tirto.id - “Kutandai muka kau, kusikat kau ya,” ucapan salah seorang anggota Tim Pengawalan Panglima TNI itu kepada jurnalis Kompas.com, Adhyasta Dirgantara. Intimidasi itu terjadi setelah Dias—sapaan Adhyastra, melakukan wawancara cegat, bersama wartawan lain, ke Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, di Markas Besar (Mabes) Polri, Kamis, 27 Februari 2025.
Dias mulanya menanyakan kepada Agus, terkait kejadian penyerangan Polres Tarakan oleh personel tentara beberapa waktu lalu. Agus pun menjawab pertanyaan tersebut sebelum meninggalkan lokasi.
Namun setelahnya, dua orang pengawal menghampiri Dias. Salah satunya bertanya, “Kau memang tidak di-briefing?”. Dias kebingungan. Tanggapan Dias itulah yang disambut dengan intimidasi dengan kata “sikat”.
Berdasarkan informasi dari Dias, anggota tersebut juga menanyakan asal media Dias bekerja. Mereka juga memeriksa identitas persnya, sebelum akhirnya pergi meninggalkan lokasi.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam keras intimidasi yang diterima jurnalis Kompas.com oleh pengawal Panglima TNI tersebut
“Kasus ini menambah panjang deretan pelanggaran yang dilakukan aparat TNI dalam kasus ini menambah catatan buruk perilaku aktor negara dalam menjamin keberlangsungan demokrasi, pembiaran terhadap perilaku demikian semakin menunjukan ketidakberpihakan Negara terhadap keberlangsungan ruang sipil,” ujar Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, dari keterangan yang diterima Tirto, Kamis (27/2/2025).
Kejadian yang menimpa wartawan Kompas.com, hanya berselisih satu hari dengan tindakan penyerangan oleh seorang anggota Satpol PP dan Linmas Kota Ternate terhadap dua orang jurnalis media daring di Kota Ternate.
Senin (24/2) sore, Julfikram Suhardi, wartawan TribunTernate dan Fitriyanti Safar, jurnalis HalmaheraRaya, menjadi korban pemukulan saat sedang meliput aksi #IndonesiaGelap di depan Kantor Wali Kota Ternate. Julfikram mengalmi luka robek di pelipis bagian kanan, sementara Fitriyanti mengami luka sobek kecil di bibir kecil di bibir bagian bawah. Keduanya menjadi korban kekerasan dari petugas Satpol PP yang sama.
Dua kejadian ini hanya berselisih sekitar satu minggu dari rilis Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis (IKJ) 2024. Laporan tersebut menghasilkan skor IKJ 2024 sebesar 60,5, pada skala 0-100. Penilaian ini masuk dalam kategori 'Agak Terlindungi'. Dua kejadian di atas menjadi cerminan dari kondisi kerja jurnalis yang belum bisa dikatakan ideal.
Laporan tersebut adalah hasil kerja sama Yayasan Tifa, bersama Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Human Rights Working Group (HRWG) dalam konsorsium Jurnalisme Aman. Dalam menyusun indeks, konsorsium menggunakan metode survei terhadap 760 jurnalis serta analisis data sekunder dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Project Officer Jurnalisme Aman, Arie Mega, sangat menyayangkan dua kejadian tersebut. Dia menyebut kecemasan jurnalis untuk melakukan kerja ke depannya menjadi sangat beralasan.
“Jika merujuk pada hasil Indeks Keselamatan Jurnalis 2024, kekhawatiran terhadap represi terhadap jurnalis dalam lima tahun ke depan masih sangat beralasan, terutama yang dilakukan oleh aparat,” tuturnya kepada Tirto, Jumat (28/2/2025).
Laporan tersebut memang menyoroti juga persepsi para jurnalis terkait kondisi kerja mereka beberapa tahun mendatang. Berbagai persitiwa kekerasan terhadap rekan sejawat telah menimbulkan kecemasan bagi jurnalis secara umum. Kecemasan ini tidak hanya terbatas pada kondisi tahun 2024, tetapi juga berpotensi berlanjut dalam lima tahun ke depan, jika tidak ada langkah konkret untuk memperkuat kebebasan pers dan perlindungan hukum bagi jurnalis.
Hasil studi menunjukkan, mayoritas responden menilai bentuk kekerasan yang dirasa dapat mengancam keselamatan jurnalis, setidaknya lima tahun mendatang, adalah pelarangan liputan dan pelarangan pemberitaan. Teror dan intimidasi, serta serangan digital, dan penghapusan hasil liputan juga menjadi kekhawatiran mereka.
Laporan tersebut juga menyoroti penyensoran yang kian lazim dihadapi jurnalis. 56 persen responden mengaku melakukan swasensor atau penyensoran mandiri akibat adanya tekanan tertentu. Penyensoran mandiri ini bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti karena khawatir ada ancaman hukum, tekanan politik, atau risiko terhadap keselamatan pribadi.
“Tingginya angka self-censorship menunjukkan bahwa ketakutan dan tekanan eksternal masih menjadi faktor besar yang membatasi kebebasan pers. Untuk mereduksi hal ini, diperlukan jaminan perlindungan yang lebih kuat bagi jurnalis, baik dari aspek hukum, keamanan, maupun dukungan institusional,” tambah Arie.
Menurutnya, pemerintah perlu memastikan bahwa regulasi yang ada tidak justru menjadi alat represi, seperti penggunaan pasal-pasal karet dalam UU ITE dan KUHP yang sering menghambat kebebasan pers. Sementara perusahaan media perlu memberi dukungan penuh kepada jurnalisnya, baik melalui perlindungan hukum, jaminan keamanan kerja, maupun pelatihan untuk menghadapi tekanan eksternal.
“Di sisi lain, solidaritas antarjurnalis , organisasi pers dan keberadaan organsisasi masyarakat sipil yang concern dengan kebebasan pers harus diperkuat agar para jurnalis tidak merasa bekerja sendiri dalam menghadapi tekanan. Dengan menciptakan ekosistem yang lebih mendukung kebebasan pers, self-censorship di kalangan jurnalis harusnya dapat diminimalkan, dan mereka bisa bekerja dengan lebih leluasa dalam menyampaikan informasi kepada publik,” tambah Arie.
Publik yang Dirugikan
Menanggapi dua kasus kekerasan terhadap jurnalis yang baru-baru ini terjadi, Koordinator Umum Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) pusat, Erick Tanjung, khawatir kalau ini hanya sebagian kecil saja.
“Dari sekian kasus serangan terhadap jurnalis, itu setiap minggu terjadi, bahkan bisa 2-3 kali dalam seminggu. Di tahun ini saja, 2025, Januari sampai akhir Februari, seminggu itu hampir 2-3 kasus terjadi serangan terhadap jurnalis,” ujarnya kepada Tirto, Jumat (27/2/2025).
Dia juga mengatakan potensi serangan terhadap jurnalis ke depannya cukup tinggi. Hal ini bukannya tanpa alasan, menurut Erick, dari kejadian kekerasan jurnalis yang sudah-sudah, nihil yang berujung hukuman terhadap pelaku.
Erick menyebut, di kasus serangan terhadap jurnalis sebelumnya kebanyakan mandek, tanpa ada penyelesaian hukum. “Artinya kasusnya mandek, di tahapan penyelidikan,” tambah dia.
Lebih lanjut menurut dia, hal ini mengancam kebebasan pers. "Yang pertama yang rugi itu bukan hanya komunitas pers atau jurnalisnya, tapi yang rugi adalah kepentingan publik," tegasnya.
Ketika kejadian kekerasan berulang, wajar kalau jurnalis atau media punya ketakutan untuk mengungkap kasus atau skandal besar. Informasi yang bisa sampai ke publik juga menjadi terbatas. Fungsi media sebagai kontrol sosial juga perlahan akan luntur.
Senada, Direktur Eksekutif LBH Pers, Mustafa Layong mengaku tindakan represi terhadap jurnalis memang cenderung tinggi dari tahun ke tahun. Jumlahnya tidak pernah di bawah 50. Dia memprediksi ,tahun 2025 ini jumlahnya juga akan sama.
“Baru dua bulan berjalan, ini akhir bulan dua saja sudah sangat aduan kasus yang kita terima,” ujarnya kepada Tirto, di kesempatan terpisah, Jumat (27/2/2025).
Belum ada tindakan konkret terkait perlindungan jurnalis atau media oleh negara menjadi salah satu sebab kasus kekerasan terhadap jurnalis berulang.
“Bahkan ada narasi bahwa jurnalis itu, ketika meliputi kegiatan resmi pejabat harus di-briefing dahulu. Nah, ini kan salah kaprah ya,” tambah dia. Hal ini dapat berujung ke normalisasi intervensi terhadap apa yang akan ditulis oleh media. Media akan kehilangan independensinya jika itu terjadi.
“Kalau semuanya diatur ya semuanya jadi humas pemerintah saja.”
Menurut Mustafa, fungsi pers adalah untuk mengawal dan mengontrol jalannya pemerintahan. Jika intimidasi ataupun represi jadi alat untuk meredam kabar buruk terkait pemerintah dia khawatir tidak ada fungsi kontrol yang bisa dilakukan oleh publik.
“Masyarakat nggak boleh tahu ada busuk di dalam padahal kan masyarakat punya hak untuk mengetahui apa yang terjadi,” ujarnya.
Senada dengan Erick, Mustafa mengatakan, pangkal masalah kekerasan terhadap jurnalis yang terus berulang adalah kurangnya komitmen pemerintah maupun penegak hukum. Pelaku kekerasan terhadap jurnalis banyak yang tidak mendapat hukuman. Sejumlah serangan digital bahkan ada yang terlupakan begitu saja.
Untuk menyikapi hal tersebut, menurut dia harus ada komitmen dari pemerintah untuk melindungi kebebasan pers. Selain itu penting menurut Mustafa untuk mendorong mekanisme perlindungan terhadap jurnalis yang dilakukan secara layak.
Arie dari konsorsium Jurnalisme Aman menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, media, organisasi masyarakat sipil, dan aparat hukum untuk menjamin keselamatan jurnalis yang lebih baik. “Langkah konkret yang dapat dilakukan bisa adalah dengan penguatan regulasi, seperti revisi dan implementasi Undang-Undang Pers yang lebih tegas,” tuturnya.
Sedangkan penegak hukum bisa meningkatkan pemahaman tentang kebebasan pers dan menindaklanjuti kasus kekerasan terhadap jurnalis dengan UU Pers atau membawa perselisihan ke Dewan Pers. Sementara perusahaan media juga harus memastikan perlindungan dan kesejahteraan bagi jurnalis melalui pelatihan keamanan serta akses terhadap bantuan hukum dan asuransi kerja.
Sementara Erick dari KKJ juga menyebut pentingnya pelaporan oleh jurnalis yang menjadi korban kekerasan. Sebab, hal ini bisa menjadi bukti kuat untuk menekan para pelaku kekerasan, termasuk lembaga pemerintahan. Erick juga mengatakan dia dan KKJ akan terus mendesak dan mengupayakan komunikasi langsung dengan Kapolri untuk segera menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis.
"Karena kekerasan itu yang rugi tidak hanya jurnalisnya sebagai korban, tapi yang rugi adalah kepentingan publik," tegasnya.
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty