Menuju konten utama

Pemerintahan Kiri Pertama dalam 212 Tahun Sejarah Kolombia

Untuk pertama kalinya Kolombia punya presiden berhaluan kiri: mantan gerilyawan Gustavo Petro.

Pemerintahan Kiri Pertama dalam 212 Tahun Sejarah Kolombia
Dinding dengan gambar pasangan calon wakil presiden dan presiden sayap kiri Kolombia, Francia Marquez dan Gustavo Petro, sehari sebelum pemilihan presiden putaran pertama di Cali, Kolombia, Sabtu (28/5/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Luisa Gonzalez/HP/djo

tirto.id - Gustavo Petro (62), seorang mantan gerilyawan, memenangkan pemilihan presiden Kolombia, tanah air penyanyi Shakira yang terletak di bagian utara Amerika Latin. Dalam pemilu putaran kedua 19 Juni lalu, ia mendapatkan 50 persen suara, hanya selisih 700 ribu dari sang lawan, Rodolfo Hernández (77).

Tapi Petro tak sekadar presiden baru. Ia adalah presiden berhaluan kiri pertama Kolombia sejak merdeka dari Spanyol 212 tahun lalu. Selama itu Kolombia selalu dinakhodai secara bergantian oleh elite dari partai-partai konservatif sayap kanan (dengan pengecualian era kediktatoran militer Jenderal Gustavo Rojas pada 1953-1957) yang cenderung membela kepentingan pemodal besar.

Kemenangan Petro menambah panjang daftar negara Amerika Latin yang dikelola oleh pemerintahan sayap kiri. Tren ini, yang oleh para analis politik disebut “gelombang merah jambu” atau pink tide, telah dimulai pada 1990-an.

Contoh paling dekat adalah rezim sosialis Hugo Chávez (1999-2013) dan Nicolás Maduro (sejak 2013) di Venezuela, yang berbagi perbatasan sepanjang 2.200 km dengan Kolombia. Agak ke selatan, Brasil pernah dipimpin oleh pendiri Partai Buruh Lula da Silva (2002-2010). Lula saat ini kembali menjadi kandidat presiden terkuat.

Di Argentina ada suami-istri Peronist progresif Néstor dan Cristina de Kirchner (2003-2017), Uruguay punya presiden-presiden dari koalisi kiri Frente Amplio (2005-2020), Bolivia dengan tokoh serikat buruh Evo Morales (2006-2019), dan Ekuador bersama ekonom sosial-demokrat Rafael Correa (2007-2017).

Setelah sempat redup seiring dengan naiknya sayap kanan, gelombang merah jambu kembali bangkit pada awal tahun ini dengan kemenangan beberapa politikus kiri (Petro adalah salah satunya). Di Honduras, politikus perempuan sosial-demokrat bernama Xiomara Castro berhasil menggeser 12 tahun rezim sayap kanan; di Peru, guru sekolah sokongan para sosialis Pedro Castillo mengalahkan anak mantan diktator; sementara di Chili, negara kapitalis ekonomi mapan dengan tingkat kesenjangan sosio-ekonomi tinggi, ada milenial gaul Gabriel Boric.

Kemenangan Petro tidak bisa dipisahkan dari kesepakatan damai antara pemerintah dan grup gerilyawan kiri pada 2016. Mantan rektor University of Bogotá, Ricardo Garcia, mengatakan selama ini kiri demokratis selalu kalah dalam pemilu karena citranya tergerus oleh gerakan pemberontak marxis. Dengan kemenangan Petro, terbukti bahwa istilah “kiri” telah dipandang sebagai jalan keluar alternatif dari beragam masalah sosioekonomi, alih-alih berkonotasi negatif seperti kekerasan atau konflik bersenjata.

Sebelum 2016, isu domestik hanya diramaikan oleh tokoh-tokoh sayap kanan. Itu pun topiknya sangat terbatas. Namun, sejak kesepakatan damai tercapai, bahasan politik melebar, dari mulai pemberantasan korupsi, ketimpangan sosial, sampai kerusakan alam. Dan isu-isu tersebut termasuk ranah yang lebih dikuasai oleh kalangan kiri.

Prorakyat Kecil

Kemenangan Gustavo Petro tentu tak didapat dengan mudah. Ini terlihat dari sedikitnya selisih suara dengan Rodolfo Hernández.

Perolehan suara Hernández sebetulnya cukup mengejutkan. Ia awalnya bukan tokoh yang dijagokan tapi mampu memanfaatkan media sosial besar-besaran selama masa kampanye sampai-sampai dikenal dengan nama “Raja TikTok”.

Hernández merupakan tokoh populis konservatif yang disebut-sebut mirip Donald Trump. Lulusan teknik sipil yang juga merupakan pengusaha konstruksi ini termasuk salah satu orang terkaya di Kolombia dengan harta kekayaan 100 juta dolar (nyaris 1,5 triliun rupiah).

Ucapan-ucapannya kontroversial. Ia pernah memuji Adolf Hitler sebagai “pemikir Jerman yang hebat” (yang lantas dikoreksi jadi Albert Einstein). Ketika menghadapi gelombang pengungsi dari Venezuela sebagai Wali Kota Bucaramanga (2016-2019), ia mengejek mereka sebagai “pengemis, pelacur dan pengangguran.”

Janji politik andalannya adalah pemberantasan korupsi. Meski demikian, janji tersebut dikritik karena cara mewujudkannya dianggap tidak jelas dan dia sendiri tengah diinvestigasi persis karena hal yang sama saat jadi wali kota. Ia juga pernah memangkas hak-hak serikat pekerja dan kini harus menghadapi tuntutan hukum.

Dari sisi Petro, agenda antikorupsi kurang kencang gaungnya. Anak petani yang sudah nyapres sebanyak tiga kali ini berusaha menarik perhatian pemilih dengan menawarkan kebijakan yang tak lagi berorientasi kaum berduit dan melanggengkan ketimpangan. Tak heran jika langkah ini disambut waswas oleh komunitas pengusaha dan investor. Langkahnya akan memengaruhi sekitar 4-5 ribu warga kaya.

Proposalnya meliputi menggratiskan biaya pendidikan tinggi, reformasi pensiunan, sampai menarik pajak tinggi pada lahan-lahan yang tidak produktif.

Petro juga menyikapi secara serius kebijakan perlindungan lingkungan. Rencananya adalah menangguhkan eksplorasi minyak, mempercepat transisi energi alternatif, dan lebih gencar menekan laju deforestasi. Petro bahkan menggandeng tokoh aktivis lingkungan, seorang ibu tunggal berkulit hitam keturunan Afrika, Francia Marquez, sebagai wakilnya.

Di balik keseriusannya tersebut, Petro tetap dikritik karena belum menawarkan cara untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi, yang merupakan komoditas ekspor terbesar Kolombia.

Petro, yang disokong koalisi partai-partai kiri Pacto Histórico por Colombia, juga fokus mencabut aturan hukum propasar bebas yang sudah berlaku selama dua dekade. Dilansir dari Financial Times, dengan meningkatkan pajak pada dividen perusahaan, aset-aset lepas pantai dan properti mahal, Petro berharap negara dapat pemasukan sampai 10 miliar dolar per tahun.

Jika diringkas, seluruh kebijakannya terkait dengan “mewujudkan keadilan sosial, mendorong produksi, dan memberikan uang yang dibutuhkan negara,” sebagaimana yang ia sampaikan sendiri.

Satu janji lain dari Petro adalah melanjutkan resolusi damai antara pemerintah dengan gerakan pemberontakan kiri Armadas Revolucionarias de Colombia (FARC/ Tentara Revolusioner Kolombia) yang telah terjalin sejak 2016 lalu. Ia juga berniat memperluasnya dengan cara bernegosiasi ke grup pemberontak lain yang masih aktif, ELN (Ejército de Liberación Nacional/Tentara Pembebasan Nasional).

Masyarakat jelas mendambakan perdamaian setelah terus berada dalam pusaran konflik bersenjata selama setengah abad. Mereka digusur, diculik, sampai dibunuh karena dianggap mengusik kepentingan tiap-tiap kelompok.

Tak hanya antara tentara resmi dan gerilyawan, mereka juga terhimpit di antara grup-grup paramiliter sayap kanan yang sebagian didirikan oleh pebisnis, geng kriminal, bahkan politikus untuk melindungi urusan masing-masing.

Menariknya, Petro punya riwayat terlibat dalam organisasi pemberontakan serupa. Sewaktu remaja, ia bergabung dengan gerakan 19 April atau M-19. M-19 didirikan pada 1974 sebagai protes terhadap kecurangan hasil pemilu 1970. Mereka menyerukan demokrasi dan keterbukaan sistem politik agar lebih inklusif dan menjangkau kalangan marjinal.

Sebagaimana lazim dilakukan para pemberontak kala itu, M-19 terlibat dalam penculikan ratusan orang, penyekapan, dan berbagai serangan ke kantor kedutaan besar serta perusahaan multinasional. Saat menjadi anggota M-19, Petro bahkan pernah dihukum penjara karena kepemilikan senjata ilegal.

Tapi M-19 tak selamanya memilih strategi angkat senjata. Mereka berdamai dengan pemerintah dan bertransformasi jadi partai politik resmi pada 1989. Semenjak saat itu pula Petro memulai karier sebagai anggota DPR sampai jadi senator. Ia juga sempat menjabat wali kota ibu kota negara, Bogotá, pada 2012-2015.

Latar belakang Petro sebagai gerilyawan dan politikus kiri sempat membuat publik khawatir Kolombia akan terjerembap jadi negara sosialis-otoriter seperti tetangga sebelah, Venezuela. Namun, pada akhirnya, Petro dianggap alternatif yang lebih baik untuk menggantikan Presiden Iván Duque, politikus kanan dari partai konservatif Democratic Center yang kinerjanya selama ini kontras dari idealisme Petro.

Infografik Capres Kolombia

Infografik Capres Kolombia. tirto.id/Sabit

Karut-marut Era Duque

Duque, pengacara dari keluarga elite politik kaya raya, bukanlah figur populer di mata rakyat. Ia menjalankan pemerintahan dengan asas neoliberal.

Di bawah komandonya, korporat multinasional dipermudah untuk mengekstraksi sumber daya alam, termasuk minyak bumi. Industri nasional diprivatisasi dan aturan terkait tenaga kerja jadi kian fleksibel. Hasilnya, investasi asing meroket dan stabilitas ekonomi berhasil dicapai seiring dengan kian melemahnya perlindungan terhadap para pekerja. Sebagian besar tenaga kerja masih berjibaku di sektor ekonomi informal dan angka kemiskinan tetap tinggi.

Pendekatan ini bukan barang baru. Duque didukung—dan berguru pada—Álvaro Uribe, presiden dua periode (2002-2010) sekaligus pendiri partai pengusung mereka, Democratic Center. Saat dulu berkuasa, Uribe dikenal sebagai advokat kebijakan-kebijakan propasar bebas.

Mentor Duque ini juga bukan figur yang bersih. Dalam artikel yang judulnya menyebut Uribe sebagai “laki-laki paling berbahaya di politik Kolombia”, peneliti Maria Silva menjabarkan bagaimana Uribe dan lingkaran pejabat di dekatnya serta keluarganya sendiri terlibat korupsi. Mereka juga disinyalir menjalin relasi dengan gerakan paramiliter sayap kanan United Self-Defense Forces of Colombia (AUC) yang dilaporkan banyak melakukan pelanggaran HAM dalam konflik bersenjata.

Ketika terpilih jadi presiden setelah menang tipis dari Petro pada 2018 lalu, Duque menepis tudingan bahwa ia adalah boneka arahan Uribe. Ia bersikeras mau menawarkan kebijakan khas meskipun masih mengaku setia pada ideologi konservatif Uribe. Tapi, apa pun yang dilakukan Duque, langkah tersebut gagal membuatnya terlihat lebih baik dari pendahulunya.

Ia diprotes besar-besaran hanya setahun setelah diangkat sebagai presiden karena berencana menaikkan usia pensiunan dan mengurangi upah angkatan kerja muda. Tingkat kepuasan publik terhadapnya merosot sampai 26 persen.

Selama beberapa waktu sejak April 2021, puluhan ribu demonstran—dari serikat buruh, guru, mahasiswa, sampai komunitas warga keturunan Afrika dan masyarakat adat—kembali turun ke jalan. Kali ini untuk memprotes wacana reformasi pajak yang dianggap menyusahkan kalangan menengah-bawah. Ketika itu, “rezim mafia fasis” jadi salah satu seruan yang disematkan untuk administrasi Duque karena sikap abainya terhadap kegundahan rakyat.

Dilansir dari Nacla, protes akhirnya meluber ke berbagai isu yang akar masalahnya tak jauh-jauh dari ketimpangan sosioekonomi, problem yang marak ditemui di Amerika Latin.

Komite Mogok Nasional, penggerak demonstrasi yang terdiri dari serikat-serikat pekerja terbesar seperti Central Union of Workers dan Colombian Federation of Education Workers, mendesak banyak hal. Dari mulai upah dasar universal, pendidikan tinggi gratis, pembatalan RUU kesehatan dan program penghapusan paksa pertanian koka (komoditas paling menghasilkan bagi petani kecil), serta mengakhiri diskriminasi ras dan gender.

Mereka juga meminta agar polisi antihuru-hara, yang melakukan kekerasan termasuk pembunuhan terhadap demonstran, dibubarkan. Sementara para feminis memprotes kriminalisasi aborsi dan tingginya kasus pembunuhan terhadap perempuan.

Beberapa tuntutan akhirnya dipenuhi, misalnya pembatalan RUU kesehatan—yang memihak asuransi swasta. Biaya kuliah dikecualikan selama satu semester bagi pelajar miskin. Kriminalisasi terhadap tindakan aborsi juga dihapuskan. Selain itu, selama beberapa bulan saat pandemi sampai awal 2022, pemerintah menggelontorkan program bantuan langsung tunai yang disebut “gaji solidaritas” sebesar 43 dolar (600 ribuan rupiah) untuk sekitar 4 juta rumah tangga.

Namun itu semua belum bisa mengatasi kemiskinan dan ketimpangan kronis yang mengakar kuat. Badan statistik pemerintah mengungkapkan, sampai pengujung 2021 lalu terdapat nyaris 20 juta warga—dari total 50 juta populasi—masuk kategori miskin, sementara 6 juta lainnya dalam kemiskinan ekstrem. Masih pada 2021, Bank Dunia melaporkan Kolombia sebagai negara dengan ketimpangan sosioekonomi yang besar di kawasan Amerika Latin dan Karibia serta di antara grup negara ekonomi mapan OECD—tertinggi kedua setelah Brasil.

Situasi keamanan yang memprihatinkan juga dianggap jadi pemicu kegerahan rakyat terhadap Duque. Dilansir dari The Atlantic, Duque dan partai penyokongnya termasuk pihak yang skeptis dan keberatan dengan langkah damai pada 2016—menganggapnya kurang tegas. Akibatnya, beberapa upaya rekonsiliasi jadi tersendat. Lebih dari separuh responden dalam survei pada 2019 meragukan komitmen administrasi Duque untuk mempertahankan proses damai tersebut.

Di lain pihak, para aktivis lingkungan, pegiat HAM, dan tokoh masyarakat adat—yang menentang perusakan lingkungan akibat pembangunan bendungan dan berbagai aktivitas eksploitatif terhadap sumber daya alam—terus menjadi target pembunuhan oleh grup-grup bersenjata yang berkepentingan di sektor tersebut. Tahun 2020 saja, sebanyak 138 aktivis HAM meninggal di sana. Ini adalah angka yang tertinggi di dunia, diikuti Meksiko (42) dan Brasil (27).

Mantan gerilyawan FARC juga tak luput dari sasaran. Sejak perjanjian damai, sedikitnya 271 orang tewas dibunuh oleh pihak-pihak yang menolak kesepakatan tersebut.

Bisnis obat-obatan terlarang, perkebunan koka (untuk bahan dasar kokain), sampai pertambangan ilegal yang pernah dikuasai oleh FARC juga jadi rebutan grup bersenjata. Ini mengakibatkan lebih dari 70 ribu warga sipil tergusur dari rumahnya pada 2021—meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

Semua karut-marut di atas saat ini jadi pekerjaan rumah Petro, yang, sekali lagi, merupakan presiden berhaluan kiri pertama Kolombia.

Baca juga artikel terkait AMERIKA LATIN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino