tirto.id - Makin terjepitnya balatentara Jepang dalam Perang Pasifik membuat pihak Tentara ke-16 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang berkedudukan di Jakarta menggodok saran Gatot Mangkupraja. Ia mengusulkan agar pemuda Indonesia diperkenankan membantu Jepang mempertahankan Indonesia. Lalu, keluarlah Osamu Seirei No.44 pada 3 Oktober 1943 yang memberi kesempatan pemuda Indonesia, seperti pernah disarankan Gatot.
Apa yang tertuang dalam Osamu Seirei No.44 itu terwujud dalam sebuah Gyugun (tentara sukarela) di Jawa yang dikenal sebagai Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Di wilayah Tentara Ke-25, akhirnya juga ada semacam PETA yang dikenal sebagai Gyugun. Untuk membentuk pasukan-pasukan milisi tersebut, terlebih dahulu pemuda-pemuda terpelajar dikumpulkan untuk menjadi perwira. Perwira-perwira Jepanglah yang melatih mereka.
Di Jawa, pemuda-pemuda itu dikirim ke Bogor. Mereka dilokasikan di bekas markas KNIL yang saat ini menjadi Museum PETA. Para pemuda berusia 20an tahun ini dididik dalam pusat pendidikan perwira yang disebut Boei Gyugun Rensentai. Mereka dilatih sebagai calon komandan peleton alias shodancho. Maksimal, mereka dilatih selama 18 bulan untuk bisa punya kemampuan setara letnan yang bisa memimpin pertempuran di lapangan.
Pemuda yang rerata usianya lebih tua lagi dari kelompok calon shodancho akan dilatih menjadi komandan kompi alias chudancho, yang pangkatnya setara kapten. Latihan golongan chudancho ini hanya 6 bulan. Sementara itu, tokoh-tokoh masyarakat pun dilatih selama tiga bulan untuk dijadikan komandan batalyon alias daidancho. Merekalah yang akan memimpin batalyon.
Menurut Joyce Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang (1989), latihan calon komandan batalyon ini tidak berat. Latihan fisiknya tidak berat selama tiga bulan itu. Salah satunya berendam di air dingin. Latihan persenjataan mereka juga kurang. Tokoh masyarakat terkenal yang dijadikan daidancho ini di antaranya adalah Kasman Singodimedjo, R. Soedirman, Soedirman, Soesalit, juga Mohammad Mangundiprojo.
Untuk mendidik seorang calon letnan, hampir semua angkatan perang di dunia memerlukan sebuah akademi militer dengan masa pendidikan rata-rata tiga tahun. Waktu itu, Jepang hanya melatih selama 18 bulan. Jika bicara soal teori militer, perwira PETA yang tak belajar lagi akan kalah dengan alumni akademi militer Belanda macam Abdul Haris Nasution dan Tahi Bonar Simatupang.
Umumnya, pada lulusan akademi Belanda, seseorang bisa naik menjadi kapten lalu mayor setelah menjadi letnan. PETA membuat pengecualian karena kondisi perang. Untuk menjadi komandan batalyon, di masa sekarang seorang perwira harus sekolah lanjutan perwira. Namun dulu, Boei Gyugun Rensentai di Bogor hanya memberikan latihan dasar perwira saja.
Usai pelatihan di Bogor, para perwira yang sudah dilatih militer Jepang itu akan kembali ke keresidenan masing-masing di Pulau Jawa. Di sana, mereka akan melatih sendiri prajurit bawahan di batalyon mereka masing-masing. Dalam tempo singkat, puluhan ribu pemuda Indonesia pun jadi anggota PETA di Jawa. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Pertama RI, Djatikusumo, mengaku takjub dengan Jepang.
“Hanya dalam 18 bulan, Jepang berhasil membentuk pasukan siap tempur dari para prajurit PETA... Padahal prajurit- prajuritnya direkrut dari orang-orang desa yang cuma Sekolah Rakyat tiga tahun. Bayangkan, bagaimana melatih orang-orang desa yang masih lugu? Mereka belum pernah memegang senapan, apalagi mortir. Mungkin melihat saja baru waktu di PETA. Bagaimana mereka mengerti soal trigonometri dan koniometri yang diperlukan untuk menembakkan mortir?,” ujar Djatikusumo dalam biografinya yang ditulis Solichin Salam, GPH Djatikusumo: Prajurit Pejuang Dari Kraton Surakarta (1993)
Jumlah Gyugun di Sumatera tidak sebanyak PETA di Jawa. Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi TNI AD (1988), anggota Gyugun hanya 5.000 hingga 6.000 yang tersebar di Sumatera. Maksimal hanya melatih para perwira setara letnan saja. Alumni Gyugun Sumatera antara lain adalah pahlawan nasional DI Panjaitan dan Djamin Ginting.
Selain PETA dan Gyugun, yang oleh sebagian kalangan dianggap militer betulan, militer Jepang juga membuat banyak organisasi paramiliter lain. Sebutlah pembantu tentara yang disebut Heiho, pasukan berani mati yang disebut Jibakutai, barisan pemuda alias Seinendan. Di kalangan Islam pun ada Sabilillah dan Hizbullah.
Sabilillah dan Hizbullah dibentuk, selain karena kebutuhan kelompok Islam, juga karena kemauan pemerintah militer Jepang di Jawa juga. Menurut Hairus Salim dalam Kelompok Paramiliter NU (2004), Hizbullah pertama kali dilatih perwira Jepang di Cibarusah, Jawa Barat, sebelum Agustus 1945. Ada 500 pemuda santri dari berbagai keresidenan di Jawa. Komandan pelatihnya adalah Letnan Janagawa, yang juga pelatih PETA. Pasukan ini dilatih selama tiga bulan. Setelah latihan selesai, mereka dikembalikan ke daerah mereka masing-masing.
Di antara milisi-milisi yang disokong dan dilatih Jepang itu, hanya PETA, Gyugun, dan Heiho yang personelnya digaji. Menurut catatan Amelia Yani dalam biografi ayahnya Ahmad Yani Tumbal Revolusi (2007), gaji seorang perwira PETA kira-kira Rp6 di tahun 1944. Harga daging sekilo kala itu 6 sen. Tentu saja tak semua orang di zaman Jepang bisa membeli daging. Beras saja sulit didapat. Selain PETA dan Gyugun, kesatuan lain non-milisi yang digaji adalah polisi dan Heiho atau pembantu tentara yang tunduk di bawah tentara Jepang.
Setelah Jepang menyerah kalah, mantan perwira PETA cukup mendominasi Tentara Keamanan Rakyat. Dalam banyak front pertempuran melawan Inggris maupun Belanda, pihak Indonesia yang dipimpin oleh alumni PETA kerap kalah. Jikapun dianggap menang, seperti dalam Palagan Ambarawa yang dipimpin Soedirman, banyak nyawa yang harus dikorbankan untuk kemenangan tersebut.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani