tirto.id - Pada 1825 Marquis de Lafayette mengirimkan sepasang pistol kepada Simon Bolivar. Itu bukan pistol sembarangan. Pistol tersebut dirancang langsung oleh Nicolas-Noël Boutet, ahli senjata kepercayaan Napoleon.
Lafayette, seorang aristokrat Perancis yang ikut dalam Revolusi Perancis, mendengar kisah Bolivar tatkala ia terlibat Revolusi Amerika, tempat yang kelak menjadi “tanah air” keduanya. Semasa di sana, Lafayette berstatus sebagai mayor jenderal sekaligus asisten pribadi George Washington—Presiden pertama Amerika Serikat yang kelak akan dianggap sebagai ayah angkatnya.
Kekaguman Lafayette terhadap Bolivar rupanya diketahui keluarga Washington dan mereka pun turut terkesima. Maka di tahun yang sama atau 26 tahun setelah Washington wafat, keluarga tersebut mengirimkan Bolivar tiga buah barang penting milik sang presiden: sebingkai potret diri, medali kehormatan, dan kuncir rambut. Mereka bahkan juga menjuluki Bolivar sebagai “Washington of the South”.
Usai mengetahui barang pemberian yang didapatnya berasal dari dua sosok yang ia kagumi, Bolivar pun menuliskan surat kepada Lafayette. Keduanya lantas saling berkirim surat beberapa kali. Dalam sebuah surat, Bolivar memuji Lafayette sebagai "pahlawan bangsa, seorang pembebas, di mana satu tangannya telah membantu Amerika dan yang lainnya di Dunia Lama”—sebuah istilah untuk menyebut benua Afro-Eurasia sebelum benua Amerika ditemukan Christopher Columbus.
Apa yang menarik dari kisah saling mengagumi antara Lafayette, Washington, dan Bolivar adalah tiga sosok tersebut berasal dari generasi berbeda, yang tak pernah sekali pun bersemuka, namun disatukan oleh semangat yang sama: semangat pembebasan.
Dan kelak Bolivar juga menjadi seorang libertador yang memiliki peran penting dalam memerdekakan enam bangsa dari cengkeraman kolonialisme Spanyol: Venezuela, Bolivia, Colombia, Ecuador, Peru, dan Panama.
Masa Kecil dan Dua Guru
Sebagaimana Lafayette, Bolivar juga berasal dari keluarga bangsawan. Nama keluarga Bolívar berasal dari bangsawan La Puebla de Bolivar yang berasal dari sebuah desa kecil di Basque, Spanyol. Ayahnya merupakan keturunan laki-laki dari keluarga Ardanza. Sementara sang ibu adalah keturunan nenek moyang beberapa keluarga dari Kepulauan Canary yang menetap di negara tersebut.
Bolivar lahir di sebuah rumah di Caracas, Venezuela Captaincy Umum (sekarang Republik Bolivarian Venezuela), pada 24 Juli 1783. Ibunya bernama Doña María de la Concepción Palacios y Blanco dan ayahnya adalah Coronel Don Juan Vicente Bolívar y Ponte. Bolivar, yang dibaptis sebagai Simón José Antonio de la Santisima Trinidad Bolívar y Palacios, juga memiliki empat saudara lain: María Antonia, Juana, Juan Vicente, serta María del Carmen yang meninggal saat lahir.
Ketika masih bayi, Bolivar dirawat seorang suster kepercayaan keluarga, Doña Ines Manceba de Miyares, serta budak keluarga bernama Hipólita. Meski hanya beberapa tahun, tapi periode ini sangat membekas dalam benak Bolivar. Ia bahkan menganggap Hipólita sebagai “satu-satunya ibu yang saya kenal". Hal ini lantaran ketika ia berusia tiga tahun, sang ayah meninggal karena menderita TBC. Enam tahun berselang, giliran sang ibu yang tiada.
Setelah kematian ibunya, Bolivar dititipkan kepada konselor keluarga, Miguel José Sanz, namun hanya sementara sebelum ia dikembalikan ke rumah. Untuk pendidikan dasar, Bolivar diajar langsung oleh para profesor terkenal kala itu seperti Andrés Bello, Guillermo Pelgrón, Jose Antonio Negrete, Fernando Vides, hingga Pastor Andújar.
Namun, guru terbaik Bolivar adalah Simón Rodríguez. Dia hadir tatkala Bolivar tengah mengalami masa-masa demoralisasi usai sang istri, María Teresa, yang dinikahinya di Madrid, Spanyol, ketika berusia 19 tahun, meninggal akibat sakit kuning. Rodríguez lah yang membantu Bolivar untuk kembali menemukan semangat hidupnya kembali. Sebab itulah ia menganggap Rodríguez tak hanya sebagai guru terbaik, namun juga mentor kehidupan sekaligus sahabatnya.
Sebagai guru, Rodríguez mengajari Bolivar banyak hal. Mulai dari cara berenang, menunggang kuda, prinsip kebebasan, politik, sejarah, sampai sosiologi. Namun, ketika Bolivar berusia empat belas tahun, Rodríguez terpaksa meninggalkan Venezuela setelah dituduh terlibat dalam konspirasi melawan pemerintah Spanyol di Caracas.
Dapat dikatakan, dari Hipólita Bolivar belajar menjadi pihak yang mengalami ketertindasan. Sementara bersama Rodríguez ia memaknai betul betapa penting sebuah kemerdekaan. Merekalah yang mula-mula membentuk watak dan jalan pikiran Bolivar.
Berdarah-Darah Mewujudkan Sumpah
Bolivar kemudian memasuki akademi militer Milicias de Aragua, sebelum akhirnya pada 1800, ia dikirim ke Madrid, Spanyol untuk melanjutkan studi militernya selama dua tahun. Pada 1804 Bolivar hijrah ke Perancis dan berkeliling ke beberapa negara Eropa lain. Dalam periode inilah ia menekuni ide-ide Pencerahan (Enlightenment) dan membaca banyak karya filsuf seperti Rousseau, Voltaire, dan Montesquieu.
Hasil pemikiran Bolivar berkembang menjadi lebih idealis tatkala ia berada di Roma, Italia, pada 1805. Dan tepat pada 15 Agustus 1805, di atas bukit Monte Sacro, Bolivar, yang kala itu masih berusia 22 tahun, mengucap sumpah di hadapan Rodriguez untuk membebaskan negaranya dari okupasi Spanyol:
"Aku bersumpah di hadapanmu, aku bersumpah demi Tuhan nenek moyangku, demi nenek moyang mereka sendiri, demi kehormatanku dan negaraku, bahwa aku tidak akan pernah membiarkan tanganku berdiam atau jiwaku beristirahat sampai aku telah merobek belenggu yang mengikat kita ke Spanyol.”
Upaya revolusi melawan kekuasaan Spanyol di Venezuela dimulai sejak negeri tersebut ditaklukkan Napoleon pada medio 1800-an. Situasi itu lalu dimanfaatkan oleh berbagai negara di Amerika Latin untuk melawan. Sementara di Venezuela, tercatat pada April 1810, mereka secara de facto menyatakan merdeka dan segera mendirikan pemerintahan junta. Untuk mengamankan kemerdekaan sekaligus mencari bantuan, mereka mengirim delegasi ke Inggris. Bolivar salah satunya.
Meski cara tersebut dianggap aneh, Bolivar tetap bertahan dengan sikap pragmatisnya. Ia juga menemui Jenderal Francisco de Miranda, seorang keturunan Venezuela yang pernah berperang bersama dengan Napoleon dan George Washington. Bolivar meminta sang jenderal, termasuk memberikannya uang, agar bersedia kembali ke Venezuela demi memimpin revolusi.
Diplomasi Bolivar berhasil: Republik Venezuela yang pertama pun didirikan.
Sayangnya, republik tersebut hanya bertahan sebentar karena berbagai faktor: Masih banyaknya kaum royalis—mereka yang mendukung kolonialis Spanyol, termasuk barisan militer yang dipimpin kapten Domingo Monteverde. Kalangan gereja pun melakukan perlawanan. Persoalan tambah parah karena Jenderal Miranda pada akhirnya justru berkhianat dan bersekutu dengan tentara Spanyol.
Bolivar pun ditangkap lalu dibuang ke hutan Cartagena. Seluruh harta bendanya disita. Pada 1812 Republik Venezuela Pertama runtuh. Tapi perjuangan Bolivar tak surut. Setelah membuat "Manifesto Cartagena", ia melanjutkan misinya dengan memanfaatkan kepiawaiannya dalam berpidato. Alhasil, kaum patriot, rakyat miskin, dan para budak bersimpati dengannya.
Ditambah dengan dukungan pasukan militer pimpinan Jenderal Fransisco De Paula Santander yang dikirim langsung oleh Gubernur Cartagena yang juga anti-Spanyol, pelan tapi pasti, Bolivar membebaskan berbagai wilayah pesisir sungai Cartagena. Termasuk memenangi "Pertempuran Cúcuta" melawan armada gabungan antara Spanyol dan royalis yang jumlahnya lebih besar.
Bolivar pun diangkat menjadi Brigadir Jenderal dan semangatnya tambah membara. Kurang lebih setahun kemudian, ia menargetkan perang pembebasan Venezuela seutuhnya. Ide ini semula ditentang jenderal Santander, tapi Bolivar berhasil meyakininya kembali. Ketika waktunya tiba, Bolivar langsung menargetkan jantung Venezuela: Caracas. Penyerbuan itu, yang dilakukan pada 6 Agustus 1813, berhasil, sekali pun memakan banyak korban. Republik Venezuela Kedua pun didirikan.
Namun, lagi-lagi usia republik ini hanya sebentar. Bolivar sejatinya menyadari hal tersebut. Maka ketika pada pertengahan 1814 Spanyol dan kaum royalis berhasil merebut kembali Caracas, Bolivar dan seluruh rakyat Caracas pendukung Republik melakukan long-march ke Nueva Granada—wilayah ini meliputi sebagian Kolombia, Venezuela, Ekuador, Panama, dan Peru.
Berselang waktu setelahnya, Bolivar menyingkir ke Jamaika dan menulis "Carta de Jamaica" (PDF): sebuah surat yang berisikan analisis penyebab keruntuhan Republik Kedua serta cita-cita memerdekakan seluruh Amerika. Dari Jamaika, ia berpindah ke Haiti. Di sana ia mendapat perlindungan dan dukungan logistik dari Presiden Haiti, Alejandro Petion.
Memasuki tahun 1816 Bolivar memulai ekspedisi untuk kembali ke Venezuela dengan perencanaan yang lebih matang. Dimulai dari berhasil merebut daerah yang jadi pusat perbudakan, Carúpano, Bolivar bersama pasukannya berturut-turut menaklukkan Guayana dan Angostura.
Pada periode itu Bolivar lantas mengorganisasi negara baru. Termasuk pula menerbitkan sebuah koran bernama Correo del Orinoco. Setelah kekuatannya tambah matang, ia memulai perang pembebasan wilayah Nueva Granada. Meski melewati jalur pegunungan Andes yang menyebabkan banyak prajuritnya yang mati kelaparan, pasukan Bolivar tetap melancarkan serangan terhadap pasukan Spanyol yang jauh lebih tangguh di Bogota pada 7 Agustus 1819.
Pertempuran inilah yang kelak dicatat dalam sejarah sebagai “Pertempuran Boyacá”.
Bogota akhirnya berhasil direbut total tiga hari kemudian. Setelah itu Bolivar pun memproklamasikan berdirinya “Republik Besar Amerika Kolombia” atau sering disebut “Gran Colombia” yang meliputi Venezuela, Kolombia, Panama, dan Ekuador. Ia pun juga ditunjuk sebagai presiden.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada Juni 1821, Bolivar bersama pasukan Republik akhirnya baru benar-benar mengusir habis pasukan Spanyol di Caracas dan di beberapa daerah kecil di Venezuela. Setelah itu giliran Ekuador yang dibebaskan, kemudian Peru dua tahun berselang. Cita-cita Bolivar membebaskan seluruh Amerika Selatan dari kolonialisme Spanyol pun perlahan terwujud.
Hanya saja pertentangan dalam tubuh Republik antara kubu Bolivar yang mendukung “negara kesatuan yang terpusat” dengan kubu Santander selaku wakil presiden di kubu "federalisme/provinsialisme", menyebabkan bentrok. Bolivar pun sempat mendapatkan percobaan pembunuhan dari Santander pada September 1828.
Seiring berjalannya waktu, perbedaan pandangan ini makin mengerucut dengan terjadinya gelombang pemisahan. Kubu yang menghendaki negara kesatuan pun kian melemah. Bolivar yang menyadari dirinya tak lagi mendapat dukungan akhirnya mengundurkan diri dari kursi presiden pada April 1830. Semangatnya tambah pudar karena rekan seperjuangannya, Antonio Jose de Sucre, dibunuh.
Pada 17 Desember 1830, tepat hari ini 189 tahun lalu, tatkala hendak melakukan perjalanan ke Eropa, El Libertador meninggal dunia akibat TBC akut yang dideritanya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan