Menuju konten utama

Parade Paramiliter dalam Sejarah Indonesia

Ada banyak paramiliter di Indonesia sejak 1945. Ada yang masih hidup dan hanya berganti nama, tapi ada juga yang dihabisi demi stabilitas nasional.

Parade Paramiliter dalam Sejarah Indonesia
Tentara Jepang melatih pemuda Indonesia di kesatuan PETA, 1943. FOTO/Het Nationaal Archief

tirto.id - Sebelum kekalahan Jepang pada Perang Dunia II dan proklamasi Indonesia, militer Jepang membuat banyak lembaga paramiliter. Rupa-rupa jenisnya, mulai dari yang paham bagaimana memakai senjata, namun banyak juga yang bisanya hanya baris berbaris saja.

Untuk menghadapi tentara Inggris dan Belanda, Jepang juga membutuhkan orang-orang berani seperti pemuda-pemuda yang bergabung dengan organisasi-organisasi paramiliter peninggalan Jepang ini. Berdirinya angkatan militer republik yang kala itu memakai nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945 tak serta merta membuat banyak pasukan paramiliter bersatu.

Mereka yang tidak bergabung dengan TKR kemudian banyak bergabung dengan organisasi yang disebut laskar. Seperti tentara, laskar-laskar ini ada yang bersenjata api juga. Dulu, laskar dan tentara sama-sama berwibawa. Peran laskar, misalnya, begitu kentara di dalam Pertempuran 10 November di Surabaya.

Kelompok laskar yang terkenal antara lain Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang dipimpin Bung Tomo, Hizbullah, dan Sabilillah milik kelompok Islam yang dulu dilatih Jepang, Pesindo yang belakangan bermetamorfosis menjadi Pemuda Rakyat, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang berisi orang-orang Sulawesi berjuang di Jawa, dan laskar-laskar lainnya.

Ada masa laskar-laskar itu bisa rukun dengan TKR atau TNI, tetapi adakalanya laskar jadi sasaran lucut-melucuti TKR. Bahkan karena aksi TKR yang melucuti laskar, beberapa laskar yang sakit hati malah bergabung ke pihak militer Belanda dalam pasukan HAMOT.

Setelah Tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia, milisi-milisi itu tak hilang begitu saja. Laskar-laskar itu berubah jadi organisasi masyarakat. Tak jarang, ada di antara mereka yang jadi onderbouw sebuah partai.

Pesindo berubah jadi organisasi pemuda sosialis yang dekat dengan PKI, Pemuda Rakyat. Menurut Norman Joshua, penulis buku Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia, 1945-1950 (2016), pada 1950, dalam Kongres Pesindo ke-3, bertransformasi menjadi Pemuda Rakyat

KRIS menjadi yayasan. Mantan anggota sayap militer KRIS, banyak yang masuk tentara. Sebutlah Joop Warouw atau Vintje Sumual. Anggota Hizbullah, beberapa terserap jadi TNI. Salah satu yang terkenal adalah Ali Murtopo.

Di tahun 1950an, organisasi pemuda yang merupakan onderbouw partai bermunculan. Jika PKI punya Pemuda Rakyat (PR), maka partai saingannya yang didirikan Abdul Haris Nasution dan kawan-kawan, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), mempunyai Pemuda Pancasila (PP) yang masih eksis hingga sekarang. PP berdiri tepat hari pemuda tahun 1959. Ia lahir beberapa bulan setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

PP cukup dikenal sebagai musuh besar PKI. Joshua Openheimer pernah membuat film tentang bagaimana Anwar Kongo dan kawan-kawan PP-nya menghabisi orang-orang yang dianggap komunis dalam Senyap (2014) dan Jagal (2012). Tergambar bagaimana PP begitu bangga ikut memberantas komunisme.

Meski IPKI kemudian berfusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), namun PP tak bergabung ke partai banteng. PDI sendiri punya paramiliter yang dikenal sebagai Satuan Tugas (Satgas) yang dulu dikenal loyal kepada Megawati.

Peran paramiliter, dari kelompok Islam maupun sekuler yang antikomunis, sangat besar perannya dalam perang komunis di Indonesia.

Tak hanya PP yang merupakan sayap pemuda IPKI saja, organisasi paramiliter milik Nahdatul Ulama (NU) punya andil besar. NU punya Barisan Ansor Serbaguna NU (Banser). Organisasi ini, dibangun oleh orang-orang NU yang pernah bergabung dengan laskar Hizbullah, Ansor Nahdatul Ulama (ANU) dan juga mantan tentara. Pada tahun 1938, pernah ada Barisan Bersegaram bernama Barisan Nahdatul Oelama (BANOE). Menurut Hairus Salim, Banser sendiri diperkirakan muncul sekitar tahun 1962-1964.

Di masa orde lama, NU termasuk yang tidak akur dengan PKI. Hingga jelang tumbangnya Sukarno, paramiliter NU terlibat di tahun 1965an terlibat perang saudara yang diyakini sebagai jihad.

“Kali ini jihad diperhadapkan bukan pada penjajah yang dianggap kafir, tetapi pada saudara sebangsa yang dianggap ateis. Jihad menjadi alasan pembenar dalam peristiwa pembantaian anggota (atau mereka yang dianggap) komunis,” tulis Hairus Salim dalam Kelompok Paramiliter NU (2004).

Masih menurut Hairus Salim, di tahun 1957 Abdul Haris Nasution selaku KSAD meresmikan Badan Kerja Sama Pemuda Militer (BKSPM). Badan ini dibentuk karena keadaan negara kala itu dinilai dalam bahaya. Ansor menjadi salah satu dari empat organisasi yang terlibat, selain Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Pemuda Demokrat, dan Pemuda Rakyat.

INFOGRAFIK HL Paramiliter di Indonesia

Di masa pemerintahan Sukarno, tak hanya partai saja yang punya pasukan paramiliter, ada kalanya TNI yang kala itu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) juga membuat organisasi paramiliter untuk beberapa operasi di perbatasan. Semuanya atas perintah Sukarno. Dalam rangka merebut Irian Barat, paramiliter yang disebut Sukarelawan Trikora dibentuk. Perempuan perkasa bernama Herlina Kasim yang berjuluk Pending Emas adalah salah satunya.

Begitupun dalam Konfrontasi Malaysia yang dikenal sebagai Ganyang Malaysia. Ada sukarelawan Dwikora. Kelompok sukarelawan itu salah satunya bernama Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU). Sukarelawan yang tergabung di dalamnya sebetulnya anggota ABRI juga. TNKU hanya samaran.

Salah seorang perwira ABRI yang bergabung dalam paramiliter itu adalah Benny Murdani, yang pernah jadi Menteri Pertahanan dan Keamanan. Kisah Benny dalam konfrontasi itu tertuang dalam biografinya yang ditulis oleh Julius Pour, Benny Murdani: Profil Prajurit Negarawan (1993).

Sementara itu, penduduk lokal di sekitar kalimantan juga diikutsertakan dalam sebuah unit paramiliter bernama Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS). Paramiliter ini dilatih dan dipersenjatai orang-orang dari ABRI juga. Setelah Sukarno lengser perlahan, kelompok gerilya anti-Malaysia itu tak didukung lagi oleh pemerintah pusat yang berganti penguasa. Pengiriman pasukan ke Kalimantan bukan lagi melawan Malaysia yang didukung Inggris, tetapi membubarkan PGRS dan TNKU, yang dianggap sukarelawan dwikora itu.

Ganti penguasa, ganti pula angin politiknya. Kedua sukarelawan itu harus dibubarkan, jika perlu diperangi, demi menentramkan hati negara baru Malaysia.

“Semula mereka menjadi guru dan kini harus menghadapi muridnya sendiri,” tulis A.M. Hendropriyono dalam bukunya Operasi Sandi Yudha: Menumpas Gerakan Klandestin (2013). Hendropriyono adalah salah satu perwira Pasukan Komando Kopassus dua kali diikutkan dalam operasi menghabisi bekas paramiliter bentukan Republik Indonesia bernama PGRS itu.

Selain organisasi-organisasi paramiliter di atas, tentu saja masih banyak organisasi paramiliter di Indonesia. Pemerintah punya pasukan kepolisian bernama Brigade Mobil, sejak 1945, sebagai polisi dengan dengan fungsi seperti militer. Dalam Departemen Dalam Negeri, pernah ada satuan Pertahanan Sipil alias Hansip yang berdiri sejak 19 April 1962.

Setelah jatuhnya Soeharto, kurangnya jumlah polisi sempat membuat Keamanan Rakyat alias Kamra dibentuk. Tugasnya mirip pembantu polisi Kaisatsutai zaman pendudukan Jepang. Organisasi ini lebih tidak jelas nasibnya. Selain Kamra, ada juga Pengaman Swakarsa alias Pamswakarsa.

Di kampus-kampus, Resimen Mahasiswa (Menwa) tentu tidak asing bagi sebagian mahasiswa yang aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Menwa dianggap berdiri sejak 13 Juni 1959, saat mereka mulai dilatih di sebuah tempat di Jawa Barat yang berlangsung hingga 14 September 1959. Hingga kini, Menwa yang seolah mirip ROTC di Amerika ini masih eksis.

Baca juga artikel terkait PARAMILITER atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani