tirto.id - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bekerja sama dengan Liga Muslim Dunia atau Muslim World League menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Internasional Para Pemimpin Agama atau Forum R20, di Nusa Dua, Bali pada 2-3 November 2022. Forum ini menghadirkan pemimpin agama dan sekte-sekte dunia dengan peserta utama dari negara-negara anggota G20 dan negara non-anggota Presidensi G20.
Total negara yang terkonfirmasi hadir pada perhelatan forum R20 adalah 32 negara. Sebanyak 338 partisipan terkonfirmasi hadir, 124 berasal dari luar negeri. Forum tersebut menghadirkan 45 pembicara dari lima benua.
Tema besar Forum R20 kali ini adalah Revealing and Nurturing Religion as a Source of Global Solutions: A Global Movement for Shared Moral and Spiritual Values (Menyatakan dan Menjaga Agama sebagai Sebuah Sumber Solusi Global: Gerakan Global untuk Menebar Nilai Moral dan Spiritual).
Forum R20 ini melahirkan komunike yang berisi poin-poin kesimpulan dari kegiatan yang telah dilaksanakan selama dua hari tersebut. Selepas agenda konferensi di Bali, rombongan partisipan R20 diajak mengunjungi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada Jumat (4/11/2022).
“R20 menyerukan kepada para pemimpin agama, pemimpin politik, dan orang-orang yang berkehendak baik dari setiap agama dan bangsa untuk bergabung dalam membangun sebuah aliansi global yang didirikan di atas nilai-nilai peradaban bersama," demikian bunyi Komunike yang dikeluarkan di Yogyakarta, Kamis, 4 November 2022. Lengkapnya bisa dibaca di link ini.
Gagasan dan Harapan Forum R20
Wakil Sekjen PBNU sekaligus juru bicara Forum R20, Najib Azca percaya diri pihaknya selaku penyelenggara forum Religion 20 atau R20 akan menghasilkan solusi atas sejumlah konflik berlatar belakang kelompok agama.
“Kami percaya diri dengan proses pencarian solusi (atas berbagai konflik antara kelompok) dalam konferensi dua hari ke depan. Karena dialog ini sudah dimulai sejak lama,” kata Najib di Bali, Selasa (1/11/2022).
Najib yang juga dosen sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengistilahkan R20 sebagai upaya kultural dan spiritual untuk mewujudkan perdamaian.
Hal senada disampaikan Abdul Wahab Mohammed Al Shehri dari Muslim World League (MWL). Ia menyebut kerja sama mereka dengan NU diharapkan dapat mempromosikan perdamaian bersama berbagai latar belakang kepercayaan dan kelompok.
Ia juga mengatakan bahwa visi perdamaian dan solusi konflik tersebut bukan hanya tanggung jawab NU maupun MWL. “Ini tanggung jawab kita semua untuk mengirimkan pesan kepada dunia demi mewujudkan dunia yang lebih damai," kata dia.
Selain tokoh muslim, delegasi asal Amerika Serikat, Direktur Beit Midrash for Judaism and Humanity, Rabbi Yaakov Nagen yang hadir dalam forum R20 berharap, gagasan yang dibawa dalam forum ini bisa memberi solusi pada pergolakan yang terjadi di Timur Tengah.
“Saya tahu bahwa di Timur Tengah, agama terkadang menjadi bagian dari masalah. Agama harus menjadi bagian dari solusi,” kata Rabbi Yaakov, di Nusa Dua, Bali, Selasa (2/11/2022).
Dia menuturkan forum tersebut penting untuk menjembatani beragam sudut pandang keagamaan di berbagai belahan dunia. Lebih lanjut, dia menilai agama seharusnya bisa menyatukan satu sama lain.
“Bagi orang-orang Timur Tengah yang telah sangat menderita, kita membutuhkan agama untuk menyatukan kita,” kata Rabbi Yaakov.
Rabbi Yaakov juga yakin kolaborasi PBNU dan Liga Muslim Dunia dalam menginisiasi forum R20 menjadi gerbang utama dalam upaya mencapai perdamaian global, termasuk di Timur Tengah.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf menegaskan, pembeda antara forum R20 dengan dialog-dialog antara agama lainnya terletak pada kejujuran para pemuka agama.
“Ini jujur. Semua orang jujur atas masalah yang terjadi apa adanya. Di sini kita bicara soal kenyataan, jujur, sehingga kita sampai pada kesepakatan yang sama, yaitu kita butuh kerja sama,” kata pria yang akrab disapa Gus Yahya itu, di Bali, Kamis, 3 November 2022.
Sebuah Gebrakan Baru
Direktur Eksekutif INFID, Sugeng Bahagijo menyebut, forum R20 merupakan inovasi baru yang digagas oleh Indonesia, khususnya dalam penyelenggaraan pertemuan negara G20.
“Menurut saya ini satu inovasi untuk membuka partisipasi yang lebih luas dari tokoh-tokoh agama lintas iman. Sehingga para tokoh bisa menyuarakan apa-apa yang harus diputuskan para leader, tapi sebaliknya (juga) bisa mengetahui dan memahami apa yang menjadi pekerjaan berat para leader,” kata Sugeng saat dihubungi, Kamis (3/11/2022).
Sugeng menyebut dengan adanya forum R20, diharapkan dapat membawa pengaruh kepada negara anggota G20.
“Mungkin dengan kekuatan sosial itu, para pemimpin R20 ini bisa menjangkau para pihak di semua negara G20. Dengan bisa menjangkau itu barangkali ada kemungkinan, ada peluang untuk bisa ikut serta mendorong agenda-agenda yang sifatnya non-ekonomi,” kata Sugeng.
Sugeng menyebut, saat ini masih terlalu dini untuk menilai efektivitas forum R20 dalam berkontribusi mewujudkan perdamaian dunia.
“Barangkali kita harus memberi kesempatan usaha-usaha yang dilakukan sampai kepada dampak-dampak yang mungkin butuh waktu untuk bisa berwujud,” kata dia.
Butuh Langkah Konkret
Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan menyebut, event KTT seperti R20 diperlukan untuk menipiskan segregasi melalui dua hal, yaitu: Pertama, kesepahaman. Kedua, perumpamaan.
“Membangun kesepahaman itu penting, paling tidak untuk mengatakan bahwa tidak ada aspek kemanusiaan yang berbeda antara satu agama dengan agama yang lain. Yang kedua, perjumpaan itu dibutuhkan karena kita mengalami begitu banyak segregasi yang menguat, yang bisa jadi disebabkan oleh perubahan sosial di sekitar kita,” kata Halili saat dihubungi Tirto.
Namun demikian, Halili tak menampik bahwa forum-forum semacam R20 adalah forum elite yang perlu diturunkan dalam bentuk yang lebih konkret. Dan R20 memungkinkan turunan-turunan tersebut karena para pengisi forum tersebut adalah orang-orang yang memiliki basis massa.
“Mereka semua legitimate menurut saya untuk mengarahkan pengikut, mengarahkan jemaah, mengarahkan anggota organisasinya masing-masing pada keterbukaan lintas identitas yang lebih terbuka,” kata Halili.
Usai berakhirnya forum ini, kata Halili, para elite yang tergabung di dalamnya perlu memikirkan bagaimana gagasan yang diperoleh dari forum R20 dapat dijadikan gerakan sosial.
“Bahwa gerakan yang sifatnya elitis ini harus mewujud menjadi gerakan yang membumi di level akar rumput. Bahwa perjumpaan itu bukan hanya sampai level elite saja, tetapi ini harus dipastikan apa yang berlangsung di tingkat elite itu juga pelan-pelan disebarkan ke grass root,” kata dia.
Selain membumikan gagasan yang telah ditelurkan dalam forum R20, kata dia, tantangan selanjutnya adalah menjadikan forum R20 semakin inklusif dengan melibatkan kelompok-kelompok rentan hingga kelompok konservatif.
“Maka ke depan saya kira harus lebih inklusif dalam artian ada sebenarnya ruang yang mestinya disediakan untuk memperbanyak dialog dengan kelompok rentan, kelompok korban, kelompok minoritas di muka bumi misalnya Ahmadiyah,” kata Halili.
Kelompok-kelompok konservatif juga perlu dilibatkan, karena menurut Halili, jika terjadi eksklusi, maka akan memantik kemarahan mereka kepada kelompok keagamaan yang plural menjadi semakin tinggi.
Selain itu, pekerjaan rumah lain yang tak kalah besar adalah bagaimana R20 dapat berdampak nyata terhadap penurunan angka kejahatan kemanusiaan berbasis agama di Indonesia.
“Bagaimana kita mesti belajar dari forum-forum semacam ini. Karena kalau kita misalnya cek data di Indonesia, kurang banyak apa gerakan-gerakan perjumpaan lintas identitas? Tapi, kan, kalau kita cek data, pelanggaran kemanusiaan berdasarkan keyakinan tidak kurang dari 100 tiap tahun atau bahkan lebih tinggi dari itu,” kata dia.
Karena itu, Halili menilai, masih banyak kerja-kerja yang harus dilakukan di level negara maupun masyarakat untuk mewujudkan misi perdamaian tersebut.
“Tetapi poin terpentingnya adalah kelompok-kelompok keagamaan di tingkat elite ini, mereka punya massa dan memperbanyak perjumpaan di tingkat elite itu akan meminimalisir tensi di tingkat akar rumput, dan sebenarnya itu bisa dilihat apakah kemudian perjumpaan di tingkat elite itu berdampak pada tingkat peristiwa clash atau pengurangan konflik di tingkat akar rumput,” kata Halili.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz