tirto.id - Evo Morales sudah seperti seorang bapak buat kami,” ucap Antonietta Ladezi, seorang petani koka di Villa Tunari, desa terpencil di kaki pegunungan Andes, Bolivia. Ladezi tak seorang diri; 50.000 keluarga petani koka di sekitar desa itu pun mengamininya.
Ladezi dan petani-petani koka di Villa Tunari punya alasan mengapa mereka menganggap Morales “bapak”. Setelah Amerika Serikat mendeklarasikan perang melawan narkoba pada 1989 di bawah pemerintahan Ronald Reagan, koka diburu untuk dihancurkan. Ya, koka memang bahan dasar penciptaan kokain, obat terlarang yang masuk “Kategori 1” alias sangat berbahaya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 di Indonesia. Namun, bagi warga lokal, koka turun-temurun digunakan sebagai bahan obat tradisional pereda nyeri, sekaligus melawan rasa lapar. Menghancurkan koka, alih-alih menghantam para bandar narkoba atau menyadarkan para pengguna obat terlarang, sama dengan membunuh petani-petani itu.
Hingga awal dekade 2000-an, meskipun memiliki sumber daya alam melimpah, Bolivia adalah negeri yang hanya dapat dinikmati golongan berduit, kalangan elite, dan kulit putih. Ketimpangan sosial antara penduduk berkulit terang dan masyarakat adat sangat besar. Maka, di tengah kekecewaan yang semakin memuncak, lahirlah partai politik bernama Movimiento al Socialismo–Instrumento Político por la Soberanía de los Pueblos alias Gerakan untuk Sosialisme (MAS) pada 1998. Partai ini diotaki oleh Evo Morales, petani koka dan aktivis.
Santiago Anria, dalam studi “Social Movements, Party Organization, and Populism: Insights from the Bolivian MAS” (2013), menyebut MAS sebagai “partai gerakan” yang lahir dari kekecewaan rakyat, khususnya tatkala kebijakan ekonomi neoliberal Bolivia gagal menyejahterakan rakyat. MAS adalah “instrumen politik”, bukan hanya bagi para petani koka, tetapi seluruh rakyat kecil korban kegagalan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam yang mengakibatkan ribuan pekerja tambang perlahan mulai kehilangan sumber penghasilan mereka sejak pertengahan 1980-an. Sebagai pekerja tambang ini akhirnya memilih menjadi petani koka sebagai satu-satunya mata pencaharian.
Dengan kendaraan politik ini, Morales akhirnya terpilih menjadi presiden Bolivia pada 2005. Anna C. Revette, dalam studi berjudul “This It’s Different: Lithium Extraction, Cultural Politics and Development in Bolivia” (2016), menyebut Morales terpilih menjadi presiden karena memuncaknya kekecewaan massa-rakyat Bolivia. Morales dipandang dapat membuat perubahan karena ia seorang petani koka sekaligus mewakili masyarakat adat. Mengutip Revette, Morales akan “memprioritaskan nasionalisasi bidang-bidang strategis ekonomi, dengan fokus khusus pada sumber daya alam”.
Bagi Morales, segala yang tumbuh dan lahir di tanah Bolivia adalah harta yang harus dijaga, bukan oleh elite liberal atau Paman Sam, tetapi oleh rakyatnya sendiri. Menjaga koka adalah salah satu fokusnya. Namun, perlu diingat, Morales hanya melegalkan koka sebagai bahan baku obat tradisional, bukan untuk dikirim ke laboratorium kokain di Kolombia. Di bawah kekuasaannya, kuantitas koka dijaga dan perlahan petani-petani koka di Bolivia dialihkan untuk bercocok tanam tanaman yang lain.
Di tangan Morales, merujuk laporan Bank Dunia, angka kemiskinan ditekan hingga 35 persen dari total populasi. Sebelum Morales berkuasa, kemiskinan di Bolivia mencapai 60 persen dari total populasi penduduk. Berkat kesuksesan ini, Morales berhasil mengamankan posisinya sebagai presiden selama tiga masa jabatan. Sayangnya, Morales tergelincir ketika memperpanjang jabatan presiden untuk periode keempat. Ia dikudeta pada November 2019.
Evo Morales Dituduh Curang, Data Membuktikan Sebaliknya
Mengawali studinya berjudul “Do Shifts In Late-counted Votes Signal Fraud? Evidence from Bolivia” (Juni 2020), Nicolas Idrobo menulis “urutan penghitungan surat suara adalah perkara acak. Para pemilih yang mengikuti penghitungan suara di Brazil, Kolombia, atau Amerika Serikat, misalnya, tahu bahwa hasil penghitungan dari beberapa daerah pertama yang disiarkan jarang menyerupai hasil akhir”. Namun, meskipun umum terjadi, ada pihak yang kukuh bahwa hasil perhitungan awal menandakan hasil akhir. Tatkala hasil awal tidak sejurus dengan akhir, pihak ini seringkali menuduh adanya kecurangan.
Inilah yang terjadi di Bolivia tahun lalu.
Tak lama usai rakyat Bolivia masuk bilik suara pada 20 Oktober 2019 lalu, Evo Morales, yang maju sebagai presiden untuk keempat kali, mengumumkan kemenangan. Klaim Morales, ia menang dengan selisih 35.000 suara dari pesaing terdekat. Masalahnya, kemenangan Morales baru dipastikan saat-saat akhir penghitungan suara. Pada malam pemilihan, otoritas pelaksana pemilu di Bolivia, di tengah-tengah penghitungan suara, menyatakan Morales unggul 7,9 persen dari pesaing terdekatnya. Dengan keunggulan ini, meskipun menang, Morales harus ikut dalam pemilihan babak kedua--jika hasil ini menjadi hasil akhir. Sehari berselang, ketika penghitungan usai, Morales dinyatakan unggul dengan selisih lebih dari 10 persen. Angka ini cukup menjadikan Morales pemenang mutlak tanpa harus melakukan pemilu babak kedua.
Carlos Mesa dan Chi Hyun Chung, kandidat presiden yang dikalahkan Morales, tak terima. Alasannya, kembali menengok studi Idrobo, mereka menolak perbedaan hasil penghitungan awal dengan hasil akhir. Morales dituduh menang karena curang. Organization of American States (OAS), organisasi regional negara-negara di benua Amerika, juga mendukung klaim kecurangan. OAS menyatakan: “Ada lonjakan besar dan tidak dapat dijelaskan pada lima persen terakhir penghitungan suara” dan "menemukan bukti ada perusakan 38.000 kertas suara”.
Sengketa pemilu akhirnya berujung gelombang protes menuntut Morales lengser. Ya, Morales memang dicintai rakyatnya. Khususnya masyarakat adat, golongan petani, dan kaum pekerja. Namun, di tengah negeri yang telah lama dikuasai kaum sayap kanan, dugaan kecurangan yang dilakukan Morales menjadi bahan bakar untuk menggulingkan Morales. Tak ketinggalan, meskipun golongan petani, kaum pekerja, masyarakat adat mendukungnya, tak sedikit yang menghendaki Morales legowo tak menjabat presiden lagi. Singkat kata, gelombang unjuk rasa ini menginginkan ada angin segara di tubuh pemerintahan Bolivia.
Perlahan, selepas unjuk rasa yang menghendaki Morales turun tahta semakin menjadi-jadi, satu per satu kekuatan politik di Bolivia yang semula mendukung Morales berbalik arah. Menurut Anatoly Kurmanaev dalam laporannya untuk The New York Timespada November 2019, kepolisian di kota-kota besar di Bolivia akhirnya ikut di barisan demonstran. Sementara itu, pimpinan tertinggi militer Bolivia, Jenderal Williams Kaliman, menyatakan institusi yang dipimpinnya memilih posisi netral, tidak akan menjadi tameng Morales dan tidak juga ikut di barisan demonstran.
“Tentara tidak akan bertarung melawan rakyat,” kata Kaliman.
Tak ketinggalan, politisi yang semula mendukung Morales pun memilih mencampakannya. Juan Carlos Cejas, Gubernur Potosi, misalnya, memilih mundur dari jabatannya agar tak perlu membela Morales. Yang paling mengejutkan, stasiun televisi nasional, Television Boliviana, yang awalnya menyiarkan klaim-klaim kemenangan Morales, membelot selepas digeruduk demonstran. Alih-alih menyiarkan program pro-pemerintah, stasiun televisi ini memilih menyiarkan dokumenter alam liar.
Gelombang unjuk rasa, ditambah kehilangan dukungan dari elemen-elemen kunci, membuat Morales tertekan.
Kembali menengok studi yang dilakukan Idrobo, tuduhan mahwa Morales curang bisa saja sah jika hanya melihat perbedaan jumlah suara pada awal dan akhir. Namun, klaim OAS bahwa ada lonjakan hasil suara di saat-saat akhir penghitungan, menurut Idrobo, muncul karena kesalahan metodologi dan pengodingan yang dilakukan OAS sendiri.
“Pertama, ketika menganalisis data dari sistem hasil awal Bolivia, OAS menggunakan penaksir yang tidak tepat untuk mengklaim bahwa ada lonjakan suara besar-besaran dalam perolehan suara Morales ketika 95% suara telah dihitung. Lonjakan itu tidak ada,” tulis Idrobo.
Perbedaan drastis hasil awal perhitungan dengan hasil akhir, menurut Idrobo, disebabkan oleh fakta bahwa surat-surat suara dari wilayah-wilayah pendukung Morales dihitung belakangan. Wilayah-wilayah itu ialah daerah kumuh dan pegunungan.
Sial bagi Morales. Tekanan oposisi sangat kuat. Demonstrasi damai telah berubah menjadi protes berdarah. Ia akhirnya menyerah, dan kemudian mencari perlindungan ke Meksiko dan Argentina.
Morales menduga, salah satu alasan mengapa ia dikudeta adalah sikapnya yang keras untuk mengamankan litium, elemen kunci bagi produksi baterai. Mengutip data The U.S. Geological Survey, Simon Romero dalam laporannya untuk The New York Times menyatakan terdapat 5,4 juta ton litium yang dapat ditambang dari tanah Bolivia. Jumlah itu unggul jauh dari negara-negara pemilik litium lainnya seperti Chile (3 juta ton), Cina (1,1 juta ton), dan AS (410.000 ton).
Selama berkuasa, Morales enggan bekerjasama dengan negara mana pun terkait litium, meskipun Jepang dan Perancis sudah terang-terangan mendekati Morales untuk bekerjasama. Namun, Morales ingin litium dikendalikan masyarakat Bolivia.
“Kami sangat paham bahwa Bolivia bisa menjadi Arab Saudi-nya litium,” kata Francisco Quisbert, pemimpin Frutcas, serikat pekerja tambang di Bolivia. “Ya, kami miskin, tetapi kami tidak bodoh. Litium adalah harta milik kami".
Melawan Balik
Pendukung Morales tak bisa menerima kudeta sayap kanan itu. Di desa Villa Tunari, orang-orang seperti Antonietta Ladezi mulai menghimpun perlawanan. Pada Oktober 2019, sebagaimana dilaporkan Anatoly Kurmanaev untuk New York Times, ribuan keluarga di desa tersebut melakukan aksi blokade.
Ya, Villa Tunari memang menjadi rumah petani koka, tetapi petani komoditas lain pun banyak. Lalu, karena berada di posisi yang strategis--mampu menghubungkan kota dan desa--aksi blokade Villa Tunari menyebabkan arus transportasi pangan terhambat. Perlawanan ini kemudian merambat ke mana-mana. Inilah yang sering diabaikan para pengamat: MAS memiliki jejaring gerakan sosial hingga ke kampung-kampung yang membuatnya tahan banting, bahkan ketika pemerintahan disabotase oleh sayap kanan.
Setahun pasca-Morales mengundurkan diri, pemilu 2020 diselenggarakan, kendaraan politik Morales, MAS, menjadi pemenang pemilu. Tak ketinggalan, “anak ideologis” sekaligus mantan menteri ekonomi, Luis Arce, menjadi pemenang pemilihan presiden. Mewakili MAS, Arce memenangkan pemilu presiden dengan perolehan 52,4 persen suara berdasarkan hitung cepat, unggul jauh dibandingkan pesaing terdekatnya, mantan presiden Carlos Mesa yang mengantongi 31,5 persen suara.
Apakah kemenangan Arce adalah kemenangan Morales? Dalam paparannya di majalah Time, Ciara Nugent menyebut bahwa kemenangan MAS dan Arce di pemilu Bolivia tidak bisa langsung dibaca sebagai kemenangan Morales. Arce memang “anak ideologis” Morales, tetapi selama kampanye berlangsung ia menjaga jarak dengan Morales. Arce menyatakan bahwa Morales adalah milik masa lalu dan menyebut pencalonan kembali Morales untuk keempat kalinya sebagai “kesalahan”. Selama kampanye, Arce selalu mengingatkan calon pemilihnya bahwa ia “tidak tertarik dengan kekuasaan”. Arce berjanji, “hanya akan menjabat presiden selama satu periode dan memberikan kekuasaan pada golongan muda untuk melanjutkan pembangunan bangsa”.
Di sisi lain, dalam kampanye pemilu 2020, MAS selalu menggaungkan keterlibatan Acre dalam kebijakan-kebijakan pro-rakyat selama Morales berkuasa. MAS menyatakan Acre sebagai sosok utama di balik nasionalisasi berbagai sektor ekonomi di Bolivia. MAS (dan Acre) akan tetap berada di sisi rakyat yang tertindas, dengan catatan tidak mengulangi blunder yang pernah dibuat pemerintahan Morales.
Untuk memperkuat kampanye ini, Arce memilih David Choquehuanca sebagai wakilnya. Choquehuanca berasal dari faksi dalam MAS yang berbeda dari faksi Morales. Choquehuanca sering disebut-sebut mewakili faksi masyarakat adat. Gagasan-gagasan ekonominya lebih berpusat pada pemberdayaan masyarakat adat alih-alih developmentalisme pragmatis yang diimplementasikan selama Morales berkuasa.
Terlepas dari perbedaan antar-faksi dalam tubuh MAS, kemenangan Arce disebut-sebut sebagai kemenangan demokrasi Bolivia setelah satu tahun pemerintahan kudeta sayap kanan. Merujuk peneliti Amerika Latin di Chatham House, Christopher Sabatini, kemenangan MAS dan Arce adalah “tanda begitu kuat demokrasi di Bolivia”.
Jeanine Añez, pejabat presiden dan salah satu tokoh kudeta yang ingin memenjarakan Morales, menerima hasil kemenangan Arce. Ancaman pemenjaraan itu kini sirna. Dari pengasingannya di Argentina, Morales mengatakan cepat atau lambat ia akan pulang ke tanah air. Akhir yang manis bagi sang petani koka.
Editor: Windu Jusuf