tirto.id - November silam, kaum muda Peru membanjiri jalanan di ibukota Lima dan kota-kota besar lainnya untuk memprotes pemakzulan Presiden Martín Vizcarra (57) oleh Kongres. Aksi yang diikuti ribuan orang ini merupakan protes terbesar yang mengguncang Peru dalam dua dekade terakhir.
Rakyat Peru tampak tidak rela presiden mereka dilengserkan oleh parlemennya sendiri. Berdasarkan poling pada pertengahan November oleh Instituto de Estudios Peruanos (PDF), 91 persen responden menyatakan tidak setuju dengan pemakzulan Vizcarra. Selain itu, lebih dari 80 persen responden menganggap Vizcarra dilengserkan karena kebijakannya selama ini telah mengusik kepentingan pihak-pihak tertentu di Kongres.
Sebagai politisi beraliran sentris dan independen, Vizcarra tidak punya afiliasi kuat dengan partai yang berkuasa di Kongres. Selama dua setengah tahun berada di pucuk kepemimpinan, ia mendulang popularitas dari warga sipil berkat ambisinya untuk memberantas korupsi yang marak menjangkiti elite politik Peru.
Sebelumnya, Vizcarra menjabat sebagai wapres. Pada bulan Maret 2018, ia menggantikan Presiden Pedro Pablo Kucszynski yang mengundurkan diri karena dituduh menerima suap dari Odebrecht, perusahaan konstruksi asal Brasil.
Sepuluh tahun terakhir, empat presiden Peru secara berturut-turut tersandung skandal korupsi yang berhubungan dengan Odebrecht. Selain empat presiden, mantan pemimpin kubu oposisi di Kongres, Keiko Fujimori, juga diduga terlibat suap Odebrecht. Keiko adalah anak dari Alberto Fujimori, presiden yang lengser pada tahun 2000 dan dihukum penjara atas kejahatan korupsi serta pelanggaran HAM.
Di tengah badai korupsi yang menghantam Peru, Vizcarra pun diangkat sebagai presiden. Gebrakan utamanya adalah pemberantasan korupsi, di antaranya pengaturan sumber pendanaan parpol dan masa jabatan maksimal anggota parlemen selama lima tahun. Reformasi hukum ini menjadikan Vizcarra populer di mata masyarakat Peru. Langkah ini membuatnya dimusuhi oleh Kongres yang citranya begitu korup di masyarakat.
Kongres terus mengganjal reformasi anti-korupsi Vizcarra. Reformasi pendidikan yang diusung Vizcarra juga dihalang-halangi Kongres karena disinyalir mengganggu kepentingan bisnis universitas swasta milik beberapa petinggi partai dan keluarganya.
Ketegangan antara Kongres dan Vizcarra memuncak pada 9 November ketika 105 dari 130 anggota Kongres memberikan suara untuk memecat Vizcarra atas dasar “ketidakmampuan moral”. Ia dituduh pernah melakukan korupsi semasa menjabat sebagai gubernur, serta disalahkan atas penanganan pandemi Covid-19 yang menewaskan 36 ribu orang di negara dengan populasi 32 juta jiwa tersebut.
Vizcarra pun mempertanyakan motif pemakzulannya, apakah benar-benar berdasarkan keinginan rakyat Peru atau sekadar “keputusan untuk kepentingan pribadi dan kelompok”, seperti dikutip dari The Guardian.
Vizcarra juga mengklaim bahwa saat ini terdapat 68 anggota Kongres yang tengah diselidiki atas beragam tuduhan kejahatan, mulai dari penyalahgunaan wewenang, penggelapan pajak, sampai pencucian uang.
Dikutip dari The Washington Post, ahli politik dari George Mason University, Jo-Marie Burt menilai bahwa pejabat di Kongres perlu mengontrol badan eksekutif dan mengakhiri berbagai investigasi demi keberlangsungan diri mereka sendiri. Menurut Burt, mereka tidak punya tujuan bersama yang sifatnya ideologis, melainkan hanya suatu “koalisi korup”.
Selama kurang dari seminggu, Manuel Merino (59) berperan sebagai presiden interim. Merino adalah pemimpin oposisi di Kongres yang punya andil dalam pemecatan Vizcarra. Sebenarnya, ia juga tengah terbelit kasus dugaan nepotisme. Tak butuh waktu lama sampai desakan massa yang begitu kuat berhasil mendorong Merino mundur, tepatnya setelah insiden kematian dua demonstran muda oleh peluru polisi.
Kursi presiden kemudian diisi oleh politisi senior mantan penasihat Bank Dunia berusia 76 tahun, Francisco Sagasti. Partai pengusungnya termasuk yang menolak pemakzulan Vizcarra di Kongres. Kehadiran Sagasti tampak berhasil meredam kegelisahan massa, setidaknya sampai presiden resmi terpilih dalam pemilu April 2021.
Peran serta dan ekspresi kaum muda—milenial serta generasi Z—tampak mewarnai gejolak politik di Peru. Merujuk pada 200 tahun peringatan kemerdekaan Peru tahun depan, panggilan “generasi bicentennial” kerap disematkan untuk demonstran muda Peru yang berasal dari pelbagai latar sosial namun dipersatukan oleh semangat kolektif untuk membela demokrasi.
Sebagaimana sosiolog Noelia Chavez sampaikan kepada kantor berita Peru Andina, peringatan kemerdekaan Peru terkesan menyedihkan dengan sejarah yang kelam dan berbagai kemunduran. Maka dari itu, pemakaian istilah bicentennial untuk demonstran Peru yang berkisar dari usia 15 sampai 29 tahun ini diharapkan dapat mengisi narasi politik sekaligus memberi makna dua abad Peru merdeka.
Liputan CNN menyorot besarnya energi kemarahan bicentennial Peru terhadap sistem pemerintahan yang korup dan tidak demokratis. Mereka tidak terima pada keputusan semena-mena Kongres untuk melengserkan Vizcarra. Kondisi ekonomi dan kesehatan publik sedang diuji selama pandemi Covid-19, sehingga pemakzulan Vizcarra dinilai memperkeruh ketidakstabilan pemerintahan di Peru.
Dalam wawancara oleh Reuters terhadap sejumlah demonstran berusia 20-an, diketahui bahwa mereka bertekad untuk terus protes sampai para pemimpin Peru mau melakukan
“perubahan nyata”. Dari sekian tuntutan yang diajukan, mereka ingin agar sistem satu kamar Kongres dirombak. Selain itu, mereka minta perumusan konstitusi baru. Konstitusi yang berlaku sekarang rupanya masih berupa peninggalan dari Presiden Fujimori tahun 1993.
Grace Yarango (18) memberitahu Reuters bahwa angkatannya “ingin memperbaiki kesalahan-kesalahan generasi di masa lalu”. Ia merasa menjadi bagian dari generasi bicentennial yang ingin negaranya menjadi lebih baik.
Masih dikutip dari Reuters, Presiden Sagasti dalam pidato inagurasi mengakui bahwa pergerakan massa di Peru ini dimiliki generasi mudanya. Menurut Sagasti, negara membutuhkan mereka karena mempunyai “semangat muda terhadap pemberontakan, semangat muda untuk membangun negara yang lebih baik”.
Kandidat doktor ilmu politik di British Columbia University, Verónica Lozada, mengamati bagaimana anak muda Peru berinisiatif memanfaatkan media sosial dan aplikasi komunikasi seperti WhatsApp untuk mengerahkan grup-grup dalam aski demonstrasi damai. Verde Brigade adalah grup aktivis muda yang memberikan bantuan medis kepada demonstran sekaligus menggalang dana, sementara Women to Congress adalah kelompok yang ditugaskan untuk melawan penggunaan gas air mata serta menyediakan tempat istirahat bagi pendemo.
Media sosial memang berperan besar dalam menyebarkan energi protes. Misalnya, ketika Merino diprotes karena menggantikan Vizcarra, tagar #MerinoNoMeRepresenta (Merino tidak mewakilkan diriku) ramai digaungkan. Ada pula tagar bernada tangguh, #semetieronconlageneracionequivocada, artinya kira-kira “mereka berurusan dengan generasi yang keliru”. Slogan-slogan itu memadati beranda Facebook, Instagram, Twitter serta TikTok, dan ditemukan pula pada poster-poster dalam aksi demo.
Demonstrasi besar-besaran oleh kaum muda Peru ini memang tergolong baru, namun tidak terlalu mengejutkan. Beberapa waktu lalu, gelombang protes sudah melanda daratan Amerika Latin, yang sama-sama dipicu oleh kekecewaan publik terhadap sikap pemerintah dalam pemberantasan korupsi, kebijakan ekonomi, sampai pelayanan sosial.
Akhir 2019 silam, demonstrasi pecah di Chili untuk memprotes ketimpangan ekonomi. Pada waktu berdekatan, Ekuador diguncang demo berujung kekerasan terkait putusan pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar.Protes anti-pemerintah juga terjadi di Kolombia untuk menuntut perbaikan ekonomi, pendidikan, sistem layanan kesehatan, hingga tuntutan agar pemerintah mengambil langkah damai dengan pemimpin masyarakat adat.
Kekecewaan generasi mudaPeru terhadap kebusukan elite parlemennya sebenarnya tidak terlalu berbeda dari ekspresi pelajar Indonesia dalam aksi demo #ReformasiDikorupsi untuk menolak UU KUHP dan Revisi UU KPK pada September 2019.
Berbagai aksi demo di atas polanya cenderung mirip. Tidak ada tokoh sentral dan dominan yang menggerakkan massa. Logistik berasal dari iuran atau sumbangan masyarakat. Koordinasi dilakukan secara spontan, relatif tidak terlalu terorganisir, dan dimotori terutama oleh kelompok muda, milenial dan generasi Z dengan mengoptimalkan jaringan daring.
Risiko Kultus Pemuda dan Politik Generasional
Salah satu hal menarik untuk dikupas dari fenomena demonstrasi baru-baru ini adalah bagaimana analis, media, politisi senior seperti Presiden Sagasti, termasuk anak muda sendiri, tampak mengglorifikasi aktivisme generasi muda: bicentennial Peru, para milenial dan gen Z. Ada sambutan positif terhadap kaum muda, bahwa suara mereka lebih penting dan mendesak daripada yang diserukan oleh generasi-generasi sebelumnya.
Brendan O’Neill dalam paparannya di The Spectator pada2019 mencetuskan istilah cult of youth atau “kultus pemuda”. Ejekan ini diarahkan ke Partai Buruh di Inggris yang berusaha keras meraup dukungan suara anak muda.
O’Neill mengkritik betapa pengkultusan kaum muda ini bersifat memecah belah, menimbulkan rasa permusuhan terhadap generasi lebih tua, dan pada saat bersamaan meyakinkan anak muda bahwa masalah-masalah berat yang mereka hadapi sekarang adalah produk dari egoisme generasi terdahulu, terlepas dari kenyataan bahwa kaum lansia turut berjuang untuk bangkit dari resesi ekonomi dan mengalami kesulitan ekonomi.
Kultus kaum muda ini semakin memberikan nyawa pada narasi politik generasional. Secara sederhana, perspektif ini memandang kelompok milenial sebagai generasi pemberontak yang punya peranan heroik dalam meruntuhkan tatanan ekonomi yang tidak adil dan menciptakan perubahan politik yang revolusioner. Sebaliknya, generasi di atas mereka, terutama Baby Boomers, dioposisikan sebagai kubu konservatif, berpikiran sempit dan rakus yang keputusan-keputusannya berdampak destruktif terhadap kehidupan generasi di bawahnya.
Problem dari perspektif generasional ini adalah menimpakan masalah sosial kepada generasi tertentu dan melupakan kategori-kategori sosial lain yang lebih berperan, misalnya kelas sosial. Sebagaimana diperingatkan oleh Shaun Scott dalam esai berjudul “Millennials Are Not Here To Save Us”, sangat tidak tepat jika generasi milenial dianggap akan menyelamatkan masyarakat dari segala problem sosial yang ditimbulkan oleh ekonomi kapitalis. Perspektif generasional berpotensi membuat kita abai pada masalah lintas generasi: kerentanan kelas pekerja dan ketimpangan sosial.
Di balik berbagai diskursus tentang semangat muda, tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan pemuda senantiasa hadir dalam perubahan-perubahan sosial berskala masif. Wujudnya bisa berupa pemberontakan mahasiswa, gebrakan intelektual-kebudayaan, sampai kampanye pro-lingkungan. Bagaimanapun, sebelum dituding konservatif, generasi babyboomers kerap dikenang sebagai generasi yang menolak perang, membela hak-hak sipil, dan memulai revolusi seksual pada 1960-an.
Editor: Windu Jusuf