tirto.id - Juan Manuel Santos tersenyum. Presiden Kolombia itu menghampiri Timoleon “Timochenko” Jimenez, sang pimpinan tertinggi organisasi FARC (Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia/Tentara Revolusioner Kolombia) yang selama ini menjadi lawannya, baik di medan perang maupun di meja perundingan. Kedua rival itu kemudian menjulurkan tangan kanan mereka dan berjabat tangan erat.
Mereka kembali bertukar senyum. Seakan ingin mengukuhkan komitmen mereka, presiden Kuba Raul Castro selaku fasilitator perundingan turut meletakkan kedua tangannya di atas jabat erat Santos dan Timochenko. Ketiganya kembali tersenyum. Seluruh orang di ruangan itu –semuanya menggunakan busana putih—turut tersenyum. Sementara itu, di luar meja perundingan, rakyat Kolombia menarik napas lega.
Gambaran tersebut hadir saat perundingan antara pemerintah Kolombia dan FARC pada 23 September 2015 lalu. Dalam kesempatan tersebut, kedua belah pihak bertemu untuk membahas perdamaian antara keduanya, setelah FARC memutuskan untuk melakukan gencatan senjata secara unilateral/sepihak.
Momentum positif ini ternyata berlanjut. Setahun kemudian, pada Juni 2016, pemerintah Kolombia dan FARC akhirnya meningkatkan status gencatan senjata mereka menjadi bilateral, sekaligus menghentikan permusuhan. Selanjutnya, pada Agustus 2016, kedua pihak ini akhirnya menyepakati piagam perundingan menyeluruh yang secara resmi menghentikan konflik yang telah berlangsung sepanjang 50 tahun ini.
“Di masa depan, tidak akan ada lagi orangtua yang harus menguburkan anak-anaknya akibat perang,” ujar Timochenko seperti dikutip dari Associated Press. “Segala bentuk permusuhan dan dendam sebaiknya kita tinggalkan di masa lalu,” imbuhnya.
Presiden Santos juga menyuarakan harapan serupa.
“Para ibu tidak seharusnya menguburkan anak-anaknya. Anak-anak kami, para campesinos, tentara kami, tidak sepantasnya menderita akibat terkena ranjau antipersonal. Kami tidak ingin generasi muda kami terjebak dalam peperangan yang absurd dan menyakitkan. Kami, rakyat Kolombia, memiliki hak untuk memulihkan harapan kami atas masa depan yang lebih baik,” tulisnya dalam pernyataan resmi menyambut perdamaian ini.
Konflik di Kolombia merupakan salah satu pertikaian bersenjata terlama di dunia. Konflik ini telah berlangsung sejak 1964 atau sudah berjalan 52 tahun. Banyak faktor saling terkait sehingga menyebabkan konflik ini nyaris tidak dapat diselesaikan. Namun, serangkaian terobosan dalam perundingan serta iktikad baik dari kedua belah pihak terbukti mampu menembus kebuntuan.
Lingkar kebencian tanpa ujung
Konflik di Kolombia berakar pada beberapa hal: kemiskinan, monopoli tanah oleh negara dan tuan tanah, diskriminasi terhadap daerah pedalaman, serta dendam yang muncul akibat kekerasan yang berulang. Konflik ini tercatat telah menewaskan 220.000 jiwa dan menyebabkan kurang lebih 6 juta jiwa mengungsi. Menurut data dari Palang Merah Internasional, sekitar 100.000 orang diperkirakan hilang selama kekerasan berlangsung.
Konflik di Kolombia merupakan pertikaian yang melibatkan banyak pihak. Pihak-pihak utama yang saling berseberangan meliputi pemerintah dan militer Kolombia, FARC, ELN, AUC, kelompok-kelompok paramiliter garis keras, serta sindikat perdagangan narkotika. Mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Posisi antara kelompok-kelompok tersebut cenderung cair. Pada suatu saat mereka bisa saling bekerjasama, namun di saat lain, mereka bisa saling berlawanan.
FARC sebagai kelompok terbesar tumbuh dan besar dari kawasan pertanian dan pedalaman Kolombia. Mayoritas anggota mereka berasal dari para petani miskin. Kelompok ini menganut paham Marxisme. FARC disebut-sebut mengontrol sebagian besar wilayah pedalaman termasuk komoditas pertaniannya, seperti tebu, kopi, dan tanaman koka yang merupakan bahan dasar kokain.
FARC bahkan sempat bekerja sama dengan kartel-kartel narkotika terkemuka seperti kartel Sinaloa dan raja narkoba Pablo Escobar. Tak heran, Amerika Serikat memasukkan mereka ke dalam daftar organisasi teroris.
ELN memiliki basis massa yang berbeda dengan FARC. Mereka sebagian besar terdiri dari kelas menengah terpelajar yang berbasiskan di perkotaan. Namun, hal ini tidak menghalangi mereka untuk bertindak brutal. ELN sempat menjalin aliansi dengan FARC pada dekade '80an, namun berakhir pada era '90an yang menyebabkan keduanya terlibat pertempuran sengit. ELN selalu mengklaim lebih ideologis dibandingkan FARC yang pragmatis.
Di sisi lain, gerilyawan AUC—yang dikenal sangat brutal dan agresif—dibentuk pada 1997 oleh tiga bersaudara yang orangtuanya dibunuh oleh FARC. Kelompok ini bertujuan untuk menghancurkan FARC dan ELN. Hal ini membuat mereka sempat berkolaborasi dengan militer Kolombia untuk menghantam FARC dan ELN. Namun, metode kekerasan yang mereka gunakan akhirnya menyebabkan pemerintah gerah dan berbalik memerangi mereka.
Pemerintah Kolombia selaku “musuh bersama” dari para pemberontak juga memiliki catatan buruk yang kian memperumit konflik. Pemerintah—khususnya kesatuan militer-- kerap menggunakan metode-metode ilegal seperti penculikan dan pembunuhan extra-judicial yang berujung pada impunitas. Metode-metode ini didukung secara langsung oleh Amerika Serikat melalui mekanisme bantuan militer bernama Plan Colombia.
Pemberontak, sindikat narkoba, dan kelompok paramiliter memiliki kekuatan yang sangat besar. Mereka menguasai dataran tinggi di bagian barat Kolombia dan membentuk semacam zona nir-hukum. Wilayah-wilayah seperti provinsi Putumayo, Caqueta, Cauca, dan Narino, nyaris tak terjangkau oleh pemerintah.
Reuters melansir, sekitar 6,5 hingga 10 juta hektare tanah di Kolombia (setara dengan 15% luas negeri ini) telah ditinggalkan pemiliknya atau berada dalam kontrol para pemberontak atau kelompok-kelompok perlawanan lainnya. Pemerintah Kolombia nyaris tidak memiliki kuasa apa-apa di sepanjang daerah-daerah ini.
Di sisi lain, daerah-daerah di dataran tinggi barat dan selatan ini terkenal subur dan menjadi pusat penanaman kopi, tebu, dan koka. Presiden Santos mengakui, salah satu alasannya untuk berdamai dengan FARC adalah untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya alam yang terdapat di wilayah-wilayah ini.
Kunci keberhasilan perundingan
Perundingan antara FARC dan pemerintah telah berjalan sejak dekade '80an. Namun, perundingan-perundingan tersebut selalu berujung pada kegagalan akibat ketidaksepakatan atau aksi-aksi kekerasan sepihak yang kerap muncul.
Perundingan damai mulai menampakkan titik terang saat Juan Manuel Santos menjabat sebagai presiden Kolombia pada 2010 menggantikan Alvaro Uribe. Sejak awal menjabat, Santos telah berjanji untuk berunding dengan kelompok-kelompok pemberontak.
Pendekatan damai yang dipilih Santos berlawanan dengan cara kekerasan yang dipraktikkan oleh pendahulunya, Alvaro Uribe. Uribe—yang ayahnya tewas di tangan FARC pada 1983—selalu memilih operasi militer besar-besaran untuk mengakhiri konflik. Sayangnya, ia selalu gagal membasmi FARC yang berkekuatan cukup besar.
Di sisi lain, Uribe sebenarnya telah “berjasa” bagi rencana perdamaian Santos karena ia berhasil melemahkan kekuatan FARC. Operasi militer pada masa Uribe—yang dipimpin oeh Santos sebagai menteri pertahanan-- berhasil mengurangi kekuatan FARC dari 17.000 orang menjadi tinggal 8.000 orang.
Santos menyadari, perang antara FARC dan pemerintahannya telah mencapai kebuntuan. FARC tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengalahkan Kolombia, sedangkan Kolombia sendiri juga kesulitan menghancurkan FARC karena mereka sangat menguasai medan. Hal ini membuat Santos mengubah pendekatannya ke jalan damai dengan memanfaatkan citra baiknya di mata FARC.
FARC memiliki pandangan yang lebih baik terhadap Santos dibandingkan Uribe. Santos dianggap figur yang lebih moderat dan luwes. Santos sendiri memiliki sejarah berdialog dengan FARC semasa menjabat sebagai menteri pertahanan. Pada 2008, ia terlibat aktif dalam penyelamatan politisi Ingrid Betancourt dan 14 sandera yang ditawan oleh FARC, tanpa menggunakan operasi militer.
Di sisi lain, pada tahun yang sama, Santos juga terlibat dalam operasi militer yang menewaskan Raul Reyes, salah satu pemimpin tertinggi FARC. Hal ini menimbulkan kesan bahwa Santos adalah seorang perunding yang luwes namun sekaligus dapat bertindak keras apabila diperlukan.
Kunci keberhasilan perundingan damai juga terletak pada melemahnya kekuatan FARC. Selain pasukannya berkurang drastis, FARC juga kehilangan banyak pemimpinnya. Para tokoh berpengaruh seperti Manuel Marulanda, Raul Reyes, dan terakhir, Alfonso Cano, meninggal karena sakit atau menjadi korban serangan militer. Kematian Alfonso Cano-- pimpinan tertinggi FARC pascameninggalnya Manuel Marulanda--pada 2011 sangat memukul FARC. Peristiwa ini membuat kelompok pemberontak ini mulai melunak dan beriktikad baik untuk masuk meja perundingan pada 2012.
Sikap kooperatif FARC misalnya ditunjukkan saat mereka menyetujui gencatan senjata menjelang pemilihan presiden dan legislatif pada 2014 lalu. Sebelumnya, momentum transisi pemerintahan adalah saat-saat “favorit” bagi FARC untuk melancarkan serangan. FARC tercatat pernah membom upacara inaugurasi presiden Alvaro Uribe di istana kepresidenan Kolombia pada 2002 lalu yang menewaskan 24 orang.
FARC juga setuju untuk menghentikan keterlibatan mereka dalam perdagangan narkotika sejak 2014 lalu. Sebelumnya, pada 2012, FARC telah berkomitmen untuk menghentikan metode penculikan untuk tebusan yang menjadi salah satu cara favorit mereka dalam membiayai organisasinya.
Keterlibatan FARC dalam narkotika adalah salah satu poin yang menjadi kelemahan mereka saat perundingan. Isu narkotika pula yang seringkali menjadi pintu masuk bagi Amerika Serikat untuk mengintervensi perundingan dan menekan Kolombia untuk menghancurkan FARC. Komitmen FARC untuk keluar dari bisnis narkotika kemungkinan besar diarahkan untuk menghindari intervensi dari AS yang berpotensi merusak momentum perundingan.
Perundingan yang inklusif
Kunci utama keberhasilan perundingan Kolombia dan FARC terletak pada struktur perundingan yang sangat inklusif. Seluruh pihak yang berkepentingan maupun dirugikan selama berlangsungnya konflik turut dihadirkan di meja perundingan.
Perundingan intensif antara Kolombia dan FARC berlangsung sejak 2012 di Havana, Kuba. Presiden Kuba Raul Castro menjadi figur yang sangat berperan menjadi fasilitator bagi keduanya. Raul Castro merupakan figur yang sangat dihormati oleh FARC karena ia juga memiliki latar belakang sebagai gerilyawan pada masa Revolusi Kuba. Di sisi lain, Castro juga diterima oleh pihak-pihak ketiga khususnya AS karena Castro memiliki pendekatan yang lebih luwes terhadap negara adidaya ini.
Perundingan di Havana membuat dua terobosan penting yang disebut-sebut sebagai penembus kebuntuan: pelibatan para korban kekerasan dan militer Kolombia di meja perundingan.
Pelibatan para korban kekerasan ke dalam perundingan merupakan salah satu peristiwa yang cukup langka ditemui dalam perundingan damai. Namun, dalam perundingan Havana medio 2014-2015, para fasilitator berhasil mendatangkan lima delegasi korban kekerasan oleh FARC maupun militer Kolombia untuk terlibat langsung dan berbicara kepada para perunding.
Pelibatan para korban adalah merupakan pertanda positif, mengingat para korban merupakan pihak yang paling dirugikan secara nyata oleh konflik. Mereka harus diberikan ruang untuk menuntut pertanggungjawaban kepada para pihak yang terlibat.
Di sisi lain, pelibatan militer Kolombia juga merupakan terobosan tersendiri. Sebelumnya, militer Kolombia selalu menolak untuk terlibat dalam perundingan. Militer Kolombia merupakan salah satu penghambat utama dalam perdamaian mengingat metode kekerasan ilegal yang mereka lakukan dan impunitas yang diperolehnya mejadi poin yang selalu dituntut oleh FARC. Perundingan di Havana adalah momen pertama yang melibatkan militer Kolombia sejak dekade 80an. Sayangnya, isi pertemuan dengan delegasi militer Kolombia dan delegasi korban dirahasiakan dari media.
Perundingan di Havana, menurut The Guardian, berjalan dalam lebih dari 50 pertemuan formal. Dalam rangkaian tersebut, peran pihak ketiga seperti Kuba, AS, PBB, dan Norwegia sangatlah positif. Mereka berperan aktif menjadi fasilitator serta mampu menahan diri untuk tidak terlibat terlalu jauh dalam perumusan kesepakatan perundingan.
Perundingan damai idealnya berujung pada rekonsiliasi. Hal ini berusaha dicapai oleh pemerintah Kolombia dengan memberikan ruang politik bagi FARC untuk terlibat dalam pemerintahan. Dalam pernyataan resminya, presiden Santos menyatakan akan memberikan jatah di Kongres Kolombia kepada perwakilan FARC hingga 2018. Perwakilan itu akan memiliki hak untuk membahas isu-isu yang terkait dengan piagam perdamaian, namun tidak memiliki hak suara. Terhitung sejak kebijakan ini diberlakukan, FARC akan diperbolehkan berpartisipasi dalam pemilu dengan jaminan mendapatkan jatah perwakilan minum apabila suara mereka akhirnya tidak cukup.
Bagaimana selanjutnya?
Penandatanganan kesepakatan damai telah membuka babak baru bagi Kolombia. Meskipun perdamaian secara formal sudah dicapai, namun perdamaian substantif di tingkat akar rumput masih harus dicapai melalui rekonsiliasi maupun penegakan hukum.
Sebagian besar masyarakat Kolombia masih memiliki pandangan negatif terhadap FARC. The Guardian sendiri melansir bahwa popularitas presiden Santos sempat menurun meskipun kesepakatan damai telah dicapai. Kini, pemerintah Kolombia dan FARC masih harus berurusan dengan isu impunitas.
Salah satu tuntutan utama dari FARC adalah pemerintah Kolombia harus menjamin supaya anggota-anggotanya tidak diproses secara hukum atau diekstradisi ke AS. Di sisi lain, banyak kalangan di masyarakat Kolombia yang menuntut mereka dihukum karena telah melakukan pelanggaran HAM berat.
Isu impunitas ini masih akan membayangi para anggota FARC khususnya bagi mereka yang masuk ke gelanggang politik. Hal ini terjadi karena konstitusi Kolombia menyebutkan bahwa mereka yang terbukti melakukan kejahatan kemanusiaan tidak diperbolehkan memegang posisi publik.
Presiden Santos kini tengah berlomba dengan waktu untuk secepatnya menyelesaikan rekonsiliasi dengan FARC mengingat jabatannya akan berakhir pada 2018. Ia harus mengantisipasi jika pemerintahannya dipegang oleh aliran konservatif yang menentang perdamaian dengan FARC.
Langkah pertama sudah diambil oleh Santos dengan meminta referendum kepada rakyat Kolombia untuk mengesahkan perdamaian ini. Apabila referendum berhasil dimenangkan, maka langkah menuju perdamaian menyeluruh akan menjadi lebih ringan.
Proses perdamaian yang berhasil mengakhiri konflik di Kolombia patut menjadi contoh bagi negara-negara lain. Sebagai salah satu negara yang masih didera oleh konflik bernada separatis seperti di Papua, metode perdamaian inklusif seperti yang diterapkan di Kolombia mungkin saja bisa menjadi solusi yang final.
Semoga!
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti