tirto.id - Ideologi ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) tidak akan bisa berkembang pesat di Indonesia. Itulah inti survei yang dilakukan lembaga jajak pendapat Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
“Sebanyak 9 dari 10 orang Indonesia tidak mendukung perjuangan ISIS. Dari yang tidak setuju itu, 91,3 persen setuju apabila ISIS dilarang dan 90 persen melihatnya sebagai ancaman untuk Indonesia,” kata Pimpinan SMRC. Saiful Mujani, saat jumpa pers di kawasan Cikini, Jakarta, pada Minggu (4/6) sore.
Salah satu hal melekat pada ISIS adalah sistem pemerintahan mereka yang menganut kekhalifahan - ketika negara menerapkan hukum syariat islam secara penuh dan menerabas batas-batas negara. Meski mayoritas penduduk Indonesia menolak ISIS, nyatanya 9,2 persen responden setuju mengganti NKRI menjadi sistem kekhilafahan. Angka yang hampir mendekati 10 persen tentu patut membuat kita waspada.
Besarnya angka 9,2 persen bukanlah disebabkan oleh propaganda ISIS yang begitu masif. Selain ISIS, kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memiliki visi misi yang lebih kurang sama dengan ISIS, dalam kaitannya dengan ideologi khilafah.
Asusmsi bisa dibuktikan dalam survei SMRC terkait hal ini: Dari responden mereka yang tahu ISIS, hanya 2,7 persen yang mendukung sistem khilafah hadir di Indonesia. Namun dari responden yang tahu HTI, dukungan mendirikan khilafah mencapai melonjak tinggi jadi 11,2 persen, angka ini sama dengan 3,2 persen dari total populasi nasional yang mencapai 8 juta orang.
Opinion Leader terhadap Anak Muda
SMRC kemudian menyoroti soal peran opinion leader dan partai politik yang dianggap mampu menumbuhkan rasa simpati kepada ideologi khilafah melalui kesetujuannya terhadap eksistensi dari HTI.
“Salah satu kemungkinan (semakin simpatik terhadap ISIS) adalah karena adanya opinion leader tertentu. Orang-orang yang simpati terhadap Rizieq Shihab, semakin positif terhadap ISIS. Sebaliknya, yang tidak simpatik pada Habib Rizieq antipati terhadap ISIS,” ucap Saiful.
“Untuk membuktikan itu, kita melakukan analisis dengan di satu sisi orang yang mendukung HTI, dan satunya orang yang suka dengan Habib Rizieq. Saat di-cross keduanya, orang yang suka Habib Rizieq cenderung positif sikapnya terhadap HTI maupun ISIS. Itu artinya ada irisan,” jelas Saiful.
Selain itu, sikap positif kepada HTI juga dikatakan cenderung lebih banyak ditemukan pada pendukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dibandingkan partai-partai lainnya.
“Orang yang simpati, setuju terhadap HTI dari PKS besarnya ada 34 persen. Yang kedua adalah PPP, dan berikutnya adalah Partai Gerindra. Ada elemen PKS dan PPP yang banyak bernuansakan Islam, jadi dukungan itu wajar. Padahal orang HTI tidak simpati kepada partai,” ungkap Saiful.
Peran opinion leader ini akan berdampak signifikan terhadap suara anak muda. Alasannya, persentase kisaran usia yang paling banyak mendukung ISIS berada di umur 22-25 tahun dengan angka mencapai 9 persen penduduk. Begitupun terjadi juga pada HTI, persentase dukungan cita-cita perjuangan HTI pada kisaran 22-25 tahun mencapai 20,4 persen.
"Kalau kita tarik ke semua populasi, jumlah orang yang simpati terhadap HTI dari total penduduk tidak lebih dari 3 persen. Dari 3 persen, cenderung di kalangan muda. Orang masa transisi dari 17 tahun ke 25 tahun, umur-umur mahasiswa. Untuk itu, program-program membangun toleransi dan memperkuat negara harus menjadi perhatian khusus pada kelompok umur segitu,” jelas Saiful.
Meski begitu, Saiful meragukan apabila sikap positif dari anak-anak muda dipengaruhi oleh media sosial. “Kita menemukan tidak ada korelasinya, bahwa antara orang yang punya ekspos terhadap media sosial dengan yang kurang, sikapnya terhadap ISIS dan HTI kurang lebih sama,” ujar Saiful.
“Jadi ada faktor yang lebih spesifik terhadap anak muda ini. Artinya harus ada treatment khusus bagi kelompok-kelompok generasi tamat SMA sampai selesai kuliah. karena itu masa critical. Seluruh stakeholders negara ini harus concern pada kelompok umur tersebut,” tambah Saiful.
Pada intinya, Saiful mengingatkan bahwa tindakan intoleransi dan ancaman itu jelas adanya, meskipun tidak berpotensi secara signifikan untuk menggoyahkan dasar negara.
“Yang harus diketahui, sebenarnya masyarakat adalah musuh Anda semuanya. Jangan menantang masyarakat yang banyak itu. Selama ini kan mereka klaim mewakili ini dan itu, tapi pada kenyataannya kita punya penelitian bahwa kelompok-kelompok tersebut tidak mewakili siapapun,” ungkap Saiful lagi.
Beda Sikap NU dan Muhammadiyah
Menanggapi temuan soal pengaruh opinion leader dan partai politik itu, Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola menyatakan perlu adanya campur tangan dari kelompok ormas Islam arus utama, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
“Karena HTI masuknya ke jantung masyarakat, maka seharusnya yang menangani mereka, seperti NU, Muhammadiyah, atau ormas lainnya, juga melakukan counter-argument,” kata Thamrin saat hadir juga dalam jumpa pers.
“HTI ini menyebarkan ideologinya secara intelek. Dakwah dan perang wacana adalah yang diutamakan HTI. Tak hanya itu, HTI juga sudah banyak bekerja dengan pemerintah daerah untuk mengadakan acara. Itu menunjukkan pemerintah pusat dan daerah tidak waspada,” tambah Thamrin.
Sementara itu, Rais Syuriah Pengurus Besar NU Masdar F Mas’udi mengatakan perlu adanya kerja sama dari berbagai lapisan masyarakat untuk bisa mencegah penyebaran gagasan ideologi khilafah. Sehingga tanggung jawab bukan hanya milik ormas semata.
“Jaringan NU, sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, harus dijamin tidak ada virus-virus seperti itu. Tidak cukup hanya mengandalkan ormas untuk menetralisasi radikalisme. Lebih dari itu, harus dilakukan juga (upaya pencegahan) oleh aparat keamanan. Karena mereka lah yang bisa mengendus di mana pusat-pusat radikalisme itu,” ujar Masdar.
Masih dalam kesempatan yang sama, Masdar pun sempat menilai model kekhilafahan yang diusung ISIS tidak memiliki acuan yang jelas.
“Yang penting pemimpinnya menegakkan keadilan, jadi kekhilafahan untuk kelompok tertentu saja itu tidak ada rujukannya. Semua pemimpin boleh saja disebut secara teologis (sebagai) khilafah. Presiden Jokowi bisa disebut khalifahtullah yang harus menegakkan keadilan. Supaya ada cantolan transdental, bahwa dia berkuasa tidak seenaknya sendiri. Kekhilafahan itu mandat,” jelas Masdar.
Kepada para awak media, Sekjen Muhammadiyah Abdul Mu’ti pun mengungkapkan ideologi Indonesia sebenarnya terlalu kuat untuk diganti dengan paham lain. Untuk itu, berbeda dengan NU, Abdul berpesan agar masyarakat tidak terlalu paranoid terhadap ISIS.
“Meskipun kita juga jangan lengah. Orang Indonesia cenderung lebih fokus pada masalah pragmatis yang menyangkut kehidupan sehari-hari, dibandingkan masalah ideologis seperti pergantian dasar negara,” ujar Abdul.
“Apa yang oleh elit dianggap mengancam, oleh masyarakat lebih dianggap tidak mengancam. Orang lebih takut pada begal, dibandingkan teroris. Yang sekarang ini terjadi, polisi sibuk sendiri, tentara sibuk sendiri, sementara ormas tenang-tenang saja. Untuk memperkuat harmoni, negara harus merangkul sebanyak mungkin kekuatan moderat. Indonesia harus merangkul ormas moderat yang setuju dengan negara Pancasila,” ucap Abdul lebih lanjut.
Pelaksanaan survei SMRC ini berlangsung pada 14-20 Mei 2017. Dengan melibatkan seluruh WNI yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, populasi dipilih secara random (multistage random sampling).
Dari 1.500 responden, persentase yang dapat diwawancarai secara valid adalah sebesar 90 persen dengan margin of error lebih kurang 2,7 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan