tirto.id - “Indonesia dilahirkan setelah sebuah penculikan,” ujar jurnalis Brian May dalam The Indonesian Tragedy (1978: 92).
Yang dimaksud “penculikan” adalah Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 yang tersohor itu, tatkala Sukarno dan Hatta diculik para pemuda.
Dua puluh tahun setelah Peristiwa Rengasdengklok, Sukarno melukiskannya dengan hidup lewat gaya teatrikal yang khas dalam autobiografinya yang dituturkan kepada Cindy Adams (1965):
"Suatu perutusan pemuda menunggu aku di beranda. 'Sekarang, malam ini juga (15 Agustus 1945),' perintah Chairul Saleh, salah satu anggota Gerakan Angkatan Baru. 'Mari kita kobarkan revolusi besar-besaran malam ini. Kita punya pasukan Peta, pemuda, Barisan Pelopor, bahkan tentara pembantu Heiho. Semuanya siap. Dengan satu isyarat Bung Karno, Jakarta akan menjadi lautan api. Beribu-ribu pasukan bersenjata sudah siap sedia mengepung kota dan menjalankan revolusi bersenjata yang sukses, serta mengalahkan seluruh tentara Jepang'” (hlm. 206).
Pemuda ingin Indonesia merdeka secepatnya atas kekuatan sendiri, bukan bantuan Jepang. Namun Sukarno menolak. Terlalu riskan memproklamasikan kemerdekaan tanpa persiapan matang. Dia memilih mengundur hari, menghindari pertumpahan darah. Dia menawarkan tanggal 17 Agustus.
“Tujuh belas angka suci. Pertama, kita di bulan suci Ramadan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran. Mengapa Nabi Muhammad SAW memerintahkan 17 rakaat, bukan 10, atau 20? Karena kesucian angka 17 bukan buatan manusia,” kata Bung Karno (hlm. 207).
Para pemuda tetap tak puas. Mereka menculik Sukarno dari rumahnya di Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, dan dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, Kamis subuh 16 Agustus 1945. Ibu kota gempar lantaran Sukarno-Hatta menghilang. Pukul 10 pagi, seharusnya ada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia membicarakan susunan kata-kata dari naskah proklamasi. Lewat negosiasi nan alot, kedua “Bung” ini akhirnya dilepaskan.
Jumat dini hari, 17 Agustus 1945. Sukarno dan Hatta menggelar rapat di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, yang bersimpati kepada perjuangan Indonesia. Berbekal nasi goreng, roti telur, dan ikan sarden untuk teman sahur, rapat semalam suntuk itu berakhir. Para pemimpin memutuskan proklamasi dikumandangkan di halaman rumah Bung Karno pukul 10.00. Upacara proklamasi itu tanpa protokol. Tidak ada yang ditugaskan, tidak ada persiapan, dan tanpa rencana.
Gelora Revolusi
Sentimen rakyat yang terus meluap dan berapi-api menjelang proklamasi sangat dipengaruhi kebangkitan sosial dan spiritual, serta kemiskinan, penghinaan, kelaparan, dan penderitaan yang dialami selama masa pendudukan Jepang. Sentimen macam itu juga terbit lantaran meningkatnya krisis dan harapan. Ini mendorong para elite politik tua untuk bertindak sangat hati-hati.
Dalam pengantarnya di buku Violence and the State in Suharto’s Indonesia (2001), Benedict Anderson mencatat, penting diperhatikan bahwa revolusi Indonesia “tidak muncul dari negara baru yang lemah, tetapi dari masyarakat yang sangat terpolitisasi, teradikalisasi, dan termiskinkan (hlm. 12).
Sementara menurut Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan (2009), ketika Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, ada keterikatan elite yang kokoh dengan gagasan negara yang merdeka (hlm. 167).
Akan tetapi, tidak ada kesepakatan yang jelas ihwal nilai-nilai apa yang diutamakan pada negara merdeka itu dan bagaimana negara itu akan menangani pelbagai pilihan ideologi. Terburu-buru dan belum tuntasnya pertimbangan tersebut terungkap pada pengakuan Sukarno bahwa Undang-Undang Dasar yang digunakan adalah undang-undang dasar kilat dan janjinya tentang konstitusi “yang lebih lengkap dan sempurna” di masa depan (hlm. 168).
Keterburu-buruan juga terlihat jelas pada persiapan proklamasi yang mendadak. Menurut Sukarno, istrinya menjahit sendiri bendera nasional, yang kemudian dipasang di tiang bambu pada upacara proklamasi nan sederhana. Ketergesa-gesaan itu terungkap pula dalam kata-kata teks proklamasi:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 05
Atas nama bangsa Indonesia,
Sukarno/Hatta
50 Tusuk Sate Ayam
Berdirinya negara Indonesia merdeka, seperti dinyatakan Sukarno dan Hatta dalam pengumuman sesudahnya, merupakan keinginan seluruh rakyat. Harapan orang-orang seperti Sutan Sjahrir agar proklamasi berisi celaan keras terhadap fasisme, maupun harapan sebagian gerakan pemuda agar proklamasi menyiratkan pengambilalihan alat-alat pemerintahan saat itu juga, tak terpenuhi.
Kolaborasi dan penerimaan tersirat Jepang atas proklamasi membereskan itu semua, begitu pula kehati-hatian para proklamator dan golongan kamitua. Kelompok itu, dipimpin oleh Sukarno dan Hatta, telah mencapai tujuan sebagai pemimpin negara baru. Selanjutnya, sebagaimana diisyaratkan dalam pernyataan takluk, Jepang melarang lambang-lambang proklamasi, bendera, dan lagu kebangsaan, dan juga mencabut dukungan yang sudah tidak berarti kepada Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Menurut D. Rini Yunarti dalam bukunya, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI (2003), BPUPKI merupakan “permainan” demi tercapainya skenario Jepang. “Permainan” itu pun dilengkapi dengan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang akan memperoleh mandat untuk mempersiapkan pemerintahan rakyat Indonesia yang merdeka. Berbeda dengan saat berdirinya BPUPKI di mana Jepang masih memenangkan berbagai perang melawan Sekutu, saat berdirinya PPKI, Jepang sudah berada di ambang kehancuran. Pasukan-pasukan Jepang dikalahkan di mana-mana (hlm. 59).
Proklamasi kemerdekaan RI yang terjadi pada 9 Ramadan 1334 Hijriah itu adalah titik kulminasi gagasan, tekad, dan perjuangan. Proklamasi memang diikuti dengan pecahnya revolusi di berbagai daerah dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.
Sehari setelah kemerdekaan, Sukarno dilantik menjadi presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. Lantas, apa perintah pertama sang presiden Republik Indonesia ini?
Dalam autobiografinya, Bung Karno berkisah. Dia berjalan pulang pada petang hari. Bung Karno melihat pedagang sate tak berbaju. Kemudian dia memesan, “Sate ayam lima puluh tusuk.” Setelah itu, Sukarno jongkok dengan lahap dekat selokan, menyantap menu berbuka puasanya. Baginya, inilah pesta pengangkatannya sebagai kepala negara. Sebuah acara perayaan a la kadarnya, dalam bulan yang suci (hlm. 225).
====================
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangkaraya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.
Editor: Ivan Aulia Ahsan