tirto.id - Ada banyak partai di masa pergerakan nasional. Indische Partij, yang beranggotakan bumiputra dan Indo, adalah partai pertama pada 1913. Setelahnya Sarekat Islam mendaulat diri sebagai Partai Sarekat Islam (PSI) pada 1920. Belakangan PSI menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia. Begitu pula kaum komunis yang belakangan memakai nama Partai Komunis Indonesia. Pada 1928, Perserikatan Nasional Indonesia berubah nama menjadi Partai Nasional Indonesia. Tak lama usai berdiri, para anggota partai-partai ini digebuki pemerintah kolonial.
Namun, meski situasi politik menghambat mereka, kaoem terprentah ini tak kapok berpartai. Setidaknya ada Partai Indonesia dan Partai Indonesia Raya. Di antara partai-partai tadi, PSI atau PSII, Parindra, PNI, PKI termasuk partai dengan banyak pengikut di zaman pergerakan pada awal abad ke-20. Mereka punya beberapa cabang dan kader di tiap daerah Jawa, bahkan di luar Jawa. Partai seperti Parindra dan PSI bahkan memiliki wakil di parlemen kolonial bernama Volksraad alias Dewan Rakyat.
Di masa pendudukan Jepang (1942-145), partai-partai pergerakan nasional mati suri. Setelah Indonesia merdeka dan dikeluarkan Maklumat 3 November 1945 dari Wakil Presiden Mohammad Hatta, partai-partai diperkenankan hidup kembali. Partai-partai yang tenggelam segera muncul lagi seperti PKI atau PNI.
Banyak kader PSI masuk ke Masyumi. Muncul juga partai baru, di antaranya Partai Sosialis dengan Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin sebagai pemimpinnya. Partai ini kemudian pecah dan Sjahrir membangun Partai Sosialis Indonesia.
Tak jarang partai-partai yang baru muncul pada 1945 ini punya pasukan yang terlibat dalam revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) melawan tentara Belanda. Mereka adalah laskar paramiliter. Setelah 1950, usai tentara Belanda hengkang dari Indonesia, partai-partai itu masih eksis. Sepanjang sejarah partai di Indonesia, sebelum Pemilu 1955, belum terlihat secara pasti bagaimana pengaruh partai-partai itu dalam kehidupan politik.
Di masa revolusi, dengan berkuasanya Syahrir dan Syarifuddin, Partai Sosialis tampak kuat. Bahkan punya laskar bernama Pesindo yang terkenal solid persenjataannya ketimbang yang lain. Setelah Partai Sosialis pecah dan hanya tersisa PSI, partai yang dipimpin Syahrir ini dalam Pemilu 1955 hanya di urutan 8, memperoleh 5 kursi di parlemen.
Menurut data KPU, partai dengan jumlah suara terbesar di Pemilu 1955 adalah PNI, dengan pemimpinnya Sukarno, mendapatkan 57 kursi. Disusul Masyumi dengan 57 kursi; NU 45 kursi; PKI 39 kursi; PSII 8 kursi; Partai Kristen Indonesia 8 kursi; dan Partai Katolik 6 kursi.
Partai-partai di atas itu punya sejarah panjang sejak masa pergerakan nasional. Sementara kebanyakan partai dengan perolehan suara dan kursi di bawah PSI adalah partai-partai baru sesudah kemerdekaan Indonesia. Kebanyakan hanya memperoleh tak lebih dari 2 bahkan satu kursi dalam Pemilu 1955. Partai-partai baru inilah yang biasa disebut partai gurem.
Yang termasuk partai gurem ini—dan hanya memperoleh dua kursi—meliputi Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI), Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS), Partai Buruh dan Partai Rakyat Nasional. Sementara yang mendapat satu kursi: Baperki, Persatuan Indonesia (PIR) Wongsonegoro, Grinda, Persatuan Rakyat Marhaen (Permai), Persatuan Daya, PIR Hazirin, Partai Tharikh Islam (PPTI), AKUI, Persatuan Rakyat Desa, Partai Rerpubli Indonesia Merdeka (PRIM), dan Angkatan Comunis Muda (Acoma).
Seperti ditulis Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Islam 2 (2015), partai gurem bermunculan karena “ada sistem multipartai menyusul bermunculan partai-partai gurem yang sangat banyak. Tidak lagi memenuhi syarat kepartaian yang mempunyai perwakilan dan pengaruh di seluruh Nusantara.”
Setelah Soeharto berkuasa sesudah banjir darah tahun 1965-1966 yang dibantu CIA, jumlah partai makin dipangkas. Jika PNI berjaya di masa Sukarno, maka di masa Soeharto partai ini cukup suram. Di Pemilu 1971—pemilihan umum pertama sejak Soeharto mengatur pemerintahan pada 1967—PNI hanya dapat 20 kursi.
Pemilu 1971 itu, PSII sebagai partai dengan sejarah panjang hanya dapat 10 kursi, Partai Katolik hanya 3, Permusi 24, Partai Kristen 7, dan Perti hanya 2 suara. Masa Soeharto ini adalah masa jaya Golkar—semula gabungan pelbagai faksi anti-Sukarno—yang mendapatkan 236 kursi.
Di pemilu 1971, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia yang dikenal sebagai partai Angkatan Darat justru tak memperoleh kursi. Begitupun Partai Murba yang ditinggalkan Adam Malik. Di awal Orde Baru barangkali dua partai ini bisa digolongkan sebagai partai gurem.
Pada 10 Januari 1973, pemerintah Soeharto mengenalkan apa yang disebut “fusi parpol”—menggabungkan aliran partai hanya menjadi tiga. Meski Murba dan IPKI pernah berseberangan, keduanya ikut berfusi bersama Partai Katolik, Parkindo, dan PNI dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai berhaluan Islam berfusi juga dalam Partai Persatuan Pembangunan. Satunya adalah Golkar, partai penguasa.
Indonesia-nya Orde Baru mulai terlihat mendisiplinkan politik anti-politik dan mengenalkan “wadah tunggal”, atau mayoritas tunggal, dalam segala sektor dan profesi, untuk mendukung negara dan mengharamkan ragam asosiasi alternatif. Setahun setelah peringkusan parpol itu, rezim Soeharto juga memberangus surat kabar yang kritis terhadap pemerintah termasuk Indonesia Raya. Di tahun 1970-an ini, orang-orang eks-Pulau Buru telah kembali ke Jawa dan dikenalkan “bersih lingkungan”—melapor rutin sebagai praktik pengawasan yang kelak terbawa terus kepada anak-cucu mereka.
Di tingkat elite, Pemilu 1977 cuma jadi ajang rutin lima tahunan, yang sudah pasti pemenangnya adalah Golkar. Tak ada istilah partai gurem. Partai paling buncit dalam perolehan suara saja seperti PDI memperoleh 29 kursi, PPP 99 kursi, dan Golkar 323 kursi. Golkar selalu nomor satu, disusul PPP dan PDI. Begitu terus hingga Pemilu 1997.
Kembali Marak tapi Cuma Jadi Pesorak
Partai-partai gurem muncul lagi pada 1999. Euforia selepas Soeharto lengser membangkitkan kembali ingatan pada Pemilu 1955 yang semarak dan orang bebas bicara mengungkapkan pendapat politiknya yang sebelumnya dibungkam di masa Orde Baru. Ada 48 partai yang ikut serta dalam Pemilu 1999. Hasilnya, hanya 20 partai yang mendapatkan kursi. Setelah perhitungan suara, bersama Partai Keadilan yang sebetulnya dapat 7 kursi, 26 partai gurem menolak menandatangani hasil Pemilu 1999.
Di pemilu-pemilu setelahnya, partai-partai gurem juga terus ada. Ada yang tidak lolos seleksi. Ada pula yang lolos verifikasi dari KPU tetapi tak memperoleh satu kursi pun di parlemen. Tak jarang lahir partai-partai baru yang asal jadi saja—asal mendeklarasikan diri supaya diliput media—sekalipun alamat sekretariatnya tidak jelas-jelas amat.
“Hanya mempunyai nama partai dan dipimpin sekelompok kecil pengurus pusat, yang sebenarnya nama-namanya pun tak dikenal oleh orang di kota tempat berdirinya partai tersebut, dan tidak memiliki latar sejarah pada masa kebangkitan kesadaran nasional Indonesia,” tulis Ahmad Mansur.
Setelah reformasi, nasib PDI—yang dulu dibikin oleh orang suruhan Soeharto untuk menandingi Megawati Sukarnoputri jelang senjakala Orde Baru—beda jauh dengan PDI Perjuangan. “PDIP yang merupakan sempalan PDI menjadi partai besar yang setara Golkar, dan PDI sendiri menjadi partai gurem,” tulis Firmansyah dalam Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas (2007).
Menurut Firmansyah setelah 2004, PDI lama menghilang. PPP juga bernasib sama. Sementara Golkar hanya alami penurunan perolehan suara setelah reformasi. Namun, seperti lambangnya, masih banyak pengikut loyal yang mengakar. Banyak partai yang baru muncul setelah reformasi, menurut Firman, hanya jadi partai gurem, misalnya Partai Bintang Reformasi.
Baru-baru ini publik Indonesia diramaikan oleh kehadiran Partai Islam Damai Aman alias Partai Idaman. Pelopornya raja dangdut Rhoma Irama. Meski sempat gagal mendapatkan status berbadan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM, akhirnya pada 13 Desember 2016 partai ini resmi diakui secara legal. Orang sudah ragu partai ini bakal kuat dan menandingi partai yang sudah berdiri kokoh—yang telah memiliki jaringan oligarki. Partai Idaman, tak seperti namanya, diprediksi hanya akan jadi salah satu partai gurem bersama partai-partai lain yang mati segan hidup sungkan dalam sejarah kepartaian Indonesia.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam