tirto.id - Mereka yang tidak menyukai tindakan kekerasan yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) terkaget-kaget mendengar Kodim 0603 Lebak mengajak anggota FPI ikut dalam program bela negara. Jika memang hendak menentang vigilantisme dan tindakan kekerasan yang dilakukan organisasi kemasyarakatan (ormas), bukan keikutsertaan FPI-nya yang digugat, melainkan program bela negara itu sendiri yang patut dikritisi.
Militer melatih FPI dalam program bela negara sebenarnya tidak mengejutkan. Militer melatih FPI, atau Pemuda Pancasila bahkan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) yang tempo hari bentrok dengan FPI, adalah kewajaran.
Pertama, program bela negara yang dirancang Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Kemenhan) sejak 2015 ini memang berbau wajib militer. Kendati diklaim Kemenhan lebih menekankan aspek kognitif, faktanya latihan fisik dan baris-berbaris masih juga mengemuka (seperti yang tampak dari foto-foto di Lebak). Jika memang program bela negara lebih menekankan pengembangan aspek non-fisik, selayaknya program ini diampu oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kedua, dengan porsi latihan baris-berbaris yang masih saja muncul, tentu salah satu yang siap sekaligus cocok mengikutinya adalah organisasi masyarakat yang selama ini bercorak militeristik: memiliki hierarki dalam komando, bahkan punya panglima, punya satuan lapangan, akrab dengan retorika kekerasan, dan senang melakukan “operasi” di lapangan.
Dalam sejarahnya, militer Indonesia memang punya cerita panjang dengan kelompok-kelompok sipil yang seperti ini. Mereka bisa dikategorikan ke dalam berbagai istilah: dari semi-militer, paramiliter atau bahkan milisi. Namun sebelum membicarakan peristilahan itu, perlu lebih dulu diketahui faktor historisnya.
Sipil yang Bertempur di Masa Revolusi
Bahkan elemen terpenting dalam periode awal pembentukan militer Indonesia memang kelompok sipil yang diberi pelatihan militer secukupnya, bukan tentara yang terdidik secara berjenjang dan profesional, tidak masuk dalam struktur militer resmi, bukan untuk diturunkan di garda depan pertempuran, dan statusnya hanya sebagai tentara sukarela dan cadangan: Pembela Tanah Air (PETA).
Para anggota PETA ini sangat penting dalam personalia Tentara Keamanan Rakyat. Tidak hanya secara jumlah, tapi juga dalam konstelasi kepemimpinan militer Indonesia. Jebolan PETA dan jebolan KNIL (tentara Hindia Belanda) bersaing memperebutkan pengaruh dan kepemimpinan.
Namun, mengandalkan PETA saja tidaklah cukup. Selain persenjataan terbatas, dan personel militer yang mayoritas kurang terlatih dalam kemampuan tempur, maka usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan juga melibatkan laskar-laskar yang bahkan lebih buruk pengetahuan dan pengalaman tempurnya. Laskar-laskar ini diisi para pemuda yang bermodalkan semangat gila-gilaan membela tanah air.
Dari 1945-1949, sejak proklamasi dikumandangkan hingga Konferensi Meja Bundar, puluhan bahkan ratusan laskar terbentuk. Ada yang berskala nasional, misalnya dibentuk oleh partai seperti Laskar Pesindo dan Laskar Hizbullah, maupun laskar-laskar lokal yang dibikin berdasarkan kharisma tokoh lokal yang disegani.
Pertempuran 10 November di Surabaya pada dasarnya adalah kisah epik para pemuda sipil yang minim pengalaman tempur. Dari pelbagai latar belakang, baik yang nasionalis, komunis hingga agamis (para santri dari berbagai pesantren), mereka bahu-membahu mempertahankan Surabaya dengan kenekatan yang berlipat-lipat lebih banyak ketimbang pengalaman dan pengetahuan kemiliteran.
Dengan rupa-rupa ideologi, asas perjuangan, dan tujuan politik yang berbeda-beda, mereka bukan hanya bahu-membahu menghadapi Belanda, melainkan juga terkadang saling bertempur satu sama lain. Kawasan tengah dan timur Pulau Jawa, berpusat di Yogyakarta-Solo dan sekitarnya, adalah medan tempur absurd yang menyajikan perseteruan satu sama lain itu.
Kematian Amir Sjarifuddin dan Musso, sampai kematian Tan Malaka, adalah cermin retak konstelasi dan kontestasi ideologi yang diturunkan hingga ke level satuan-satuan tempur masing-masing faksi. Dengan nada yang plastis, Soe Hok Gie mengumpamakan konstelasi dan kontestasi itu tak ubahnya perlombaan balap mobil menuju puncak gunung: “Radikalisme ini seperti perlombaan mobil di lereng gunung yang makin lama makin menyempit. Pastilah suatu hari roda-roda yang berputar ini akan saling bersinggungan dan dari percikan api ini semuanya akan dibakar.” (Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, 1997: 273).
Saat Mohammad Hatta menjadi Perdana Menteri pada 1948, pemerintah memutuskan untuk membereskan tata kelola militer Indonesia itu. Pemerintah melansir program reorganisasi dan rasionalisasi (ReRa) yang memangkas jumlah tentara Indonesia secara drastis. Mereka yang tidak masuk rencana Hatta terpaksa menjadi laskar partikelir, bertumpu pada koneksi pemimpinnya untuk bertahan, dan tidak sedikit akhirnya terpelanting pada perilaku gali yang memanfaatkan situasi revolusi (tentang contoh kasus pelik dan berbahaya laskar-laskar pasca ReRa, baca Madiun 1948: PKI Bergerak, hal 95-102).
Rekrutmen Resmi hingga Dukungan Setengah Tertutup
Pengalaman PETA kemudian diulangi pemerintahan Sukarno. Dalam kampanye pembebasan Irian Barat dan ganyang Malaysia, negara membentuk pasukan-pasukan sukarela sebagai divisi cadangan. Ribuan anak muda dilatih militer dan disiapkan untuk menopang TNI yang hendak memerangi, dalam bahasa Sukarno, kekuatan nekolim yang bercokol di Irian Barat dan Semenanjung Malaya.
Melalui UUU No. 9 Tahun 1964 tentang Gerakan Sukarelawan, ribuan rakyat diundang, diajak dan dikerahkan dalam apa yang disebut sebagai Corps Sukarelawan untuk menyukseskan kampanye Dwikora. Kepres No. 28/KOTI/1965 tentang Pembentukan Corps Sukarelawan merincikan Corps Sukarelawan terbagi menjadi Sukarelawan Bantuan Tempur, Sukarelawan Pembangunan dan Sukarelawan Pertahanan Sipil (pasal 1) yang disusun dalam "kompi, batalijon, Resimen/Brigade dan dibentuk di daerah-daerah jang pembinaanja diserahkan kepada penguasa pelaksanaan Dwikora Daerah" (pasal 3).
Pada saat yang sama, sejak akhir 1950-an hingga pertengahan 1960-an, partai-partai besar memperkuat diri dengan membentuk satuan-satuan lapangan yang disiapkan untuk menghadapi pelbagai kemungkinan. Friksi dan polarisasi ideologi di antara golongan agama, nasionalis, dan komunis kian meneguhkan kebutuhan untuk membangun satuan-satuan lapangan yang siap tempur.
Salah satu usaha paling monumental adalah rencana PKI membentuk Angkatan Kelima, yaitu buruh-tani yang dipersenjatai. TNI berusaha merintangi rencana PKI ini, walaupun PKI punya koneksi internasional untuk mendapatkan dukungan logistik dan persenjataan (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, hal. 533-587). TNI kemudian diam-diam memberi dukungan pada lawan-lawan PKI yang lain, misalnya NU dengan Banser-nya yang tidak kalah legendaris itu (Albertus Budi Susanto, Politik & Postkolonialitas di Indonesia, bab "Kekerasan dan Politik Ingatan: Paramiliter Banser dalam Tragedi 1965-1966 di Jawa Timur", 2003).
Jika PETA di zaman Jepang atau tentara sukarela pada kampanye Dwikora bisa dikatakan sebagai program resmi negara, maka yang terjadi pada 1965 tidaklah demikian. Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, militer Indonesia—yang pelan tapi pasti dikuasai Soeharto—memberikan sokongan setengah terbuka atau setengah tertutup kepada faksi-faksi anti-komunis untuk melakukan pengejaran dan pembantaian habis-habisan kepada siapa pun yang dianggap anggota dan terkait PKI.
Riset Hermawan Sulistyo (Palu Arit di Ladang Tebu, 2000), Robert Cribb (Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, 2004), John Roosa (Dalih Pembunuhan Massal, 2006) hingga film The Act of Killing (2012) adalah segelintir teks yang mengisahkan betapa berdarahnya Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, karena pembantaian sipil oleh sipil lain yang didukung militer Indonesia (dan tentu saja CIA). Dari Pemuda Pancasila, GP Ansor, HMI, dan organisasi kepemudaan dan mahasiswa lain terlibat dalam episode paling berdarah Republik ini.
Menjadi Beking dan Politik Identitas
Setelah itu, situasi seakan mereda. Namun, akar tunjang kelaskaran yang kadung menancap dalam DNA sejarah politik-militer Indonesia tidaklah hilang. Yang mereka lakukan selanjutnya, guna menghidupi diri sendiri, adalah memeras sampai menjadi beking usaha-usaha ilegal. Dalam film The Act of Killing, misalnya, terlihat bagaimana anggota Pemuda Pancasila dengan terang-terangan memalak toko-toko orang Cina di Medan.
Namun, di bawah Orde Baru lah apa yang terjadi di era Sukarno makin mengemuka. Negara membentuk milisi di wilayah-wilayah konflik seperti Irian Jaya, Timor Timur serta Aceh. Nama-nama pemimpin milisi seperti Eurico Guterres dan Hercules adalah alumni generasi ini.
Setelah Orde Baru runtuh, jamur kelaskaran macam itu malah makin membiak dengan warna yang kembali beragam. Selain ormas-ormas lama seperti PP atau FKPPI hingga Banser, bermunculan ormas-ormas baru dengan corak kemiliteran yang tidak lagi harus berloreng-loreng. Dari Satgas PDIP, Gerakan Pemuda Ka’bah, Forum Betawi Rempug hingga—tentu saja—Front Pembela Islam.
Tentu saja tidak boleh dilupakan: Pam Swakarsa. Dibentuk tak lama setelah Soeharto lengser, Pam Swakarsa dengan segera menjadi momok bagi kelompok-kelompok progresif yang tidak percaya dengan transisi kekuasaan, yang saat itu dianggap hanya melanggengkan status-quo. Mereka inilah yang nyaris selalu berhadapan dengan elemen-elemen progresif yang turun ke jalan menentang Sidang Istimewa MPR 1998. Pam Swakarsa ini menjadi program (setengah) resmi negara karena dibentuk hingga daerah-daerah dengan pembiayaan dibebankan kepada APBD (Binsar Gultom, Pelanggaran HAM dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia, 2010: hal. 151)
Kendati demikian, sesudah Soeharto tumbang, kelompok-kelompok ini tidak lagi selalu menisbahkan penampilan fisik bergaya militer secara terbuka (dalam seragam loreng-loreng). Yang mencuat belakangan adalah simbol-simbol politik identitas, baik bercorak kedaerahan atau etnis maupun keagamaan.
Nama-nama organisasi di atas jelas tidak homogen. Mereka bisa berbeda pandangan dalam banyak isu, dari perkara kekhalifahan dan syariat Islam hingga isu penistaan agama. Namun, ada satu hal yang sudah pasti membuat mereka bersuara tunggal: anti-komunisme dan anti-PKI.
Paramiliter dan Usaha Melanggengkan Status Quo
Di banyak negara, tentara cadangan sebenarnya diakui secara resmi. Di negara-negara yang mengakomodasi secara resmi keberadaan tentara cadangan, wajib militer biasanya menjadi hal lumrah. Indonesia sebenarnya tidak mengenal wajib militer. Ironisnya, kelompok-kelompok sipil bercorak militeristik malah menjamur.
Jika merujuk lintasan sejarah yang sudah diuraikan di bagian sebelumnya, pelbagai nama yang disebut (dari PETA hingga Pam Swakarsa) sebenarnya tidak bisa dimasukkan dalam satu kategori. Ada yang lebih tepat disebut semi-militer, ada yang cocok disebut milisi, ada yang patut untuk disebut paramiliter.
PETA di zaman Jepang atau Corps Sukarelawan di masa Sukarno bisa dimasukkan dalam kategori semi-militer. Term “semi” di situ bukan hanya merujuk pada fakta bahwa mereka memang menerima pelatihan kemiliteran, menerima logistik dan persenjataan, tapi juga karena mereka diakui negara sebagai program resmi. Tidak masuk dalam struktur resmi militer, tapi dilekatkan secara legal sebagai kebijakan negara untuk digunakan dalam perang yang juga diumumkan secara terbuka.
Sedangkan kelompok yang terlibat dalam pengejaran dan pembantaian simpatisan PKI pasca 1 Oktober 1965 dapat dimasukkan ke dalam kelompok paramiliter. Term “para” di situ merujuk keterlibatan negara, tapi dilakukan secara tertutup (invisible hand of the state), yang membuat suatu kelompok yang bergerak secara diam-diam mampu memiliki kapasitas memaksa dan menindas (Jasmin Hristov, Blood and Capital: The Paramilitarization of Colombia, 2009).
Istilah paramiliter sebenarnya sukar didefinisikan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Julie Mazzei dalam pembukaan buku Death Squad or Self-Defense Force (2009, hal 4-5) tentang perbedaan antara paramiliter, milisi, pasukan pembunuh, hingga gerilyawan memperlihatkan kesulitan dalam merumuskan apa itu paramiliter.
Menurut Mazzei, kelompok paramiliter biasanya terkait politik, sering dapat melampui hukum dan entitas institusi resmi lain, tapi beroperasi dengan koordinasi atau sepengetahuan sekutu utama yang biasanya bagian dari faksi-faksi elite politik negara. Secara alamiah mereka bersikap ofensif, bukan defensif, untuk menghadang lawan-lawan yang dianggap sebagai ancaman bagi basis ekonomi-politik mereka atau sekutu/patronnya.
Lazimnya, merujuk Encylopaedia of Fascicms yang menarik akar paramiliter pada fenomena Perang Dunia, ciri-ciri kelompok paramiliter terus menampilkan (1) propaganda kekerasan, (2) kesan sebagai petarung yang tangguh dalam pelbagai situasi jalanan dan (3) menampilkan diri sebagai organisasi massa (Věra Stojarová dalam The Extreme Rights in Europe: Current trends and Perspective, 2012: hal. 265).
Salah satu kunci untuk memahami mengapa paramiliter bermunculan adalah keberadaan kaum elite penguasa yang merasa negara/pemerintah mengizinkan terlalu banyak perubahan (John W. Green, A History of Political Murder in Latin America: Killing the Messengers of Change, 2015, hal. 69). Kaum elite seperti itu merasa terganggu karena basis ekonomi-politiknya terusik. Dari sanalah mereka berkongsi atau bahkan memfasilitasi kelahiran kelompok-kelompok paramiliter.
Bela Negara di Tengah Menjamurnya Vigilantisme
Menjamurnya ormas-ormas bercorak militeristik, bahkan kelompok paramiliter, sesungguhnya berakar panjang dalam sejarah Indonesia itu sendiri. Dalam beberapa segi, keberadaan kelompok paramiliter adalah gejala pasca-kolonial (lihat Kelompok Paramiliter NU, 2004: hal. 6) yang, sialnya, masih berlanjut dengan dampak-dampak yang buruk.
Desakan dan hasrat untuk membela tanah air, seperti di era pendudukan Jepang atau di masa revolusi hingga era Dwikora, memang menjadi pemicu kelahiran kelompok-kelompok sipil (yang) ber/dipersenjatai. Kini urgensi untuk melatih sipil dengan cara-cara militeristik untuk membela negara dari ancaman asing menjadi bisa dipersoalkan.
Kampanye bahaya 'perang proxy' yang getol didengungkan petinggi negara dan militer, seakan Indonesia sedang terancam dari delapan penjuru mata angin, adalah karpet merah untuk kian meneguhkan urgensi program bela negara.
Tanpa bermaksud meremehkan konstelasi ekonomi politik global yang dapat berdampak kepada Indonesia, ada satu hal yang tidak kalah penting untuk diprioritaskan: melindungi rakyat dari tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok sipil yang senang main hakim sendiri maupun dari aparat itu sendiri yang kerap melakukan tindakan represif untuk memuluskan proyek-proyek pembangunan.
Laporan panjang Sana Jefreys, Justice in Numbers: The Rising Spectre of Vigilantism in Indonesia, memperlihatkan betapa tindakan vigilantisme (main hakim sendiri) terus meningkat di Indonesia. Dari 2005 sampai 2014, tercatat ada 33.627 korban akibat tindakan vigilantis. Sekira 1.659 orang diperkirakan tewas karena tindakan main hakim sendiri. Kekerasan yang dilakukan berkelompok atau oleh massa meningkat 25 persen dari 2007 ke 2014.
Pada beberapa kesempatan, misalnya Desember 2016 lalu, aparat tidak mampu berbuat apa-apa saat acara keagamaan di Bandung dibubarkan paksa oleh kelompok massa. Di Surabaya, misalnya, aparat malah menemani tindakan sekelompok orang merazia simbol-simbol Natal.
Belakangan ada contoh aparat menolak tekanan kelompok intoleran, misalnya di Sragen. Kapolri Jenderal Tito Karnavian akhirnya mengeluarkan pernyataan tegas melarang sweeping dan razia atribut Natal.
Ini sinyal bagus. Akan tetapi ada banyak cerita panjang tindakan-tindakan kekerasan yang didiamkan bahkan dilindungi oleh aparat. Alih-alih menindak para pelaku, aparat penegak hukum kadang malah melindungi para pelaku dan mengkriminalisasi korban. Ini terutama menyangkut korban-korban yang berlatar belakang minoritas (baik secara etnis, ras, agama/iman hingga orientasi seksual).
Program bela negara menjadi problematis dalam situasi ketika kelompok-kelompok intoleran dan vigilante ini menjamur. Jika program bela negara ini dipraktikkan dengan pendekatan militeristik, seperti terlihat dalam foto-foto FPI di Lebak—juga masih dikendalikan oleh aparat pertahanan dan keamanan—dikhawatirkan ini menjadi pintu masuk ke dalam situasi yang semakin mengakrabkan relasi antara aparat keamanan negara dan kelompok-kelompok sipil ini.
Penulis: Zen RS
Editor: Fahri Salam