiannya. Menurut Badan Pusat Statistik Jateng, pada 2014, ketiganya termasuk lima besar daerah dengan persentase penduduk miskin terbanyak di seantero Jawa Tengah. Kebumen 20,50%; Purbalingga 19,75%; dan Banjarnegara 17,77%. Persentase di Kebumen memang turun menjadi 16,82% pada 2019, tapi pada tahun tersebut pula kabupaten ini menjadi daerah dengan persentase penduduk miskin paling tinggi di Jateng.
Mewakili Kepentingan Kelas
Pada Oktober 2019, Tempo dan Auriga Nusantara menemukan sedikitnya 262 anggota dewan berlatar belakang pengusaha, dengan lini bisnis termasuk perdagangan umum hingga industri ekstraktif. Sementara penelitian Marepus Corner menyebut angka lebih banyak: 318, alias setara 55 persen total anggota dewan. Sementara menurut catatan Katadata, kelompok masyarakat yang paling banyak di Indonesia adalah menengah, rentan, dan miskin yang punya penghasilan di bawah Rp6 juta dan masuk dalam kelas pekerja.
Bamsoet hanya satu contoh yang menunjukkan lebarnya jurang antara wakil rakyat dan konstituen.
Di banyak negara, banyaknya legislator yang punya pendidikan atau harta kekayaan lebih dari rata-rata warga negara yang mereka wakilkan. Di Amerika Latin, menurut studi Nicholas Carnes dan Noam Lupu, 70-90% warganya adalah pekerja kerah biru, tapi hanya 5-20% anggota parlemen yang berlatar belakang sama. Sisanya borjuis.
Memang tidak mengherankan mengapa orang-orang yang memiliki akses terhadap sumber dayalah yang bisa masuk parlemen menjadi wakil rakyat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkali-kali menyatakan bahwa biaya politik di Indonesia mahal sehingga menjadi salah satu sebab korupsi.
Tidak jadi persoalan seandainya apa yang diperjuangkan orang berduit ini sama dengan kepentingan mayoritas masyarakat, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan lewat kebijakan-kebijakan redistribusi ekonomi. Masalahnya tidak demikian, berdasarkan riset terbaru dari Burhanuddin Muhtadi, Edward Aspinall, dkk. berjudul “When Does Class Matter? Unequal Representation in Indonesian Legislatures” (2021) yang terbit di jurnal Third World Quarterly.
Burhanuddin, dkk menguji apakah persepsi para legislator sesuai dengan keinginan kelas pekerja. Mereka menyurvei pandangan anggota legislatif di DPRD dan para pemilih. Ada tiga tema utama kebijakan ekonomi yang ditanyakan, yaitu redistribusi kekayaan, intervensi negara, dan yang berkaitan dengan pihak luar negeri.
Para peneliti menemukan bahwa pandangan politisi lebih selaras dengan pemilih kelas atas; lalu dalam beberapa isu lain seperti kontrol harga menggunakan subsidi--yang sudah lama diterapkan dan memberikan keuntungan bagi sebagian besar masyarakat--kebanyakan sepakat. Di sisi lain, para politikus sepakat dengan isu yang disebut terakhir mencerminkan ketergantungan mereka terhadap negara.
“Kesenjangan antara pemilih dan politikus melebar secara substansial pada masalah redistribusi ekonomi,” catat Burhanuddin, dkk. “Mereka umumnya menentang tunjangan untuk pengangguran dan melawan peningkatan pajak dalam rangka memperluas kesejahteraan bagi si miskin.”
Hanya 38% anggota DPRD yang setuju dengan peningkatan pajak yang hasilnya dipakai untuk publik atau membiayai orang-orang miskin. Sedangkan publik yang menghendaki itu sebanyak 62%. Publik juga lebih sepakat dengan kebijakan bantuan bagi para penganggur, 69%, sementara para politikus yang setuju cuma 45%.
Setelah menjabarkan angka-angka tersebut, Burhanuddin, dkk. kemudian membagi responden dari warga menjadi enam kategori: berpenghasilan kurang dari Rp1 juta per bulan; lebih dari Rp4 juta per bulan; berpendidikan sampai atau setingkat SD; berpendidikan sampai kuliah, kalangan profesional, dan kelas pekerja.
Hasilnya, kelompok berpenghasilan dan berpendidikan tinggi cenderung sepakat dengan politikus. Sedangkan kelas pekerja, berpenghasilan rendah, dan tidak mengenyam pendidikan tinggi beriringan satu sama lain.
Dalam isu bantuan untuk para penganggur, kelompok yang tidak punya pendidikan tinggi hanya sesuai 65% dengan wakil rakyat, sedang mereka yang berpendidikan tinggi sesuai sampai 82%. Mereka yang berpenghasilan rendah punya kesesuaian 62%, sedangkan yang berpenghasilan tinggi 80%.
Jelas bahwa para penghuni parlemen lebih nyaman memperjuangkan kepentingan kelompoknya ketimbang mereka yang harusnya diwakilkan. “Pendeknya, anggota legislatif menolak menaikkan pajak untuk mendistribusikannya kepada masyarakat miskin dan selaras dengan preferensi warga yang berlatar belakang sosial-ekonomi kelas atas,” demikian kesimpulan Burhanuddin, dkk.
Absennya Partai Kiri
Dalam Do Voters Dislike Working-Class Candidates? Voter Biases and the Descriptive Underrepresentation of the Working Class (2016), Lupu dan Carnes mencoba menelaah mengapa kelas pekerja sering kali tidak terwakilkan di parlemen, dan oleh karenanya aspirasinya juga jarang terwakili, dengan melakukan survei di tiga negara: Amerika Serikat, Inggris, dan Argentina, melibatkan lebih dari 7.000 responden.
“Banyak faktor yang bisa dipertimbangkan mengapa kelas pekerja tidak cukup terwakilkan, tapi bias pemilih bukan yang utama,” catat Lupu dan Carnes. Pakar dan media memerankan hal penting di sini. Mereka secara tak langsung ikut mengecilkan kelas pekerja dengan memandang bahwa “pemilih lebih menyukai orang yang kaya.”
“Ada sebab lain yang juga mungkin berpengaruh, seperti tidak cukup waktu dan uang (bagi kelas pekerja), sikap sinisme, tidak adanya dorongan dari pelaksana pemilu.”
Dalam konteks Indonesia, Burhanuddin, dkk. mengatakan representasi kelas bawah dalam ruang-ruang politik formal amat sulit karena sejarah kelam. Ketidakterwakilan kelas pekerja karena partai kiri yang memperjuangkannya, Partai Komunis Indonesia (PKI), dihabisi oleh Soeharto.
“Di tahun 1950-an dan 1960-an PKI adalah kekuatan utama, menarik minat kaum intelektual, pekerja, dan petani. Seiring pembantaian militer terhadap para simpatisan partai 1965-66, Orde Baru membubarkan dan melarang PKI serta menekan politik sayap kiri selama lebih dari 30 tahun ke depan.”
Dalam penelitian lain Burhanuddin, dkk berjudul "Mapping Indonesian Political Spectrum" (2018), ditemukan bahwa sebagian besar partai di Indonesia mengambil posisi di tengah-kanan. Posisi paling kanan adalah PKS, sedang yang berada paling kiri bukan PDIP, tapi Partai Demokrat. Catatan: kiri di sini berarti liberal/progresif, sementara kanan konservatif.
Memang Burhanuddin, dkk. menemukan bahwa “PDIP cenderung diposisikan condong ke kiri dalam sebagian besar isu.” Tapi hasil survei tidak serta-merta selaras dengan kebijakan. Galang Geraldy dalam "Ideologi dan Partai Politik: Menakar Ideologi Politik Marhaenisme di PDIP, Sosialisme Demokrasi di PSI dan Islam Fundamentalisme di PKS" (2019) menganggap paham itu bisa jadi hanya di mulut. Pada kenyataannya tindakan PDIP dalam beberapa kesempatan “menimbulkan kontroversi.”
Misalnya pada 2003, ketika Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum PDIP, menjabat presiden. Ketika itu keluar UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang melegalisasi sistem kerja kontrak dan outsourcing--yang merentankan para pekerja. Atau ketika kader mereka yang merupakan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo membangun pabrik semen di pegunungan kendang, Kabupaten Rembang, yang justru merugikan para petani sekitar.
Dalam konteks yang lebih terkini juga contohnya tidak kalah banyak. Namun yang paling mencolok adalah RUU Cipta Kerja yang akhirnya disahkan sebagai undang-undang di tengah tentangan keras masyarakat.
Keterwakilan kelas pekerja di parlemen menjadi penting untuk mencegah keputusan-keputusan semacam ini. Sebagaimana dinyatakan Carnes dalam "Does the Numerical Underrepresentation of the Working Class in Congress Matter?" (2012):
“Latar belakang legislator punya efek tersendiri terkait bagaimana mereka memilih soal kebijakan ekonomi... Kekurangan wakil kelas pekerja di Kongres membuat pemungutan suara berpihak pada kebijakan ekonomi konservatif yang sering dianggap sebagai keuntungan masyarakat kelas atas dan sejalan dengan preferensi kebijakan subjekif kaum berduit.”
Tanpa perwakilan kelas pekerja dan masyarakat terpinggirkan lain, situasi parlemen di Indonesia tak bakal banyak berubah. Parlemen sekadar perpanjangan tangan partai dan bersama pemerintah menjadi pengelola urusan-urusan kaum borjuis.
Editor: Rio Apinino