tirto.id - Pekan Pancasila baru saja lewat. Melalui sebuah Keppres, Presiden Jokowi menetapkan Hari Lahir Pancasila 1 Juni sebagai hari libur nasional. Keppres keluar tahun lalu, tapi baru berlaku pada tahun ini. Bersamaan dengan berlakunya aturan tersebut, Pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 29 Mei hingga 4 Juni sebagai Pekan Pancasila. Ia dijadikan hajatan nasional dengan tema “Saya Indonesia, Saya Pancasila”.
Tujuan diadakannya hajatan ini, seperti ditulis sejumlah situs resmi kementerian, adalah “untuk menguatkan dan memperkenalkan ulang dasar-dasar Pancasila, serta untuk menarik minat para generasi muda terhadap Pancasila.”
Hasilnya lumayan viral. Ramai-ramai orang memajang foto mereka di sebelah grafis bertuliskan “Saya Indonesia, Saya Pancasila” di media sosial mereka. Di Instagram saja tanda pagar #SayaPancasila terunggah hingga 214 ribu lebih. Sementara tanda pagar #SayaPancasilaSayaIndonesia diunggah sampai 7 ribu lebih.
Tapi pertanyaannya, mengapa pemerintah sampai perlu menggelar hajatan besar ini? Apakah hanya agar masyarakatnya kembali ingat pada ideologi bangsa yang terang tertera di konstitusi negara?
Apakah ideologi ini sedang terancam?
Ingin menjawab pertanyaan berbau serupa, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), sebuah lembaga jajak pendapat menggelar survei. Tujuannya untuk merespons pertanyaan yang muncul di masyarakat terkait isu-isu fundamental negara dan berbangsa. Menurut Saiful Mujani, Peneliti Utama SMRC, survei ini juga ingin mengetahui pendapat masyarakat Indonesia terkait kelangsungan NKRI dengan ideologinya Pancasila.
Pertanyaan-pertanyaan itu, menurut Mujani muncul dari kekhawatiran masyarakat pada ideologi Pancasila yang dipertanyakan daya tahannya, sejak fenomena gerakan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) merebak.
Kekhawatiran itu tak berlebihan. ISIS yang mempropagandakan pergantian dasar dan bentuk negara dalam gerakannya memang patut dilihat sebagai ancaman. “Ekspos media tentang bagaimana Irak dan Suriah yang hancur di bawah teror dan kekuatan ISIS begitu tinggi,” tulis SMRC dalam rilis di situsnya.
Sejarah Indonesia juga mencatat pergerakan serupa—yakni gagasan mengganti dasar negara menjadi hukum syariat Islam, alias khilafah. “Indonesia memiliki pengalaman sejarah gerakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih belakangan. Kini, yang secara terang-terangan mengkampanyekan cita-cita pendirian khilafah adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).”
Lalu bagaimana hasilnya? Apakah Pancasila benar-benar terancam?
“Sebanyak 9 dari 10 orang Indonesia tidak mendukung perjuangan ISIS. Dari yang tidak setuju itu, 91,3 persen setuju apabila ISIS dilarang dan 90 persen melihatnya sebagai ancaman untuk Indonesia,” kata Saiful Mujani, saat jumpa pers di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (4/6) sore.
Sebanyak 92,9 persen menyatakan ISIS tidak boleh hidup di Indonesia. Dari 66,4 persen yang tahu ISIS (negara Islam Irak dan Suriah), sebanyak 89,6 persen menyatakan tidak atau sangat tidak setuju dengan perjuangan mereka.
Tidak berbeda dengan ISIS, HTI yang juga mempropagandakan perombakan dasar-dasar negara Indonesia juga dapat penolakan yang tinggi. Dari 28,2 persen warga yang tahu, 56,7 persen mengetahui HTI memperjuangkan gagasan khilafah. Dan sebanyak 68,8 persen warga menolak perjuangan mereka. Sementara dari 75,4 persen yang tahu niat pemerintah membubarkan HTI, sebanyak 78,4 persen menyetujui gagasan tersebut.
Namun, dalam rangkaian survei yang sama, ada fenomena yang juga perlu diperhatikan. Di luar mayoritas masyarakat Indonesia yang menolak ISIS, ada 9,3 persen responden yang setuju mengganti NKRI dengan sistem khilafah.
Temuan lainnya: dari total responden yang tahu ISIS, ada 2,7 persen yang mendukung sistem khilafah berdiri di Indonesia. Sementara data lain yang tak bisa dikesampingkan adalah, dari total responden yang mengetahui HTI, dukungan mendirikan khilafah melonjak sampai angka 11,2 persen. Menurut SMRC, angka tersebut setara dengan 3,2 persen populasi nasional, atau setara sekiranya 8 juta orang.
Dalam laporan yang sama, SMRC juga berkesimpulan bahwa mayoritas warga belum sadar tentang khilafah atau negara Islam adalah cita-cita ISIS. Sama seperti HTI.
Penyebaran paham-paham anti-nasionalisme ini juga dipantau oleh Muhammad AS Hikam, dosen Universitas Presiden yang juga pernah menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam Kabinet Persatuan Nasional pimpinan Presiden Abdurahman Wahid. Hikam, yang juga dikenal sebagai pengamat gerakan radikalisme di Indonesia, menilai nasionalisme Indonesia sedang terancam dengan makin menjamurnya kelompok-kelompok radikal yang tak segan-segan menampilkan sikap anti-nasionalisme. Kelompok-kelompok ini bahkan tak takut bersikap ektrem untuk menunjukkan intoleransi pada golongan lain.
“Kelompok-kelompok takfiri (golongan yang sanggup mengkafirkan golongan lain) ini memang sudah aja sejak lama di Indonesia. Tapi tumbuh semakin subur pasca reformasi,” kata Hikam pada Tirto. “Dan dalam menanganinya kita jangan sampai salah. Mereka memang tumbuh dalam lindungan demokrasi, tapi tujuannya justru ingin menghancurkan demokrasi.”
Hikam sendiri mencontohkan HTI, sebagai organisasi yang mempropagandakan ihwal anti-konstitusi, namun di saat bersamaan berlindung di bawah HAM yang tertuang dalam konstitusi Indonesia. “Tapi apakah mereka akan mempertahankan HAM? Ya enggak mungkin, karena dalam paradigma mereka HAM sendiri adalah sesuatu yang enggak ada,” kata Hikam. Ia ingin mengingatkan bahwa gerakan-gerakan radikal yang dapat mengancam ideologi negara bisa jadi berbahaya, karena keterbukaan situasi politik yang Indonesia junjung dalam konstitusinya.
Peringatan ini sejalan dengan poin pertama kesimpulan laporan SMRC, yakni: “Dalam sebuah politik yang terbuka seperti di Indonesia sekarang, mencermati dan mendengarkan opini publik sangat penting.”
Seperti kesimpulan utama dari survei ini, Pancasila masih ideologi negara yang dijunjung tinggi warga. Sementara, “Gagasan pendirian khilafah ditolak oleh rakyat Indonesia.”
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti