Menuju konten utama
Mozaik

Klaim Ratu Adil Tak Menyelamatkan Jayanagara dari Pemberontakan

Suksesi di Majapahit kerap diwarnai pemberontakan. Jayanagara, raja kedua, mencoba menyelamatkan diri lewat klaim ratu adil. Nahas, upayanya gagal.

Klaim Ratu Adil Tak Menyelamatkan Jayanagara dari Pemberontakan
Header Mozaik Jayanagara Terjungkal dari Takhta. tirto.id/Tino

tirto.id - Stabilitas politik di Jawa setelah terusirnya tentara Mongolia dan berdirinya Kerajaan Majapahit tidak serta-merta membaik. Majapahit yang masih muda usia harus menghadapi berbagai pemberontakan.

Seperti dilampirkan dalam Serat Pararaton yang dialihaksara dan alihbahasakan oleh Agung Kriswanto (2009), Majapahit di era kelahirannya harus menghadapi rongrongan Arya Wiraraja dan bangsawan-bangsawan Madura lain yang mahar politiknya tidak juga dibayar.

M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuna (2010) menyebutkan bahwa pemberontakan demi pemberontakan di masa Dyah Wijaya atau Raden Wijaya terus berlanjut sampai Raja Majapahit pertama wafat pada tahun 1309 M.

Celakanya lagi, sang suksesor, Jayanagara, tidak cukup disukai oleh para kawula Majapahit dan cenderung mengundang pemberontakan yang lebih besar.

Mengenai latar belakang ketidaksukaan punggawa dan rakyat Majapahit terhadap Jayanagara terdapat banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli.

Salah satu teori paling populer tentang gerakan Anti-Jayanagara di Majapahit muncul dalam tulisan Slamet Muljana berjudul Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (2012).

Menurut Slamet, rakyat Majapahit tidak menyukai Jayanagara karena ia merupakan putra setengah Jawa setengah Melayu. Teori Slamet bertumpu pada uraian Pararaton yang menyinggung soal pernikahan Dyah Wijaya dengan putri Kerajaan Malāyu bernama Dara Petak.

Di luar teori yang melatarbelakangi lemahnya legitimasi Jayanagara di atas takhta Majapahit, Pararaton menggambarkan Jayanagara sebagai raja yang tidak begitu cakap. Ia digambarkan sebagai raja yang gampang diperdaya dan dipengaruhi oleh orang-orang jahat yang duduk di jajaran pemerintahannya.

Oleh karena itulah Jayanagara kemudian populer dengan nama Kalagemet atau sosok jahat dan lemah.

Permasalahan citra Jayanagara sebetulnya tidak dapat dikatakan benar seutuhnya. Sang raja sebenarnya bukan tanpa usaha sama sekali, setidaknya begitu yang disebut dalam beberapa prasasti yang ditinggalkannya.

Dari prasasti-prasasti tinggalannya, bisa diketahui bagaimana Jayanagara mampu memanfaatkan salah satu strategi politik kuno Jawa dalam memelihara kemiskinan dan menjaga tingkat kepercayaan rakyat, yakni menjadi ratu adil.

Usahanya itu setidaknya pernah dilakukan dalam berbagai cara meski berujung gagal.

Menjadi Juru Selamat, Memuja Dewa Ikan

Dalam perencanaan strategi yang dilakukan Jayanagara untuk menghadapi kemelut politik, ia sepertinya paham betul soal sejarah para pendahulunya. Tengara ini muncul dari fenomena pewacanaan prasasti-prasasti Jayanagara yang mirip dengan pola penggarapan kebijakan pada prasasti-prasasti Raja Airlangga.

Menurut Ninie Susanti dalam Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI (2010), Airlangga di masa pemerintahannya mengklaim bahwa dirinya perwujudan Dewa Wiśnu--juru selamat pada peristiwa pralaya atau kiamat dalam kepercayaan Hindu.

Klaim tersebut diduga menjadi cara Airlangga dalam menghadapi peristiwa perang saudara yang menghalanginya ke kursi takhta. Sementara kedudukannya sebagai menantu raja sebelumnya juga tidak membuat ia cukup sah untuk menjadi raja dalam adat Jawa Kuno.

Alhasil, kurang lebih satu dasawarsa sebelum ia memutuskan pensiun dari kursi pemerintahan, Airlangga berhasil menyatukan Jawa.

Sementara Jayanagara, sebagaimana dicatat oleh Machi Suhadi pada disertasinya Tanah Sima dalam Masyarakat Majapahit (1993) membuat Prasasti Tuhañaru (1245 Ś). Prasasti ini hakikatnya memperingati pemberian anugerah sīma pada Desa Kusambyan dan Tuhanyaru seraya menampilkan puji-pujian terhadap Jayanagara.

Salah satu yang mencolok dalam prasasti itu Jayanagara disebut sebagai tuhutuhu wisnwawatāra— "sungguh-sungguh perwujudan Wisnu". Klaim perwujudan Wisnu tentu berkaitan dengan konsep juru selamat yang diusung Airlangga.

Hal ini bisa dilihat pada keterangan Prasasti Tuhañaru yang menggambarkan Jayanagara sebagai lingga pusat jagat Tanah Jawa. Jayanagara juga menarasikan dirinya sebagai raja pemberani yang membuat takluk seluruh rakyat dan musuh, sehingga ia satu-satunya sumber kebenaran bagi seluruh dunia.

Sebagai bentuk propaganda, Jayanagara bahkan menjadikan simbol mīnadhwayalañchana atau simbol ikan kembar yang merepresentasikan Wisnu sebagai lambang rezimnya. Agaknya simbol ini, sekali lagi, berkaitan dengan apa yang pernah dilakukan oleh Airlangga.

Titi Surti Nastiti dalam "Prasasti Kusambyan: Identifikasi Lokasi Madander dan Kusambyan" menyebut bahwa Desa Kusambyan memang pernah diberikan hak sīma oleh Raja Airlangga, seperti tertera pada Prasasti Kusambyan (tidak berangka tahun).

Uniknya, sejak masa Airlangga, Desa Kusambyan memang basis dari umat pemuja sosok Hyang Iwak atau Dewa Ikan.

Dengan demikian, bermodalkan pengetahuan akan peristiwa sebelumnya, bisa ditafsirkan bahwa Jayanagara berusaha menggunakan strategi politik identitas untuk menggalang massa pendukung dari Desa Kusambyan.

Infografik Mozaik Jayanagara Terjungkal dari Takhta

Infografik Mozaik Jayanagara Terjungkal dari Takhta. tirto.id/Tino

Sebab Kegagalan

Tengara strategi politik identitas yang dilancarkan oleh Jayanagara rupanya tidak berhasil menyelamatkan dirinya dari api pergolakan rakyat. Pararaton dengan detail menjelaskan betapa sang raja sesaat harus terusir dari kedatonnya dan mengungsi dengan bantuan Gajah Mada.

Sampai di akhir hayatnya, Jayanagara yang sejenak kembali duduk di kursi singgasana, harus menghadapi pengkhianatan tabib pribadinya sendiri, Ra Tañca.

Sampai di sini, sebenarnya apa yang menyebabkan Jayanagara gagal?

Perlu diingat, dalam kebudayaan Jawa Kuno, seorang raja dinilai oleh rakyatnya menggunakan beberapa indikator religius yang disebut dengan astabrata--delapan laku.

Sesuai dengan yang disebut oleh Boechari pada Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti (2012), ajaran astabrata memungkinkan seorang raja untuk memiliki sifat delapan dewa arah mata angin (astadikpalaka), yakni dermawan, adil, jujur, tegas, berintegritas, dan sebagainya.

Sementara itu, seperti disebut dalam Pararaton, Jayanagara senantiasa bersikap khianat kepada para abdi, tidak adil dalam kebijakan, dan tidak cukup cermat. Artinya, sekuat apa pun sang raja mendandani citranya, rakyat akan senantiasa menilai segala tindak-tanduk Jayanagara atas dasar perilaku praktis yang ia lakukan dalam keseharian.

Jika dibandingkan dengan Airlangga, Jayanagara tidak cukup cermat dalam menyusun strategi politik. Ia seakan lupa bahwa Airlangga harus membayar klaim juru selamat dengan perang bertahun-tahun. Airlangga harus membuktikan terlebih dahulu sikap kedewataannya sebelum mengaku menjadi sosok dewa tertentu.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi