tirto.id - “Inilah kalau ceritanya setingan, ya begini. Kau anggap kami ini bodoh? Kan, tadi saya tanya, ketika saudara temukan Putri [Candrawathi] tergeletak, saudara berharap yang mendengar membantu?”
Suara Ketua Majelis Hakim, Wahyu Iman Santosa meninggi. Ia kesal setelah mendengar keterangan asisten rumah tangga (ART) Ferdy Sambo, Susi tentang pertengkaran Kuat Ma'ruf dengan Nofriansyah Yosua Hutabarat di Magelang. Wahyu menilai cerita Susi terkesan mengada-ngada, salah satunya soal Putri tergeletak, sementara Kuat dan Yosua berantem.
Selain cerita soal ribut-ribut antara Yosua dan Kuat, ada keterangan Susi lainnya yang dinilai tidak konsisten. Misalnya terkait klaim tidak ada keributan di Magelang, status anak bungsu Sambo dan Putri yang ternyata adalah anak angkat, dan intensitas Sambo pulang ke rumah.
Kesaksian Susi tidak hanya membuat kesal hakim, tetapi juga Ronny Talapessy, penasihat hukum Richard Eliezer atau Bharada E. Ia bahkan meminta majelis hakim agar Susi dikenakan pasal kesaksian palsu. Ia kesal setelah mendengar keterangan Susi yang terkesan membohongi jaksa dan hakim.
“Izin majelis, ini aturan main persidangan, kan, sesuai dengan Pasal 3 KUHP, kami memohon agar saksi [Susi] dikenakan Pasal 174 tentang kesaksian palsu dengan ancaman 7 tahun. Terima kasih majelis,” kata Ronny di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (31/10/2022).
Hakim pun mempertimbangkan permintaan Ronny. “Nanti kami pertimbangkan,” jawab hakim ketua, Wahyu Imam Santosa.
Susi ART Sambo Berpotensi Dijerat Pidana
Ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Affandi menilai, Susi tidak tertutup kemungkinan dikenakan pidana bila berbohong dalam persidangan. Ia menilai langkah hakim sudah sesuai KUHAP dengan mengingatkan saksi tentang keterangan yang berbeda.
“Ya kalau memang terbukti bohong dalam KUHAP, kan, hakim wajib memperingatkan. ‘Kamu bohong bisa dipidanakan’,” kata Fachrizal saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (1/11/2022).
Fachrizal mengatakan, saksi yang berbohong dapat dikenakan pidana sebagaimana Pasal 242 KUHP. Sementara itu, ketentuan hakim untuk memperingatkan saksi diatur dalam Pasal 163 KUHAP dan hakim harus mencari keterangan dengan benar sesuai 165 KUHAP.
Hakim harus mencari fakta sebenarnya dalam suatu perkara, sehingga apa yang dilakukan hakim dalam kasus Susi sudah benar. “Bisa langsung menahan kalau bohong,” kata Fachrizal.
Fachrizal mengatakan, keterangan saksi bisa saja berubah karena faktor tertentu, seperti ada tekanan dari pihak ketiga. Akan tetapi, saksi tersebut bisa meminta perlindungan bila memang ada upaya penekanan saat memberikan keterangan.
Hakim juga bisa berinisiatif untuk mencari tahu kenapa saksi tidak bisa memberikan keterangan secara terbuka, kata Fachrizal. Jaksa juga harus memberikan perlindungan kepada saksi agar bisa memberikan keterangan terbuka.
“Karena itu saksinya jaksa, jaksa kan harus menggali dan memastikan dia terbuka. Kalau memang diperlukan, apa namanya, jaksa harus memberikan perlindungan,” kata Fachrizal.
Fachrizal menambahkan, “Kalau jaksa sampai meragukan keterangan dia, kan, repot. Artinya ada indikasi kalau di BAP jaksa nggak tahu, nggak ngecek karena tidak memastikan bahwa BAP polisi tidak direkayasa.”
Masih Ada Potensi Rekayasa Kasus
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai, kesaksian Susi menunjukkan bahwa sudah ada potensi rekayasa kasus Sambo. Ia sebut, rekayasa tidak hanya dalam keterangan Susi, tapi sudah ada potensi ke keterangan saksi lain maupun alat bukti.
“Maka sudah sepatutnya kalau memang prelude-nya atau pembukanya adalah rekayasa seperti ini dari tahap penyelidikan penyidikan, maka majelis hakim memang sudah harus memasang satu prinsip untuk menggali kebenaran materiil berdasarkan alat bukti yang netral, objektif dan independen, bukan berasal dari pihak-pihak yang berkepentingan,” kata Julius.
Julius mencontohkan pada CCTV. Publik sudah mengetahui kejanggalan video yang ditayangkan tim khusus kepada publik. Oleh karena itu, pembuktian kasus Sambo tidak bisa berdasarkan berkas dan alat bukti yang disediakan penyidik, apalagi penuntut umum tidak memeriksa lagi buktinya.
“Jadi tidak heran saksi Susi dan sebagainya, kita asumsikan memberikan keterangan yang bohong karena dari cara menyampaikannya tidak konsisten, selain tegang mungkin juga terlihat direkayasa dan juga lebih banyak ketidaktahuannya, padahal ada di tempat dan segala macam sehingga diasumsikan memberikan keterangan saksi di hadapan persidangan tidak benar atau palsu,” kata Julius.
Julius mengatakan, Susi adalah saksi penting karena berada di lokasi dan tahu kejadiannya. Susi memiliki informasi yang signifikan dalam kronologi pembunuhan Brigadir J, tetapi keterangan Susi justru tidak gamblang. Oleh karena itu, kata dia, wajar hakim dan kuasa hukum ingin memidanakan Susi.
Akan tetapi, menurut Julius, hakim seharusnya tidak menggunakan metode ancaman dalam mengungkap kebenaran. Ia justru menilai hakim harus mencari inovasi agar bisa mendapatkan keterangan secara benar dan sesuai materill perkara.
“Apabila dengan cara kemarin tidak bisa mendapatkan kebenaran materill, yang sejati ya, maka percuma juga. Majelis hakim harus kreatif. Dia harus melihat alat-alat bukti yang tidak bisa diatur, tidak bisa direkayasa dan apa saja itu dari penyidikkah, dari tersangka FS dan yang lain-lain,” kata Julius.
PBHI, kata Julius, menilai LPSK dan lembaga lain perlu mengambil pelajaran dari kasus Susi ini. Mereka harus bisa melindungi saksi-saksi yang dianggap krusial agar kejadian Susi tidak terulang.
“LPSK dapat memainkan perannya untuk berkontribusi secara materiil, bukan hanya formil dalam kerangka residual pemeriksaan saja, tetapi juga melindungi saksi-saksi ini dari intervensi, kekuatan pihak-pihak yang berlawanan dari kasus pembunuhan berencana Brigadir J," kata Julius.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz