tirto.id - Di Amerika Latin, kiri telah mati. Benarkah itu? Rumor kematian politik berhaluan kiri Amerika Latin dibesar-besarkan pengamat dan media-media barat dalam beberapa bulan terakhir.
Pada 2009, World Politic Review memaparkan bahwa 75 persen warga di Amerika Latin, atau 382 juta orang dipimpin oleh pemerintahan yang berhaluan kiri. Namun, dalam politik, tak ada hal yang abadi, begitu pula ideologi. Pelan tapi pasti kebijakan-kebijakan populis yang dilakukan pemerintahan kiri jadi bumerang tersendiri. Satu per satu rezim berhaluan kiri itu kini berjatuhan.
Tahun 2015 dan 2016 merupakan masa kelam bagi pemerintahan kiri di Amerika Latin. Di Venezuela, Partai Sosialis Venezuela (PSUV) dengan mudah dikalahkan dalam pemilu legislatif 6 Desember lalu.
Partai yang sedang berkuasa ini hanya mampu merebut sepertiga suara. Kepemimpinan Nicolas Maduro kini dipertanyakan sebab Venezuela nyaris bangkrut, terjadi krisis listrik, gula dan utang yang semakin menggunung. The Economist bahkan menyebut nasib mereka akan menyerupai Zimbabwe. Ancaman pemunduran secara paksa pun mengancam penerus Hugo Chavez itu.
Pada bulan yang sama, peristiwa serupa terjadi di Argentina. Secara mengejutkan Mauricio Macri yang berasal dari partai Cambiemos berideologikan liberal-konservatif menang tipis dari Daniel Scioli -- calon dari partai sayap kiri -- dalam perebutan kursi presiden Argentina.
Sebulan sebelumnya, Guatemala memilih komedian Jimmy Morales, yang berasal dari partai Nasional Konvergensi berhaluan konservatif sebagai presiden mereka. Sementara pada Oktober, partai kiri di Kolombia kehilangan posisi penting setelah walikota Bogota, Gustavo Petro gagal memperpanjang masa jabatannya.
Di Ekuador, Raffael Corea sudah memastikan diri tak akan lagi memperpanjang masa jabatannya. Padahal dia berhak meneruskan posisi presiden sampai empat periode. Sementara Evo Morales gagal meraup simpati publik Bolivia setelah dalam referendum rakyat tak menghendakinya maju lagi dalam Pilpres. Konstitusi masa jabatan presiden yang hanya dua periode tak bisa diubah oleh Morales yang sudah menjabat sejak 2006 silam.
Hawa-hawa kekalahan kaum kiri juga berhembus kencang di Brazil pada dua bulan terakhir. Awal Mei ini, Dilma Rouseff resmi dimakzulkan oleh Senat. Tragisnya, sebulan sebelumnya, tokoh kiri di era modern yang dikultuskan di Amerika Latin sekaligus guru Dilma Rouseff yakni Lula da Silva ditahan karena terlibat kasus korupsi saat menjabat sebagai Presiden Brazil.
Popularitas Politik Kiri
Politik haluan kiri sudah lama menjadi pemenang di Amerika Latin. Gelombang popularitasnya kembali mulai muncul pada 1999, ketika Hugo Chavez berkuasa di Venezuela. Kemenangan itu merembet ke Lula da Silva (Brazil), Nestor Kirchner (Argentina), Evo Morales (Bolivia), Michelle Bachelet (Chili), Rafael Correa (Ekuador), Daniel Ortega (Nikaragua), Mauricio Funes (El Salvador), Tabare Vazquez (Uruguay), Olanta Humalla (Peru), Fernando Lugo (Paraguay).
Kosta Rika, Honduras, serta, negeri-negeri mini di kawasan Karibia macam Antigua-Bermuda dan St Vincent-Grenadine juga mendapatkan pengaruh.
Hempasan “badai kiri” di Amerika Latin merupakan tanggapan terhadap penderitaan besar yang disebabkan reformasi kelompok neo-liberal pada dekade 1990-an. Penyesuaian struktural telah menyebabkan PHK massal, pemotongan pelayanan sosial, dan ketimpangan yang lebih besar. Pada dekade 90-an, Amerika Latin adalah salah satu daerah yang paling tidak setara di dunia.
Rakyat mengkambinghitamkan AS dibalik semua ini. Wajar ketika pemerintah Amerika Latin mulai bersikap cerdas dan tangkas mencari jalan meninggalkan ikatan ekonomi dan politik dengan AS, publik pun bersorak. Mereka mendukung penuh pemimpin mereka yang menolak menjadi agen neolib di Amerika Latin.
Keputusan itu pelan tapi pasti meneguk untung. Utang kepada Bank Dunia dan IMF yang menjerat negara mereka selama bertahun-tahun akhirnya dibayar. Pada periode 2000-an, utang senilai 50 miliar dolar, menyusut hingga tingga 3 miliar dolar dalam waktu 5 tahun saja. Wajar jika pada 2006, IMF dan Bank Dunia sempat geleng-geleng melihat fenomena ini.
Para pemimpin ini pun memiliki gaya retorika yang berbeda dalam hubungan ke AS. Chavez berani mencerca imperialisme Amerika, Morales mengusir duta besar AS dan USAID, sementara Correa menolak memperbarui sewa pangkalan udara AS di Ekuador. Ketiga negara ini cenderung menerapkan sosialis-marxis yang radikal.
Sedangkan Brazil dan Chili cenderung lebih sosialis-demokrat yang moderat. Lula dan Bachelet, memiliki hubungan yang lebih positif dengan AS. Meski begitu, tetap saja program kebijakan mereka tetap memperlihatkan perlawanan terhadap intervensi AS di Amerika Latin
Jose Natanson, editor jurnal politik Nueva Sociedad, menilai prinsip kesetaraan yang ditawarkan pemerintahan kiri sebagai sihir penarik minat. “Di saat kemiskinan masih begitu membelenggu di Amerika Latin dan kekayaan sumber daya alam justru diminati korporasi asing, siapa yang tak tertarik mendukung pemimpin yang menawarkan nasionalisasi untuk menggenjot pendapatan negara dan memperluas lapangan kerja,” tulisnya.
Kebijakan ekonomi yang menguatkan peran negara membuat perekonomian ikut terkerek. Nasionalisasi aset asing yang dilakukan Venezuela dan Bolivia ditanggapi secara sukacita.
Di sisi lain pemerintahan kiri sering mengeluarkan program-program yang populis. Chavez di Venezuela menggratiskan biaya pendidikan dan kesehatan. Sedangkan Bolivia di era Evo Morales memberi jatah kursi parlemen gratis dengan jumlah yang lebih meningkat kepada warga asli.
Di Brazil, Presiden Lula da Silva menjalankan proyek Bolsa Famiglia – bantuan finansial langsung yang didistribusikan kepada sekitar 40 juta jiwa. Di Salvador, Funes menerapkan paket bantuan ekonomi dengan membangun sekitar 25.000 rumah baru untuk para pegawai dan memberikan kredit lunak kepada para petani.
Data yang dilansir Deutsche Bank Research menyebutkan, utang publik dari 10 negara paling berkembang di Amerika Latin turun dari 50 persen menjadi 25 persen dari PDB mereka antara 2000-2012. Sementara negara anggota G-7 rasionya tumbuh dari 80 persen hingga 110 persen pada periode yang sama.
Menurut laporan UNDP PBB antara tahun 2000-2012, kawasan Amerika Latin berhasil mengurangi kemiskinan hingga setengahnya dari 41,7 persen menjadi 25,3 persen dari total populasi.
Di bawah kepemimpinan Morales, pertumbuhan ekonomi Bolivia naik rata-rata 5 persen per tahun, upah buruh meningkat hingga 13,63 persen, pendapatan dari sektor pertambangan naik 10 persen. Pemerintahan Morales berhasil mengurangi kemiskinan ekstrem hingga 43 persen.
Di Venezuela, angka pertumbuhan ekonomi Venezuela melejit naik hingga 94,7 persen saat Hugo Chavez menguasai Venezuela. Antara 1999 hingga 2011, angka kemiskinan berkurang dari 42,8 persen menjadi 26,5 persen. Kemudian, pada periode yang sama, kemiskinan ekstrem berkurang dari 16,6 persen menjadi 7 persen. Saat ini angka kemiskinan ekstrim di Venezuela tinggal 5,5 persen––termasuk terendah di Amerika Latin.
Data Center for Economic and Politics Research (CEPR) juga mencatat kemajuan yang dicapai oleh Brazil di bawah pemerintahan Partai Buruh, yang dimulai oleh Lula da Silva pada tahun 2003 dan berlanjut ke Dilma Rousseff. Menurut data CEPR, Brazil di bawah pemerintahan Partai Buruh berhasil mengurangi kemiskinan sebesar 55 persen dan kemiskinan ekstrem sebanyak 65 persen. Sedangkan di Ekuador, Rafael Correa berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 37,6 persen menjadi 25,6 persen.
Sayangnya kesuksesan ini tak bertahan lama. Terhitung tahun 2015, pertumbuhan PDB rata-rata di Amerika Latin kurang dari 1 persen. Ada apa dengan Mereka?
Pudarnya Popularitas
Pengamat Ekonomi AS, sekaligus pemerhati Amerika Latin, Scott B.Mcdonald memaparkan faktor utama menurunnya pamor pemerintahan kiri di Amerika Latin. Hal pertama dan terpenting yakni pengelolaan kekayaan sumber daya alam yang tidak hati-hati.
Salah satu poin utama adalah reformasi ekonomi yang dilakukan mestinya dibarengi dengan diversifikasi komoditas ekspor. Hasil mengejutkan diungkap media Meksiko, El Financiero yang menggambarkan ketergantungan ini. Di Venezuela hampir 98 persen ekspor hanya bergantung pada tiga komoditas, minyak, besi, dan aluminium.
Di Ekuador, 86 persen komoditas bergayut pada minyak, pisang, dan bunga. Di Bolivia dan Kolombia, 79 persen ekspor adalah minyak, tembaga, seng dan bunga. Di Argentina, hampir 70 persen dari pendapatan ekspor berasal dari komoditas kedelai.
Masalah baru muncul saat mayoritas komoditas itu diekspor ke Cina. Kebergantungan Amerika Latin kepada Cina begitu akut. Sejak tahun 2005, Cina berkomitmen memberikan pinjaman hampir $100 miliar. Pinjaman ini tentunya bersyarat. Di Ekuador, hampir 60 persen minyak yang mereka jual, dilepas ke China. Hal sama terjadi di Peru, Venezuela, Brazil. Lantas saat kondisi ekonomi Cina mengalami perlambatan efek pahitnya mereka rasakan.
Dalam soal pendapatan dari minyak pemerintah kiri di sana pun cenderung jor-joran, khususnya Venezuela. Ketika harga minyak naik hingga $100 per barel, uang panen itu dibagikan Hugo Chavez secara cuma-cuma ke dalam program-program sosial.
Lalu ketika harga minyak anjlok pada pertengahan 2014, pengganti Hugo Chavez, Maduro kena getahnya. Kas yang minim membuat pemotongan anggaran di berbagai bidang. Kondisi ini diperparah akibat lanskap ekonomi, di mana sektor swasta sudah dibuat tak berkutik. Negara bahkan mengontrol komoditas remeh-temeh seperti popok, susu dan kertas toilet.
Sifat boros Venezuela untungnya tak ditiru oleh Ekuador dan Bolivia. Meskipun harga minyak yang anjlok, mereka bisa tetap mempertahankan eksistensi pemerintahan kiri di Amerika Latin.
Faktor kedua yang menyakiti pemerintahan kiri di Amerika Latin adalah korupsi. Hal ini tentunya berkaca dari kasus pemakzulan Dilma Rouseff dan Lula da Silva di Brazil.
Manuela Picq, seorang aktivis dan profesor di Universidad San Francisco de Quito, Ekuador, dalam kolomnya di Al Jazeera menilai banyak kebijakan yang malah menjauh dari perjuangan revolusi dulu diusung, terutama dalam hal kejujuran.
Di lain sisi dalam kehidupan berpolitik misalnya banyak pemerintahan kiri yang berambisi untuk memimpin dalam waktu jangka lama. Di Ekuador, Bolivia dan Nikaragua partai-partai kiri dengan getol mengkampanyekan gagasan untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Sedang dalam konteks kebebasan berpendapat, kebijakan yang dilakukan oleh mereka pun kini dipertanyakan. Aksi represif aparat selalu dijadikan langkah awal untuk membungkam para aktivis.
Manuele berujar, sebenarnya banyak masalah yang membuat pemerintahan kiri saat ini terguncang. Terlalu naïf dan konspiratif jika semua ini disebabkan intelejen CIA yang bekerja. Guncangan pada 2016 ini merupakan titik kulminasi sejak tren menurunnya ekonomi mulai 2014 silam.
Pemilih Amerika Latin kini memiliki standar yang lebih tinggi terhadap yang mereka inginkan dari para pemimpin mereka. Tampaknya mereka kapok memilih politisi seperti yang digambarkan komedian dan bintang film Groucho Marx : politik adalah seni mencari masalah, menemukan masalah di mana-mana, mendiagnosis secara tidak benar dan memberikan obat yang salah.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti