tirto.id - Apakah semua partai politik di Indonesia seragam? Benarkah beberapa partai menghendaki pembaruan (reform) ketimbang yang lainnya? Apa betul partai-partai tertentu membela kepentingan bisnis sementara sisanya merasa bersanding dengan kaum miskin? Apakah pemetaan partai di Indonesia berdasarkan spektrum ideologis “kiri” dan “kanan” masuk akal?
Sepanjang 20 tahun lebih Indonesia mempraktikkan demokrasi, jawaban umum untuk pertanyaan-pertanyaan di atas adalah tidak, tidak, tidak, dan tidak. Banyak pengamat telah menunjukkan bahwa dalam hal kebijakan dan ideologi, partai-partai Indonesia nyaris sulit dibedakan. Satu-satunya keterbelahan (division) yang jelas dalam dunia kepartaian Indonesia adalah soal sebesar apa partai mendudukkan peran Islam dalam kehidupan publik.
Para peneliti sampai pada kesimpulan tersebut, khususnya dengan mengamati perilaku dan interaksi antarpartai. Para peneliti ini seringkali pula melontarkan komentar yang jamak terdengar: perbedaan ideologis antara partai Islam dan non-Islam tidak tak ada kaitannya dengan perbedaan program dalam ranah-ranah vital seperti kebijakan sosial dan keuangan. Ilmuwan politik seperti Dan Slater dan Kuskridho Ambardi berpendapat bahwa politik Indonesia didominasi oleh "kartel" partai yang dicirikan oleh keinginan bersama untuk bagi-bagi jatah jabatan (spoils of office) alih-alih perbedaan ideologi atau kebijakan. Akibatnya, partai-partai Indonesia sangat terbuka untuk menjalin "koalisi pelangi" yang sangat luas, beragam secara ideologis, serta terdiri dari partai Islam dan non-Islam.
Tapi ada cara lain untuk menjajaki perbedaan dan pengerucutan (convergence) ideologis, yakni dengan memeriksa persepsi para elit politik mengenai kecenderungan ideologis baik partai mereka sendiri maupun partai saingan. Meskipun survei atas elit politik lazim dilakukan dalam penelitian komparatif, dalam kasus Indonesia kami tak memiliki data yang komprehensif tentang bagaimana politisi memandang posisi partai mereka dalam isu-isu penting. Itu sebabnya kami kesulitan mengukur secara akurat pijakan ideologis partai-partai Indonesia dalam pelbagaidimensinya yang boleh jadi punya peran dalam menata politik negeri ini.
Persepsi ideologis penting adanya. Seandainya pun partai-partai ini mau bekerja sama untuk berbagi kekuasaan—seperti yang ditekankan oleh tesis tentang kartel partai—masih mungkin mereka mempromosikan visi ideologis dan kebijakan yang berbeda begitu menjabat.
Ada sejumlah alasan untuk percaya bahwa pandangan ideologis partai di Indonesia beragam, khususnya mengingat fakta bahwa ada partai-partai dengan latar belakang yang sangat berlainan. Partai Golkar, misalnya, adalah kendaraan elektoral rezim otoriter Soeharto, sementara Partai Amanat Nasional (PAN) didirikan oleh Amien Rais, salah satu tokoh gerakan Reformasi yang mendorong lengsernya rezim Orde Baru. Tepatkah jika kita berekspektasi bahwa politisi dari kedua partai bakal memiliki pandangan berbeda tentang sistem politik pasca-Reformasi?
Guna menghimpun data sistematis tentang pandangan para elit partai, pada akhir 2017 dan awal 2018 Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan Australian National University (ANU), melakukan survei terhadap 508 responden yang dipilih secara acak dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Responden-respondennya dipilih dari anggota legislatif yang berasal dari 31 provinsi di Indonesia (tiga provinsi lainnya, Kalimantan Utara, Papua Barat, dan Sulawesi Barat tak lolos sebagai sampel), dengan pertimbangan bahwa mereka mewakili keseluruhan populasi nasional anggota DPRD provinsi. Survei kami meliputi sejumlah besar isu, termasuk penyikapan para legislator terhadap demokrasi, pandangan keagamaan, latar belakang keluarga dan profesi, serta apa yang mereka pikirkan tentang isu-isu politik utama saat itu.
Dalam naskah yang bakal diterbitkan kelak, kami akan menganalisis materi yang ada secara terperinci, lalu membandingkan pandangan para elit partai dengan persepsi penduduk Indonesia secara keseluruhan. Dalam tulisan ini, kami hanya ingin menyoroti hasil survei tentang keragaman partai di Indonesia, dan menawarkan sejumlah pemikiran tentang bagaimana temuan-temuan ini berkontribusi pada perdebatan yang sedang berlangsung tentang struktur dan keterwakilan sistem kepartaian di Indonesia hari ini.
Temuan Survei
Untuk menakar ideologi partai, kami meminta responden mendudukkan posisi partai masing-masing dalam konteks sembilan pertanyaan kunci tentang ideologi. Jawaban mereka akan diberi skor 1-10. Kemudian kami menghitung rata-rata skor tiap responden guna menempatkan partai pada spektrum ideologis berdasarkan isu. Untuk memastikan apakah partai-partai ini punya sikap berlainan seputar kebijakan ekonomi, misalnya, kami mengajukan pertanyaan seperti: “Jika diukur melalui skala 1 sampai 10, di mana 1 berarti ‘partai yang mendorong pemerataan ekonomi’ dan 10 berarti ‘partai yang mendorong pertumbuhan ekonomi’, di mana Ibu/Bapak menempatkan partai politik Ibu/Bapak sendiri?”
Dalam banyak pertanyaan, kami menemukan bahwa sebagian besar partai mengerucut di sekitar posisi tengah spektrum—kadang menjorok ke “kanan”, kadang pula condong ke arah “kiri”.
Namun, seolah membenarkan asumsi umum dalam studi-studi yang ada, satu-satunya ranah isu yang memunculkan diferensiasi ideologi yang tegas dan konsisten adalah agama. Dalam dua pertanyaan yang kami ajukan seputar peran agama dalam politik, jawaban para responden tersebar di jangkauan skor yang relatif melebar.
Kami menanyakan responden tentang sejauh mana partai mereka berpijak pada Pancasila—ideologi resmi negara yang menyiratkan posisi pluralis. Skor 1 diberikan untuk Pancasila, sementara skor 10 untuk Islam. Dengan ukuran ini, partai yang paling Islami dari sudut pandang kadernya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dengan skor rata-rata 7,22. Sedangkan yang paling Pancasilais adalah PDI-P dengan skor rata-rata 1,82.
Dua partai dengan posisi saling berkebalikan ini dipisahkan oleh jurang skor yang cukup signifikan: 5,4. Jika dua partai ini tidak dihitung, jarak skor antara partai-partai yang mengambil sikap berbeda ini pun masih cukup besar, yakni 3,4. Posisi rata-rata semua partai (3,27) lebih condong ke Pancasila daripada Islam.
Sebuah pertanyaan lain tentang agama membenarkan temuan di atas, sekaligus menunjukkan persebaran posisi yang mencolok namun kurang tajam. Kami menanyakan responden apakah mereka menilai partainya sendiri sebagai partai yang menghendaki agar Islam punya peran politik lebih kecil (1) atau lebih besar (10). Pada titik ini, jawaban responden condong secara signifikan ke kanan—hanya dua partai yang mendapat skor di bawah 5 (lihat tabel di bawah).
Temuan ini menunjukkan bahwa menurut rata-rata politisi daerah, masing-masing partai mereka menghendaki agar Islam punya peran yang lebih menonjol dalam politik. Meski demikian, ada keragaman posisi yang signifikan di antara partai-partai tersebut dalam isu Islam dan politik—ada jarak 3,79 poin antara partai berskor terendah (lagi-lagi PDI-P) dan tertinggi (masih PPP).
Soal apakah mereka menginginkan peran politik yang lebih besar atau kecil untuk Islam, empat partai berbasis Islam bertemu dalam satu kluster yang condong ke sebelah kanan spektrum. PDI-P dan Partai Nasdem adalah satu-satunya partai yang rata-rata anggotanya sepakat menginginkan peran yang lebih sedikit untuk Islam. Sementara itu, empat partai lainnya bertemu di sebelah kanan tengah. Dalam skala sebelumnya tentang Pancasila vs. Islam, sebaran posisi partai-partai ini jauh lebih luas.
Perlu diperhatikan bahwa sekalipun ada perbedaan respons yang jelas di antara partai terkait peran agama dalam politik, keseluruhan partai-partai ini tidak terpolarisasi tajam oleh isu tersebut. Dengan kata lain, kita tidak menyaksikan pengelompokan partai di ujung-ujung spektrum yang berlawanan. Dilihat secara keseluruhan, temuan-temuan yang ada menunjukkan bahwa banyak anggota DPRD provinsi yang kami wawancarai tidak memandang Pancasila sebagai patokan nilai yang menyiratkan komitmen pelaksanaan kebijakan-kebijakan sekuler.
Jurang antara respons pluralis dan Islam juga muncul ketika kami mengajukan pertanyaan yang lebih umum kepada responden: apakah mereka sepakat jika “semua partai politik Indonesia menganut ideologi yang sama”? Rata-rata, kader partai Islam (PPP, PKS, PAN dan PKB) dan PDI-P—yang dinilai oleh masing-masing responden sebagai alternatif yang paling pluralis—tak sepakat dengan dengan pernyataan tersebut. Sementara Golkar beserta partai-partai bentukan mantan elite Golkar (Nasdem, Gerindra, dan Hanura), dan Partai Demokrat yang didirikan mantan Presiden Yudhoyono, rata-rata sepakat bahwa partai-partai Indonesia memiliki ideologi serupa (klik untuk memperbesar tabel di bawah ini).
Bagaimana dengan isu-isu lain yang boleh jadi mengukir corak persaingan partai? Di banyak negara, terutama di Eropa, Amerika Utara dan Selatan dan Australasia, para pemimpin partai beserta kader-kadernya dengan mudah menempatkan partai mereka dalam spektrum kiri-kanan. Definisi "kiri" dan "kanan" bisa dan memang bervariasi.
Namun demi tujuan penelitian survei, kita bisa mendefinisikan prinsip ideologi kiri sebagai dukungan atas campur tangan negara di bidang ekonomi, redistribusi kemakmuran melalui anggaran kesejahteraan, serta kebijakan-kebijakan sosial progresif yang menyokong hak-hak perempuan dan minoritas. Kita juga bisa mendefinisikan partai sayap kanan sebagai partai yang mendukung kebijakan ekonomi berorientasi pasar, menolak program-program kesejahteraan sosial yang mahal untuk mengurangi ketidaksetaraan ekonomi, serta mendukung posisi konservatif dalam isu-isu sosial dengan dalih membela nilai-nilai tradisional.
Istilah kiri-kanan jarang digunakan dalam wacana politik sehari-hari di Indonesia, sebagian karena ide-ide politik kiri yang sifatnya eksplisit dihancurkan oleh rezim Suharto setelah Partai Komunis Indonesia dibantai habis pada 1965-1966. Meski begitu, kami pikir sangat tepat jika kami memeriksa apakah elit-elit partai memandang partai mereka sendiri dalam skema kiri-kanan. Kami bertanya apakah para politisi menilai partainya berorientasi “kiri” atau “liberal/progresif” (1) versus orientasi “kanan” atau “konservatif” (10). Hasilnya? Hampir semua partai di Indonesia mengambil posisi kanan-tengah. Penekanannya pada ke “tengah” alih-alih ke pinggir.
Guna menghindari kerancuan istilah, sebelum responden sampai pada bab kiri-kanan dalam kuesioner ini, kami mengajukan serangkaian pertanyaan yang menurut kami bisa mewakili bias kiri dan kanan. Misalnya, kami bertanya apakah mereka melihat partainya sebagai partai yang “mendorong pembaruan” (skor 1) atau ingin "mempertahankan tradisi" (skor 10). Ada sebaran titik yang signifikan di sini. Namun semua responden rata-rata menjawab lebih suka pembaruan (2.71) alih-alih mempertahankan tradisi, mulai dari Golkar (2.18) hingga PPP (4.55).
Kami juga bertanya kepada para politisi apakah partai mereka lebih menghendaki emansipasi perempuan (1) atau percaya bahwa perempuan harus berperilaku sesuai peran tradisional mereka (alias “berdasarkan ‘kodrat’”, skor 10). Di sini sebagian besar partai mengklaim mendukung emansipasi, dengan kisaran skor 2,66 (Nasdem) hingga 5,12 (PPP).
Apakah para politisi percaya bahwa partai mereka memperjuangkan cita-cita gerakan Reformasi (1), atau apakah mereka ingin kembali ke sistem yang digunakan oleh Orde Baru (10)? Mereka semua mengklaim mendukung Reformasi, dengan skor rata-rata 1,98. Menariknya, ketika menjawab pertanyaan ini, pandangan politisi dari Golkar beserta partai-partai pecahannya seperti Gerindra dan Hanura, tidak berbeda secara tajam dengan partai-partai yang paling diasosiasikan dengan gerakan Reformasi, khususnya PAN dan PDI-P.
Ketika menyangkut urusan ekonomi, sebagian besar partai ternyata memiliki kecenderungan statisme (penekanan pada peran negara). Kami bertanya apakah mereka lebih menyukai peran yang lebih besar untuk negara (1) atau sektor swasta (10) dalam ranah ekonomi. Rata-rata jawaban yang diberikan bervariasi dari Partai Gerindra dengan skor 3,05 hingga PKS dengan skor 4,88. Ketika ditanya apakah partai mereka lebih mewadahi kepentingan orang miskin (1) atau investor (10), semua responden menyatakan partai mereka lebih membela kepentingan kaum miskin, dengan rata-rata partai berkumpul di antara skor 2,09 (PKB) dan 3,34 (Golkar).
Masih terkait pertanyaan yang kami ajukan sebelumnya, yakni apakah partai memprioritaskan kesetaraan ekonomi (1) atau pertumbuhan ekonomi (10), partai yang paling pro-kesetaraan adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan skor 4,26, sedangkan partai yang paling pro-pertumbuhan ekonomi adalah Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dengan skor 5,58 (sedikit di atas tengah deret ukur, yaitu 5,5). Dengan sedikit variasi di sepanjang deret ukur (4,26-5,58), dan skor rata-rata seluruh partai 4,99, kita dapat menyimpulkan bahwa semua partai Indonesia merasa harus mengejar keseimbangan antara egalitarianisme dan pertumbuhan ekonomi.
Publiknya Heterogen, Partainya Homogen?
Ada beberapa pola yang nampak dalam data kami: PDI-P cenderung diposisikan condong ke kiri dalam sebagian besar isu, sementara PPP ada di posisi kanan-jauh, setidaknya dilihat dari responsnya terhadap isu-isu sosial atau agama.
Kendati demikian, secara keseluruhan temuan kami memberikan gambaran ajeg tentang pengerucutan ideologis partai di berbagai ranah isu—kecuali agama. Bahkan ketika perbedaan skornya kecil, para politisi menuntut partai mereka mengambil suatu sikap yang mencerminkan asumsi dasar yang kerap muncul dalam studi-studi politik Indonesia: bahwa partai-partai ini pada dasarnya berbeda—atau hanya bisa bisa dibedakan—dari penyikapannya atas peran Islam dalam kehidupan publik dan politik.
Temuan-temuan ini merangsang pertanyaan lebih lanjut tentang representasi politik di Indonesia hari ini. Misalnya: apakah pemilih membeda-bedakan partai dengan cara yang sama seperti elit-elitnya serta mendudukkan pilihan politik mereka seturut agama? Apakah partai secara akurat mewakili konstituen mereka dalam hal agama dan pemerintahan sekuler?
Terlepas dari minimnya perbedaan sikap antar partai di banyak isu, benarkah preferensi kebijakan para politisi masih selaras dengan publik pemilih? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang bakal kami dalami dalam makalah yang terbit kelak. Dengan secara sistematis mengukur perspektif elit tentang ranah-ranah kebijakan inti dan membandingkannya dengan preferensi masyarakat, kita dapat menjajaki seberapa baik sistem politik Indonesia berfungsi mewakili kepentingan dan ideologi warganya.
=====
Tulisan ini diterjemahkan oleh Windu Jusuf dari"Mapping Indonesian Political Spectrum"yang dimuat di New Mandala pada 24 April 2018. Penerjemahan dan penerbitan di Tirto atas seizin para penulis dan penerbit.
Editor: Zen RS