tirto.id - Pada 8 April 1990, Republik Peru menggelar putaran pertama pemilihan presiden. Setelah itu muncul dua nama yang akan bersaing pada putaran kedua. Mereka adalah Mario Vargas Llosa, novelis cum jurnalis, dan Alberto Fujimori, politikus keturunan Jepang.
Llosa yang memimpin Front Demokratik mewakili koalisi partai ekonomi liberal, sementara Fujimori dikenal lebih populis dan moderat. Dalam putaran kedua pemilihan yang digelar pada 10 Juni 1990, Fujimori menang dengan perolehan suara 56,6 persen. Sebulan kemudian ia dilantik menjadi Presiden Peru.
Kemenangan itu tak lepas dari popularitas Fujimori sejak menjabat sebagai ketua Partai Cambio 90 sekitar setahun sebelumnya. Sejak ikut mendirikan partai tersebut pada akhir 1989, sosok Fujimori menjadi populer.
Selain karena punya garis keturunan Jepang, ia juga sukses berkampanye dengan mengangkat retorika populis. Namanya semakin dikenal ketika mengkritik taktik ekonomi yang dianjurkan Llosa untuk memperbaiki Peru yang tengah dilanda masalah terorisme dan hiperinflasi.
Dua pekan setelah menjadi presiden, Fujimori langsung mengambil langkah-langkah penghematan yang ketat. Salah satunya yang terbilang kontroversial adalah menaikkan harga bahan bakar minyak sebesar 3000 persen untuk mengatasi inflasi.
Langkah yang dikenal dengan sebutan “Fujishock” ini membawa konsekuensi pengurangan tenaga kerja industri dan penurunan daya beli yang drastis.
Langkah kontroversial Fujimori tak hanya itu. Pada April 1992, ketika sudah semakin frustasi dengan legislatif yang sering menolak program-program kerjanya, ia melakukan autogolpe, yaitu kudeta politik yang dilakukan terhadap pemerintahannya sendiri.
Dengan dalih menjaga stabilitas pemerintahan, langkah itu ia ambil dengan menyatakan status keadaan darurat politik, membubarkan kongres, dan menyerukan konstitusi baru yang diundang-undangkan. Keputusan ini berhasil membuat sekutu politiknya menguasai mayoritas kursi legislatif.
Javier Diez Canseco, anggota parlemen yang juga ketua Partai Sosialis Peru, menyatakan rasa frustasinya dengan langkah Fujimori. Ia bahkan mengaku sudah lama marah besar ketika orang tak dikenal pada 1990 meledakkan dinamit di rumahnya ketika istri dan anaknya sedang beristirahat.
Tak hanya itu, mobil Canseco juga ditembaki dan ada upaya penculikan terhadap anak-anaknya. Dalam sebuah wawancara dengan ABC, Canseco dengan emosional menyebut pemerintahan di negaranya sebagai pemerintahan mafia.
Setelah autogolpe selesai, Fujimori menikmati posisi barunya yang hampir tanpa lawan. Ia dengan cepat menjalankan kebijakan neoliberal. Di bidang ekonomi, Fujimori melakukan privatisasi sektor-sektor industri milik negara.
Sementara untuk memerangi terorisme, ia memberlakukan eksekusi hukuman sepihak dan membentuk pengadilan militer rahasia terhadap para tersangka. Puluhan orang tewas dalam operasi militer.
Di kemudian hari, isu korupsi besar-besaran dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) benar-benar menjadi dua hal utama yang menyeretnya sebagai pesakitan.
Sejak awal masa kepresidenan, Fujimori sadar akan kelemahan politiknya. Ia juga tak punya banyak pilihan karena dihadapkan langsung dengan kekacauan ekonomi dan perselisihan internal. Maka itu, ia membangun relasi yang baik dengan Vladimiro Montesinos yang sejak 1990 menjabat sebagai pemimpin Servicio de Inteligencia Nacional (SIN), dinas intelijen Peru. Kedunya membentuk basis kekuatan politik-militer terbesar di Peru.
Montesinos banyak berperan sebagai perantara presiden dengan aparat keamanan yang telah berada di bawah kendalinya melalui serangkaian penyuapan dalam seleksi pejabat militer. Selain itu, SIN juga menjadi senjata andalan Fujimori untuk memantau dan menekan aktivitas oposisi, memanipulasi pemilihan umum, dan merepresi pers.
Dengan dukungan itu, Fujimori sukses membangun rezim diktator. Namun, pada pertengahan 1990-an rezim ini mulai menghadapi gangguan. Susana Higuchi, istrinya, secara terbuka menyebutnya sebagai koruptor.
Media nasional beramai-ramai menyebarkan pernyataan itu dan menganggapnya sebagai bagian dari rangkaian kampanye Higuchi yang akan mencalonkan diri sebagai Presiden Peru pada 1995.
Perlawanan Higuchi dipatahkan dengan mudah karena Fujimori yang menguasai parlemen sudah jauh lebih dulu mengeluarkan aturan perundang-undangan yang melarang kerabat dekat presiden mencari jabatan.
Sesuai dugaan, Fujimori kembali memenangkan pemilihan umum dengan perolehan 64 persen suara. Ia mengangkat Keiko Fujimori, anak perempuan pertamanya, sebagai ibu negara. Bersamaan dengan itu, Montesinos semakin meningkatkan pengaruhnya di bidang militer.
Intelijen negara yang ia pimpin diarahkan untuk menyusup ke partai politik oposisi. Selain itu, lewat kekuatan militer ia juga menyuap legislator, memberangus media, dan menggelapkan dana pemerintahan. Di periode ini Fujimori melakukan berbagai pelanggaran HAM atas lawan-lawannya termasuk aksi penyiksaan tersembunyi.
Di kemudian hari, para pejabat politik yang loyal kepada Fujimori terbukti melakukan berbagai aksi pelanggaran HAM berat. Untuk menutupi kasus-kasus itu, Montesinos secara khusus diperintahkan untuk mengambil langkah yang diperlukan.
“Salah satu kasus yang paling menonjol adalah aksi pembelaan yang sukses terhadap jenderal José Valdivia, yang dituduh memerintahkan pembantaian 28 petani di Cayara. Montesinos menang karena lima orang saksi utama meninggal tanpa kejelasan,” tulis Alfredo Schulte-Bockholt dalam buku Corruption as Power: Criminal Governance in Peru during the Fujimori Era 1990-2000 (2013:13)
Runtuhnya Rezim Fujimori
Rezim Fujimori kembali melahirkan kontroversi ketika ia mencalonkan diri kembali dalam pemilihan umum tahun 2000.
Beberapa saat sebelum menyatakan pencalonan dirinya, ia memecat seorang hakim yang menyatakan pencalonannya tidak konstitusional. Sementara itu, Alejandro Toledo, kandidat utama pihak oposisi, justru mundur dari putaran final pemilihan setelah mengklaim terdapat kecurangan.
Mundurnya Toledo membuat Fujimori menang tanpa lawan. Akan tetapi, ada konsekuensi besar yang harus ditanggung. Kemenangan itu mengundang kecaman dari banyak pihak termasuk pemerintah AS dan beberapa organisasi internasional. Sementara di dalam negeri, rakyat semakin rajin turun ke jalan dan menyebabkan kerusuhan di mana-mana.
Alih-alih menjawab kecaman dan menertibkan situasi, pada akhir tahun 2000 Fujimori justru dikejutkan dengan beredarnya video yang memperlihatkan Montesinos sedang menyuap seorang anggota kongres. Seketika pemerintahannya runtuh.
Tak ingin memperkeruh situasi, Fujimori memutuskan melarikan diri ke Jepang. Di tanah leluhurnya ia mengajukan pengunduran diri sebagai presiden. Pengajuan itu ditolak dengan tegas oleh badan legislatif Peru. Mereka memilih untuk memecat Fujimori dengan alasan tidak layak secara moral untuk mengemban tugas sebagai kepala negara.
Pemerintahan peralihan Peru segera membentuk tim penyelidik untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan, termasuk data mengenai pembunuhan puluhan orang ketika rezim Fujimori berkuasa.
Di tengah pengasingan, Fujimori terus berupaya memengaruhi politik Peru. Hal itu bisa ia lakukan dengan dukungan Pemerintah Jepang. Maklum, pada 2001 Pemerintah Jepang secara resmi menyatakan bahwa Fujimori memiliki kewarganegaraan ganda Peru-Jepang dan menolak permintaan ekstradisi yang telah berulang kali diajukan.
Dari Jepang, Fujimori bertolak ke Chili dengan rencana besar untuk kembali memenangkan pemilu Peru 2006. Namun setiba di Chili ia ditangkap atas permintaan pemerintah transisi Peru. Petisinya untuk mencalonkan diri pada pemilu 2006 ditolak tegas oleh lembaga pemilu Peru.
Kegagalan ini membuatnya harus mendekam di penjara Chili. Perselisihan hukum antarnegara menjadi memanas, dan pada September 2007 Mahkamah Agung Chili menyetujui ekstradisi Fujimori.
Di Peru, Fujimori dihadapkan pada tuduhan korupsi, penculikan, dan pembunuhan. Proses peradilan berlarut-larut hingga April 2009. Ia akhirnya dinyatakan bersalah karena memerintahkan regu pembunuh militer melakukan pembunuhan dan penculikan selama masa kekuasaannya.
Fujimori dijatuhi hukuman 25 tahun penjara ditambah 9 tahun penjara karena terbukti mengirimkan dana negara jutaan dolar AS ke rekening Montesinos. Tambahan masa penjara 6 tahun juga diberlakukan karena ia dinyatakan bersalah atas kasus penyadapan ilegal dan penyuapan.
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi