Menuju konten utama

Pengikut Kristus untuk Kemerdekaan Indonesia

11 desain uang kertas rupiah yang baru telah dirilis oleh Bank Indonesia. Ada yang mempersoalkan: mengapa lima di antaranya memajang gambar orang non-Muslim?

Pengikut Kristus untuk Kemerdekaan Indonesia
Foto Kombo, Deret pertama, dari kiri ke kanan, Johannes Leimena , Alexander Jacob Patty, Johannes Latuharhary, Todung Sutan Gunung Mulia, Amir Syarifuddin, Sam Ratulangie, (deret kedua), Tahi Bonar Simatupang, Frans dan Alex Mendur, Jahja Daniel Darma. (deret ketiga) Wolter Mongisidi, Pierre Tandean, Maria Walanda Maramis, Agustinus Adisucipto dan Yos Sudarso. [Foto-foto/wikipedia.org]

tirto.id - Bank Indonesia baru saja mengeluarkan uang kertas baru yang menampilkan gambar wajah 11 tokoh sejarah yang berjasa bagi Indonesia. Perdebatan wajar saja mencuat. Namun di masa ketika semangat politik identitas sedang kencang-kencangnya, perdebatan menyoal hal-hal yang sama sekali tidak substansial.

Begitu gambar uang kertas yang baru muncul di media massa, dengan cepat pula bermunculan tanggapan yang menganggap desain uang kertas sangat mirip dengan desain uang kertas Yuan, mata uang China. Upaya memamaparkan kemiripan desain uang kertas rupiah yang baru dengan desain uang kertas Yuan itu dengan lekas menjadi viral di media sosial.

Tak hanya itu, muncul juga tanggapan yang mempersoalkan komposisi latar belakang keagamaan yang dianut 11 tokoh. Ada yang mengeluhkan mengapa di negeri yang mayoritasnya beragama Islam, 11 desain uang kertas yang baru malah memajang lima tokoh yang non-muslim. Lima tokoh yang dimaksud adalah Sam Ratulangie, Frans Kaisiepo, I Gusti Ketut Pudja, T.B. Simatupang dan Herman Johannes.

Sejarah orang-orang kristen juga bagian dari sejarah Indonesia. Kristen, seperti halnya Islam, juga sudah lama masuk ke Indonesia. Menurut Garry van Klinken, dalam bukunya 5 Pengerak Bangsa Yang terlupakan: Nasionalisme Minoritas Kristen, kemungkinan, sebelum Borobudur dibangun, sudah ada orang-orang Kristen di Indonesia. Di sekitar pantai Sibolga, sisi pantai barat Sumatra Utara, terdapat gereja yang dibangun Kristen Nestorian dari Persia. Artinya, Kristen sudah ada di Indonesia jauh sebelum bangsa Belanda dan Portugis datang ke Indonesia.

Bersama masuknya Portugis ke Indonesia, agama Katolik perlahan masuk dan berkembang. Setelah Portugis ke Timor Leste, agama Katolik masih hidup dan perlahan berkembang. Prestasi besar perkembangan Katolik, barangkali benar-benar terjadi ketika Romo van Lith membaptis orang-orang Jawa di Sendangsono, Kulonprogo. Hingga 2010, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 6,9 juta penduduk Indonesia beragama Katolik. Dibanding Katolik, agama Kristen Protestan, yang dibawa orang-orang Jerman atau Belanda, juga masuk ke Indonesia dengan lebih masif lagi. Agama ini berkembang kuat di Tanah Batak dan Indonesia bagian Timur. Hingga 2010, menurut BPS juga, penganutnya mencapai 16,5 juta orang di Indonesia.

Di Indonesia timur, di masa kolonial, orang-orang Kristen pribumi lebih mendapat tempat dalam kehidupan kolonial. Pernah muncul stigma Kristen adalah agama penjajah karena banyak orang-orang Ambon atau Minahasa masuk birokrasi kolonial. Barangkali, masuknya orang-orang Kristen Ambon atau Minahasa dalam birokrasi itu tak lepas dari kebiasaan orang kristen bisa baca tulis huruf latin, karena kitab mereka menggunakan huruf latin. Huruf yang digunakan dalam surat menyurat kolonial adalah huruf latin. Sementara sebagian besar orang Indonesia lain ada yang terbiasa dengan huruf Arab atau huruf Jawa dan tentu saja lebih banyak lagi orang Indonesia buta huruf di masa kolonial. Itulah mengapa orang-orang Kristen dari Ambon dan Minahasa bisa dengan mudah masuk birokrasi, juga perusahaan swasta, era kolonial. Meski begitu, di luar suku Ambon dan Minahasa, banyak juga orang Jawa dan suku lain yang masuk birokrasi kolonial. Jadi tentu saja bukan Ambon Minahasa yang Kristen saja.

Dalam sejarah Indonesia, dari 168 Pahlawan Nasional, setidaknya ada 18 persennya beragama non Muslim. Mereka berasal dari penganut Kristen Protestan, Hindu, Budha, Katolik, dan agama lokal Indonesia. Republik Indonesia memang pada dasarnya dibangun oleh banyak keyakinan. Itu pula alasan mengapa sila pertama lebih netral dan tidak terpaku pada agama terbesar, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Orang Kristen dalam Perjuangan

Setelah munculnya Boedi Oetomo (1908) yang dianggap Jawa, diikuti Sarekat Dagang Islam (1911) yang dianggap manifestasi Islam, orang-orang Kristen mulai masuk gelanggang pergerakan. Tokoh indo Belanda Ernest Douwes Dekker, yang di tahun 1913 belum masuk Islam, bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat, sudah mendirikan Indische Partij (Partai Hindia) yang tak hanya menerima orang-orang Jawa atau Islam saja.

Jika semacam Boedi Oetomo dalam memajukan pendididikan, serdadu-serdadu KNIL Ambon, juga tergolong peduli pada pendidikan saudara-saudaranya. Mereka sering mengumpulkan uang untuk pendidikan sesama Ambon ke Ambonsche Studie Vond. Meski orang-orang Ambon yang jadi serdadu KNIL Belanda dianggap sadis pada Republiken, karena ulah sebagian dari mereka saja, sebenarnya banyak orang Ambon juga nasionalis.

Ambonschool adalah sekolah dasar kolonial khusus orang Ambon. Salah satu lulusannya yang encer otaknya, yang bernama Johannes Leimena alias Jo Leimena. Ia tak bisa diragukan lagi Keindonesiaannya. Sebagai pimpinan Jong Ambon, Jo Leimena hadir dalam Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Dia termasuk pemuda yang merasa dirinya Indonesia. Dia wakil orang Ambon disitu.

Sebelum Jo Leimena ikut Kongres Pemuda, ada pemuda Ambon yang lebih gila darinya. Namanya Alexander Jacob Patty. Pernah kuliah kedokteran juga seperi Jo. Jika Jo, yang lebih muda dari Patty, bersekolah kedokteran di STOVIA Jakarta, maka Patty di NIAS Surabaya. Jika Jo akhirnya lulus dan jadi dokter, Patty dikeluarkan karena berpolitik. Akhirnya hanya bisa jadi mantri saja. Patty pernah mendirikan Sarekat Ambon. Patty berusaha menggalang orang-orang Ambon dalam pergerakan nasional. Patty pernah dibuang ke Boven Digoel.

Selain Jo Leimena, ada orang Ambon yang bernama Johannes juga dalam pergerakan nasional. Johannes Latuharhary, nama orang itu. Dia lebih tua dari Jo Leimena dan AJ Patty. Dia baru pulang ketika Kongres Pemuda II. Dia baru ikut pergerakan setelah lulus sebagai Meester in Rechten dari Universitas Leiden, Negeri Belanda dan kemudian bekerja di Pengadilan Surabaya. Di mata orang-orang Ambon, Johannes Latuharhary dianggap orang Ambon pertama yang lulus kuliah hukum di Leiden. Belakangan, dia juga ikut memimpin Sarekat Ambon. Setelah jadi Hakim dan pimpinan pengadilan negeri di Jawa Timur, Johannes Latuharhary keluar dari Departemen van Justitie (Departemen Kehakiman Belanda) untuk fokus di pergerakan nasional.

Menjelang berdirinya Republik Indonesia, dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Johannes Latuharhary salah satu anggotanya. Setelah RI berdiri, Jo Leimena pernah jadi Menteri Kesehatan di masa revolusi dan belakangan menjadi orang kepercayaan Soekarno dengan menjadi Wakil Perdana Menteri. Lalu Johannes Latuharhary menjadi Gubernur Republik pertama di Maluku.

Di jajaran orang Minahasa, nama Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangie atau Sam Ratulangie adalah nama penting dalam sejarah. Dia ikut pergerakan nasional sejak muda dan jadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang rajin menentang kebijakan pemerintah kolonial yang merugikan rakyat Indonesia. Tentu saja Sam Ratulangie bukan satu-satunya Manado Kristen yang menentang pemerintah kolonial. Sudah ada sosok Thomas Najoan yang sosialis ikut gerakan buruh menentang pemerintah kolonial. Dia juga belakangan ikut di buang ke Boven Digoel. Setidaknya, dia berusaha kabur dari Digoel sebagai wujud perlawanannya kepada pemerintah kolonial.

Di kalangan Batak nama Todung Sutan Gunung Mulia dan Amir Syarifuddin juga tak bisa lepas dari pergerakan nasional. Gunung Mulia semula seorang guru yang pernah kuliah di Belanda. Pada 1935, dia menjadi anggota Volksraad. Mulia yang bermarga Harahap itu masih sepupu dengan Amir Syarifuddin. Amir Syarifuddin juga anggota Jong Batak ketika Kongres Pemuda 1928. Bahkan Amir adalah Bendahara Kongres.

Dua orang dari marga Harahap itu pernah jadi menteri Republik Indonesia. Gunung Mulia pernah jadi Menteri Pendidikan Republik Indonesia di masa kabinet Syahrir. Amir malah pernah jadi Perdana Menteri. Namun, akhir hidup Amir tragis karena Peristiwa Madiun. Tentu Amir tak disukai banyak orang Indonesia. Meski Amir, seperti juga Gunung Mulia, pernah ikut berjuang juga untuk menegakkan Indonesia. Alasan Amir tak disukai, pertama dia komunis meski berkeyakinan akhir Kristen. Kedua, karena Amir jelas dianggap murtad. Awalnya dia Muslim, namun kemudian masuk Kristen ketika hendak menikah.

Tentu saja masih banyak lagi orang Kristen yang berjuang untuk berdirinya Republik Indonesia. Tak hanya orang macam Latuharhary atau Ratulangie saja yang berjuang. Ada Arie Fredrik Lasut yang membangun lembaga pertambangan Republik, Tahi Bonar Simatupang yang membantu mengorganisir Tentara Republik yang masih kacau di awal kemerdekaan.

Ada pula Jahja Daniel Darma alias John Lie yang menyelundupkan barang kebutuhan Republik dengan menembus blokade laut Belanda yang ketat, Frans dan Alex Mendur yang mengabadikan Proklamasi kemerdekaan Indonesia, Wolter Mongisidi yang bergerilya dan terus mengobarkan semangat gerilya anti Belanda di Makassar hingga dia dicap ekstremis dan dihukum mati sebagai kriminal oleh militer Belanda di Makassar. Ada juga Maria Walanda Maramis, Pierre Tandean, Martha Christina Tiahahu, Pattimura dan lannya yang jadi Pahlawan Nasional. Tentu saja masih banyak nama-nama lain pejuang Kristen yang kurang dikenal publik.

100% Katolik, 100% Indonesia

Di kalangan orang-orang Katolik, yang jumlahnya lebih sedikit dari Kristen Protestan, terdapat nama Ignatius Joseph Kasimo. Setelah memimpin Partai Kotolik, dia juga menjadi anggota Volksraad sejak muda, dari 1931 hingga 1942. Setelah Jepang kalah, Kasimo menghidupkan kembali Partai Katolik yang haluannya jelas-jelas mendukung Republik Indonesia. Sudah pasti juga atas dukungan Uskup Indonesia pertama Indonesia Albertus Soegiopranoto, yang berkedudukan di Semarang. Seperti Kasimo, Soegiopranoto dibaptis Katolik setelah sekolah di sekolah Katolik. Keduanya sekolah di sekolah yang diasuh oleh pastur-pastur Jesuit penerus Romo van Lith.

“100% Katolik, 100% Indonesia,” ujar Uskup Albertus Soegiopranoto. Sebagai Uskup katolik yang penuh kasih, dia terlibat penyelesaian damai Pertempuran Lima Hari di Semarang. Berkat laporan-laporan ke Vatikan tentang Indonesia, sebulan setelah Mesir mendukung kemerdekaan Indonesia, Vatikan pun menyusul untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.

Jauh sebelum dukungan Vatikan, pemuda-pemuda Katolik sudah bergabung dalam ketentaraan Republik. Sebutlah Agustinus Adisucipto. Dia pemuda Katolik jago terbang itu ikut merintis pendidikan penerbangan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Lalu di Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) ada Yos Sudarso. Belakangan menjadi Komodor ALRI yang gugur dalam pertempuran laut Aru dalam rangka menggabung Papua dengan Indonesia.

Orang-orang Indonesia kenal sosok Slamet Riyadi, dengan nama baptis Ignatius di depan namanya. Setelah mengepung markas Kenpetai (Polisi Militer Jepang) di Solo dia jadi Komandan Batalyon yang dihormati meski masihmuda. Dia dikenal cerdik sebagai komandan gerilya. Belakangan dia gugur dalam menumpas RMS.

Dari Indonesia Timur, Frans Seda yang niatnya ke Jawa untuk bersekolah kemudian terjebak perang. Di masa revolusi dia terpaksa ikut bergerilya melawan Belanda dengan bergabung dengan laskar perjuangan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Setelah revolusi, di tahun 1950, Frans ikut serta dalam panitian pembubaran Negara Jawa Timur. Setelahnya Frans pernah jadi menteri dan diangkat menjadi Pahlawan Nasional.

Soegiopranoto, Kasimo, Adisucipto, Yos Sudarso, Frans Seda dan Slamet Riyadi adalah orang-orang Katolik yang jadi pahlawan. Masih banyak lagi orang katolik yang ikut berjuang membela Indonesia. Selain pahlawan-pahlawan itu, tokoh pergerakan beragama katolik adalah Chalid Salim. Dia adik kandung tokoh Sarekat Islam Agus Salim, yang belakangan jadi Katolik, setelah dibuang ke Boven Digoel.

Baca juga artikel terkait PROTESTAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti